Seleksi KPU di Tengah Tahapan Pemilu - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Seleksi KPU di Tengah Tahapan Pemilu

Titus L Mohy, Ketua KPU Kabupaten Pegunungan Bintang periode 2018-2023. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Titus L Mohy

Ketua KPU Pegunungan Bintang 2018-2023

SEBAGAI anak bangsa yang terlibat di barisan penyelenggara Pemilu (KPU) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh Indonesia menaruh harapan adanya pertimbangan pemerintah tentang akhir masa jabatan (AMJ). Kita tahu, sebagian besar anggota KPU Kabupaten/Kota AMJ akan berakhir tahun 2023.

Pertimbangan akhir masa jabatan itu muncul dan diharapkan saat momen di mana Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada 12 Desember 2022.

Sebagian kita berharap kepada Presiden agar selain mengeluarkan Perpu tentu mempertimbangkan tahapan Pemilu serentak yang sedang berlangsung beririsan dengan tahapan seleksi anggota KPU Kabupaten/kota. Padatnya jadwal dan tahapan Pemilu serentak seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah. Namun hal itu tidak terwujud.

Sementara dalam Perpu mengalami perubahan hanya untuk pasal 186 dan pasal 187 tentang alokasi kursi DPD RI dan DPR RI serta kursi DPRD Provinsi pasca terbentuknya DOB di provinsi Papua termasuk menambahkan pasal tentang seleksi anggota KPU Provinsi hasil DOB juga pasal terkait IKN.

Kondisi ini direspon juga oleh Yayasan Pusat Studi Strategis dan Kebijakan Indonesia atau Centre for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP) serta mengajukan gugatan dengan perkara nomor 120/PUU-XX/2022 ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar MK dengan kewenangannya dapat mempertimbangkan tahapan Pemilu serentak beririsan dengan tahapan Seleksi Anggota KPU Kabupaten/Kota dan ini sangat riskan. Namun gugatan tersebut ditolak MK.

Berdasarkan data, hampir sebagian besar penyelenggara Pemilu di seluruh Indonesia akan berakhir akhir masa jabatan pada November dan Desember 2023. Kondisi ini tentu sangat riskan sekali. Karena pada Desember 2023 dan Januari 2024 adalah tahapan yang sangat krusial, di mana seluruh tingkatan KPU akan sibuk dengan urusan logistik Pemilu.

Selain dikhawatirkan penyelenggara orang baru, tidak dihitung lagi dengan faktor cuaca dan gangguan kamtibmas di masing-masing kabupaten terutama di daerah rawan konflik di wilayah Provinsi Papua Pegunungan. Dalam waktu yang krusial ini, akan disibukkan dengan armada yang sudah stay untuk dorong logistik (dorlog), tapi kadang sebagian pemenang tender distribusi logistik Pemilu tidak punya akses dengan penerbangan yang pada akhirnya KPU yang berusaha menghubungkan dengan pihak penyedia jasa penerbangan.

Hal ini terjadi akibat kurang pekanya panitia tender dalam meloloskan perusahaan sebagai pemenang tender logistik Pemilu. Ini fakta yang beberapa kali terjadi saat Pemilu di Pegunungan Bintang dan kabupaten lain di wilayah provinsi Papua Pegunungan dalam beberapa kali Pemilu.

Pentingnya petahana anggota KPU kabupaten/kota tidak meragukan jika komisioner KPU dalam komposisinya 2+3 atau sebaliknya. Mengapa? Dengan adanya petahana menjadi roh penggerak bagi komisioner KPU baru dalam melanjutkan sisa tahapan Pemilu pasca komisioner yang lama mengakhiri masa tugas. Namun, berdasarkan hasil dari timsel terhadap seleksi keangggotaan KPU kabupaten/kota yang ditetapkan dalam 10 besar, hampir sebagian besar petahana dikasih tumbang.

Akhirnya muncul kekhawatiran terhadap kondisi ini, karena waktu efektif hanya 2-3 bulan menuju Pemilu serentak tanggal 14 Februari 2024 pasca akhir masa jabatan. Tentu KPU RI punya plan untuk mensiasasti kekhawatiran ini dengan memberikan bimtek dan ortug dengan memanfaatkan teknologi yang ada dalam hal zoom atau media lainnya, tetapi tidak efektif bagi kabupaten di wilayah gunung yang ketersediaan jaringan internet tidak memadai.

Jika ortugnya maupun bimtek bagi Anggota KPU baru dilaksanakan di luar Papua, maka memakan waktu seminggu dalam perjalanan ke Jakarta (PP). Belum lagi dengan faktor alam, keamanan termasuk bila ada gugatan ke Bawaslu. Yang mana dalam penanganan sengketa Pemilu gugatannya diajukan semua ke Bawaslu Provinsi. Tentu KPU kabupaten dihadirkan sebagai tergugat. Sementara tahapan Pemilu harus berjalan sesuai jadwal yang ditentukan oleh pemerintah.

Hasil Kerja Timsel

Terbentuknya tim seleksi (Timsel) merupakan kewenangan mutlak KPU RI berdasarkan usulan nama-nama dari banyak versi dengan memperhatikan keterwakilan atau unsur berdasarkan Bab III Pasal 5 ayat (1) PKPU 4 tahun 2023 tentang Seleksi Anggota Komisi pemilihan Umum Provinsi dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.

Terbentuknya timsel adalah di mana menentukan arah perjalanan politik di daerah. Dengan melihat nama-nama timsel saja tentu didomainkan pada elit politik lokal dan itu bukan hal yang rahasia lagi. Karena untuk meloloskan timsel tentu dengan ‘kerja keras dan seolah dengan jalan itu akan menentukan arah langkah politiknya di suatu daerah.

Hal ini tidak dapat dipungkiri lagi karena sangat terlihat dalam proses seleksi di mana beberapa SDM yang berpotensi untuk memimpin lembaga penyelenggara Pemilu digugurkan dalam berjalannya tahapan. Tentu ini berdasarkan pesan-pesan ‘sponsor’ yang memperjuangkan mereka (timsel).

Jika timsel professional tentu akan mempertimbangkan banyak hal terutama integritas pribadi yang jadi taruhan. Sebab hasil kerja anggota KPU akan menjadi barometer profesionalnya timsel. Apapun hasil penyelenggaraan Pemilu, yang bertanggungjawab adalah timsel.

Dalam seleksi anggota KPU Kabupaten/Kota belakangan ini, terkesan ada beberapa oknum timsel telah mengabaikan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (3) PKPU 4 Tahun 2023. Penentuan 10 besar bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam PKPU 4 tahun 2023. Sehingga sebagian rakyat mempertanyakan profesionalisme timsel, hingga melakukan protes di media hingga menyurat ke KPU RI karena merasa dirugikan timsel.

Proses awal ini menjadi barometer kedepan. Karena awal menentukan akhir dari semua proses. Jika input salah, proses pun salah maka output pun akan menjadi salah. Lebih menyedihkan lagi, 30 persen keterwakilan perempuan diabaikan sekalipun banyak perempuan yang ikut dalam proses seleksi calon anggota KPU kabupaten/Kota.

Sebagian perempuan protes, jika yang diakomodir hanya laki-laki, mengapa Pasal 35 ayat (3) PKPU 4 tahun 2023 tidak dihapus terlebih dahulu? Inilah sindiran halus yang tentu menjadi perhatian kedepan dalam proses seperti ini. Sebab perempuan tidak hanya pelengkap pengendali ‘dapur’ tetapi diberikan akses yang lebih besar.

Banyak regulasi

Dalam tahapan Pemilu serentak tahun 2024, memang KPU RI sebagai regulator mengeluarkan banyak regulasi atau Peraturan KPU, Keputusan KPU, Juknis serta Surat Edaran (SE) yang wajib dilaksanakan oleh KPU Provinsi maupun KPU kabupaten/kota. Hal ini sangat membantu dalam pelaksanaan semua tahapan di tingkatan bawah. Karena dalam PKPU, Juknis maupun SE sudah menjelaskan apa yang harus dikerjakan oleh KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota.

Namun sayangnya, faktor jaringan menjadi kendala utama dalam mempelejarai semua produk KPU tersebut yang pada akhirnya kurang efektif dalam implementasi di lapangan. Hal lain adalah banyaknya aturan yang dikeluarkan akhirnya menjadi kendala bagi penyelenggara di tingkat bawah.

Terutama hal-hal teknis tidak tercover dalam PKPU tentang jadwal dan tahapan Pemilu, tetapi dalam setiap tahapan KPU mengeluarkan PKPU tersendiri. Kondisi ini menjadi dilema bagi KPU di Kabupaten/Kota. Belum lagi ketatnya penggunaan anggaran Pemilu saat ini.

Harapan

Anggota KPU sebagai penyelenggara Pemilu ibarat ikan dalam aquarium. Sekalipun kita diperjuangkan oleh kelompok kepentingan untuk menjadi penyelenggara Pemilu di semua tingkatan yang adalah bagian dari proses mempersiapkan kader.

Namun, jika didorong dengan misi terselubung maka akan menghadapi sebuah dilemma di internal penyelenggara untuk mempertahankan integritas dan profesionalitasnya dalam melaksanakan tahapan Pemilu. Sebab di lembaga KPU sudah diatur tugas dan tanggungjawab seorang anggota KPU.

Dengan demikian tidak bisa bertindak diluar dari kewenangan yang diberikan. Sebab jika kerja dilaur dari rel, maka konsekuensinya menanti di depan. Untuk itu sekalipun didorong oleh kelompok ‘kepentingan’, hendaknya profesionalitas pribadi dapat dipergunakan untuk mengemban amanah mulia ini.

Karena keberpihakan penyelenggara (tidak netral) juga merupakan salah satu faktor runtuhnya nilai demokrasi yang bisa menghambat jalannya tahapan Pemilu di sebuah daerah.

Untuk itu sebagai anak negeri dalam bekerja mengutamakan kepentingan umum lebih prioritas daripada kepentingan pribadi atau golongan. Apalagi sistem keterbukaan informasi yang sangat pesat saat ini ditambah dengan tingginya penyebaran informasi hoaks (bohong) yang kencang, diharapkan penyelenggara teknis Pemilu dalam bekerja harus berdasarkan UU Pemilu, PKPU dan Juknis serta SE. Jika menyimpang dari itu, maka konflik sedang menanti di depan.

Tinggalkan Komentar Anda :