Sejarah Lemasa dan Jati Diri Generasi Muda Amungme - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Sejarah Lemasa dan Jati Diri Generasi Muda Amungme

Menuel John Magal, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme versi Musyawarah Adat. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Menuel John Magal 

Ketua Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme versi Musyawarah Adat

SEJARAH adalah rangkaian peristiwa dan tokoh pada masa lampau yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Sejarah dapat dimaknai sebagai kajian mengenai kejadian kejadian masa lalu yang disusun berdasarkan sumber-sumber sejarah seperti peninggalan, catatan atau bukti-bukti konkret.

Mengacu pada konsep tersebut, keberadaan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) bukanlah entitas biasa yang muncul secara tiba-tiba di tengah masyarakat Amungme. Sejarah tercipta karena adanya sebab dan akibat, peran para tokoh serta peristiwa peristiwa penting yang terjadi pada masa lampau.

Sejarah mencatat perjalanan umat manusia dari masa kuno hingga zaman modern. Oleh karena itu, Lemasa bukanlah sesuatu yang turun dari langit atau hadir tanpa latar belakang. Kehadirannya merupakan hasil dari pergumulan panjang putra-putri Amungme dalam menghadapi situasi represif yang mereka alami di wilayah Amungsa, yang pada masa itu berstatus sebagai daerah operasi militer (DOM).

Pada masa tersebut, martabat kemanusiaan masyarakat Amungme direndahkan oleh negara melalui represi militer dan perusahaan multinasional yang beroperasi di wilayah Timika. Masyarakat Amungme diperlakukan layaknya binatang tanpa penghargaan terhadap hak-hak dasar mereka sebagai manusia.

Berangkat dari situasi ini, Lemasa mengusung semboyan yang hingga kini dikenal luas yaitu Mea Im Awal Imiye, Me-e Ati Anten yang berarti Kita bertindak sebagaimana manusia pada umumnya agar kita diakui sebagai manusia.

Semboyan ini tercermin jelas dalam upaya membangkitkan kembali budaya suku Amungme yang dipelopori sejumlah tokoh seperti Yunus Omabak dan Marten Omaleng bersama para anggota lainnya, yakni Yakobus Magal, Franky Beanal, Joakim Uamang, Pilipus Bukaleng, Tomas Kum, dan Dominggus Natkime.

Nemangkawi Ninbui

Para tokoh di atas kemudian mendirikan kelompok tari Nemangkawi Ninbui pada awal 1990-an di Tembagapura, Lembah Waa. Kelompok tari ini aktif memperkenalkan tari-tarian asli Amungme di berbagai forum, baik di lingkungan PT Freeport Indonesia (PTFI), pemerintah maupun di panggung-panggung terbuka di Kampung Lopong.

Penampilan mereka bahkan mendapat dukungan promosi dari seorang warga negara Amerika, Doklermon, yang bekerja di PTFI. Berkat promosi tersebut, nama Nemangkawi Ninbui dikenal luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Keberadaan kelompok ini menjadi tonggak penting dalam pengakuan terhadap eksistensi suku Amungme dan budayanya. Setiap kali mereka tampil di Lopong, pertunjukan mereka selalu menarik perhatian para tamu, baik dari dalam maupun luar negeri. Yunus Omabak menuturkan, grup dari suku Kamoro saat itu dipimpin Timotius Samin.

Sementara itu, dalam bidang politik Cundradus Bauw (Alm) terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Fakfak mewakili wilayah Agimuga, Timika, dan Tembagapura. Sedangkan Fransiskus Waropea (Alm) mewakili wilayah Mimika Timur dan Mimika Barat (Kokonao).

Setelah terpilih, Cundradus melakukan kunjungan ke Timika dan mendapati berbagai persoalan serius yang dihadapi masyarakat adat Amungme dan Kamoro seperti represi militer, pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan, stigma negatif terhadap masyarakat adat yang dicurigai sebagai bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM), penangkapan sewenang-wenang, pemenjaraan tanpa proses hukum, dan berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya.

Salah satu korban kekerasan pada masa itu adalah Alpeus Gujangge (Alm), karyawan PTFI dan menantu dari Kepala Suku Arek Beanal, yang terbunuh oleh ABRI di Tembagapura. Menyadari situasi genting tersebut, Cundradus merasa memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi masyarakat Amungme dan Kamoro.

Masyarakat adat

Setelah kunjungannya, ia melaporkan temuannya kepada Bupati Fakfak saat itu, JP Matondang (Alm) dan menekankan perlunya perlindungan terhadap masyarakat adat Amungme dan Kamoro. Permintaan tersebut disampaikan dalam forum pertemuan antara DPRD dan bupati di kantor DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Fakfak.

Sebagai tindak lanjut, Bupati Matondang mengacu pada Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk  II Fakfak Nomor 17 Tahun 1972 tentang Pembentukan Tim Penyusun Lembaga Kerapatan Adat Suku Amungme dan Suku Kamoro di wilayah Kecamatan Mimika Barat, Mimika Timur, dan Agimuga.

Rupanya pemikiran tentang pendirian Lembaga Kerapatan Adat Suku Amungme ternyata telah ada sejak tahun 1972. Oleh karena itu, pada 4 Februari 1992 Bupati Matondang mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 17 Tahun 1992 tentang Pembentukan Tim Penyusun Lembaga Kerapatan Adat Kabupaten Daerah Tingkat II Fakfak.

Tim ini bertugas untuk mengumpulkan data primer guna membentuk Lembaga Kerapatan Adat di bawah wilayah administratif Kabupaten Fakfak, yang mencakup wilayah dari Teluk Wondama hingga Mimika.

Ketua Pengadilan Negeri  Fakfak Bambang Soerjono kala itu ditunjuk sebagai Ketua Tim Pembentukan Lembaga Kerapatan Adat, termasuk Lembaga Kerapatan Adat Suku Amungme dan Kamoro. Pada 14 Agustus 1992, sebagai ketua tim Bambang Soerjono mengajukan surat izin kepada Ketua DPRD Kabupaten Dati II Fakfak.

Dalam surat nomor W19.DI.UM.06.10-21 tersebut, Bambang Soerjono menyampaikan perlunya dilakukan penelitian dan wawancara dengan para kepala suku dan tokoh masyarakat Amungme dan Kamoro. Dalam jadwal kunjungan yang dilampirkan, tim direncanakan berada di Tembagapura pada 28-31 Agustus 1992.

Selain melakukan wawancara dan pertemuan di Tembagapura, tim juga dijadwalkan menyusun buku tentang Lembaga Kerapatan Adat, yang dimulai di Tembagapura dan kemudian dilanjutkan di Fakfak.

Dalam konteks inilah, pendiri Nemangkawi Ninbui menjadi sangat penting sebagai narasumber utama mengenai adat istiadat Suku Amungme, yang kemudian dijadikan dasar pembentukan dan pendirian Lemasa. Hal ini menjadi cikal bakal pembentukan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 202 Tahun 1992 tentang Pembentukan Lembaga Kerapatan Adat Suku Amungme di Wilayah Kecamatan Agimuga, Kabupaten Dati II Fakfak.

Dalam surat keputusan tersebut, pada bagian keempat ditetapkan bahwa buku Lembaga Kerapatan Adat Kabupaten Daerah Tingkat II Fakfak sebagaimana dimaksud pada diktum ketiga merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.

Buku tersebut disusun berdasarkan wawancara dengan para narasumber utama, yakni Yunus Omabak, Marten Omaleng, Yakobus Magal, Franky Beanal, Tomas Kum, Joakim Uamang, Pilipus Bukaleng, Dominggus Natkime, dan kawan-kawan, dengan Yunus Omabak sebagai  ketua, sebagaimana dijadwalkan dalam agenda perjalanan Bambang dan Cundradus.

Melalui surat keputusan tersebut, masyarakat Amungme diberikan kesempatan untuk segera membentuk lembaga adat mereka dan melaporkannya kepada Pemerintah Daerah Fakfak untuk disahkan sebagai lembaga adat suku Amungme. Berdasarkan keputusan tersebut, masyarakat Amungme kemudian mendirikan Lemasa, yang secara resmi diluncurkan pada 22 Juli 1994. Saat itu, Tom Beanal dipercayakan sebagai pemimpin besar suku Amungme.

Sayang sekali tentang pendirian Lemasa tidak pernah melaporkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak sehingga tidak mendapatkan pengakuan pemerintah. Hal ini disampaikan Kepala Kesbangpol Provinsi Papua Tengah Lukas Ayomi. Ayomi menanyakan langsung kepada pihak Pemda Fakfak tentang pendirian Lemasa.

Pihak Pemda Fakfak mengatakan, pernah mengumpulkan data-data hingga tahap pendirian lembaga adat tetapi tidak pernah ada pengakuan terhadap Lemasa. Hal ini disampaikan di Nabire 1 Agustus 2024 dalam pertemuan antara Kesbangpol Provinsi Papua Tengah, MRP Papua Tengah, Lemasa versi Johnny Stingal Beanal dan Lemasa versi Musyawarah Adat (Musdat).

Dalam sejarah Amungme, proses pendirian Lemasa melibatkan partisipasi aktif masyarakat Amungme dari 11 wilayah adat, beserta suku-suku kerabat yang tinggal bersama di Kwamki Lama.

Dalam acara pendirian tersebut masyarakat Amungme membawa keladi, ubi, daun daun terbaik serta bahan makanan lainnya sebagai simbol kebersamaan dan persembahan adat dalam pesta adat pertama yang menandai momen penting tersebut.

Selain itu, dukungan finansial dari berbagai lapisan masyarakat Amungme dan kerabat juga menjadi bagian dari semangat kolektif yang mewarnai pendirian Lemasa dan melancarkan Tom Beanal menggugat PT Freeport Indonesia di Amerika Serikat.

Perlu ditekankan, dalam proses pendirian Lemasa, Tom Beanal berperan besar sebagai aktor intelektual. Namun, tidak berjalan sendiri, one man show. Ada yang bertindak sebagai pemimpin, ada yang berperan sebagai tuan adat, dan ada pula yang berperan dalam berbagai kapasitas lainnya.

Para pendiri Lemasa berjuang bersama sejak awal hingga Bupati Fakfak menetapkan Keputusan Nomor 202 Tahun 1992 pada 16 November 1992, yang bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-23 Kabupaten Fakfak.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Lemasa bukanlah lembaga yang diwariskan kepada keluarga atau pribadi tertentu. Lemasa merupakan lembaga adat kolektif milik suku Amungme sekaligus representasi pemerintahan adat suku Amungme.

Lembaga ini merupakan gabungan dari 11 wilayah pemerintahan adat dan representasi pemerintahan adat berbentuk konfederasi. Kesatuan wilayah adat Amungsa dan Amungme (Amungun). Keputusan-keputusan penting dalam Lemasa ditetapkan melalui Musdat sehingga keputusannya bersifat kolektif yang berlandaskan adat istiadat suku Amungme, bukan keputusan individu. Mekanisme pengambilan keputusan ini mencerminkan Lemasa bukan milik pribadi atau perorangan.

Sebagai lembaga kolektif masyarakat adat, Lemasa tidak relevan jika dianggap sebagai warisan turun-temurun untuk anak-cucu salah satu pendiri. Lemasa adalah simbol kehormatan, harga diri, dan martabat suku Amungme dari 11 wilayah adat.

Mengklaim Lemasa sebagai milik keluarga tertentu adalah tindakan yang tidak etis. Lebih jauh, menjadikan Lemasa sebagai alat politik atau alat tawar-menawar kepentingan bisnis. ‘Perkumpulan Lemasa’ merupakan bentuk penyimpangan dari nilai-nilai luhur yang menjadi dasar pendirian Lemasa.

Generasi muda Amungme perlu mempelajari sejarah Lemasa. Jika kita tidak memahami sejarah Lemasa, maka kita akan kehilangan jati diri kita sendiri. Dalam bahasa John Michael Crichton, penulis dan produser film Amerika Serikat kelahiran Chicago, Illinois (1942-2008), “jika kamu tidak tahu sejarah, maka kamu tidak tahu apa-apa. Kamu adalah daun yang tidak tahu bahwa kamu adalah bagian dari pohon”.

Atau meminjam rumusan Marcus Mosiah Garvey, pendeta dan nasionalis kulit hitam kelahiran Jamaika yang melontarkan gagasan Afrika untuk Bangsa Afrika (1887-1940), “orang-orang tanpa pengetahuan tentang sejarah, asal-usul, dan budaya mereka ibarat pohon tanpa akar”. Oleh karena itu, mari kita pelajari sejarah dan budaya kita agar tidak salah memahami arah dan tujuan perjuangan kita.

Tanpa pemahaman yang benar, kita mudah terombang ambing, bertindak tanpa dasar yang kokoh dan akhirnya tumbang seperti pohon tanpa akar yang diterpa angin kencang. Namun, jika kita memiliki pijakan kuat, sebesar apapun badai menerpa kita akan tetap berdiri tegak dan kokoh bagai pohon besar yang berakar dalam di atas tanah leluhur kita.

Tinggalkan Komentar Anda :