Saya Menulis, Maka Saya Ada
OPINI  

Saya Menulis, Maka Saya Ada

Ben Senang Galus, penulis buku dan esai, tinggal di Yogyakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ben Senang Galus

Penulis buku dan esai, tinggal di Yogyakarta

ADA sebuah cara untuk menemukan identitas kita sebagai manusia. Salah satu diantaranya ialah menulis. Meminjam ungkapan René Descartes, filsuf Prancis beraliran Rasionalisme, cogito ergo sum yang berarti aku berpikir maka aku ada.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan menulis bagi orang Indonesia selama ini belum tumbuh menjadi budaya seperti di negara maju. Jangankan ibu rumah tangga, PNS, mahasiswa maupun dosen sekalipun merasa mudah menulis.

Apalagi dijadikan suatu pekerjaan rutin sehari-hari. Suatu hal yang masih  langka dan butuh perjuangan serta kesabaran. Karena itu, munculnya sinyalemen rendahnya minat menulis bagi orang Indonesia, bukanlah sesuatu hal yang berlebihan memang itulah kenyataannya.

Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa (2023) ilmuwan, dosen, dan orang yang menyebut diri sebagai profesor yang bekerja di perguruan tinggi termasuk mahasiswa kita di Indonesia, satu tahun rata-rata menghasilkan karya tulis atau riset tidak lebih dari 25.000 judul.

Bandingkan dengan negara maju seperti China, Jepang, Korea Selatan, Amerika, Jerman, Prancis, dan beberapa negara Eropa, satu tahun menghasilkan lebih dari satu juta judul per tahun. Sementara Israel mencapai angka lima juta per tahun hasil tulisan, baik itu buku, riset maupun jurnal.

Semua itu ditulis oleh para siswa mulai dari sekolah dasar sampai mahasiswa dan dosen. Singkatnya tradisi menulis bagi negara maju sudah menjadi budaya dalam rumah, sekolah dan di luar sekolah.

Wakil Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia Prof Stella Christie, akademisi dan ilmuwan kognitif lulusan Harvard University, AS punya testimoni saat tampil dalam acara Kick Andy di Metro TV beberapa waktu lalu.

Stella menceritakan, saat ia kuliah di Harvard University, banyak teman kuliahnya memilih jurusan Sejarah, Ekonomi, Sains dan Teknologi serta ilmu murni, namun ia memilih kelas khusus, yaitu kelas menulis. Untuk masuk ke kelas menulis, tes masuknya super ketat.

Menurut Stella, untuk menjadi seorang ilmuwan dia harus melakukan riset dan menulis. Jadi seorang ilmuwan atau periset, pertama-tama dia harus bisa menulis. Kita lihat saja hasil karya tulis para profesor di Harvard University. Karya mereka sangat berbobot.

Menulis merupakan kebiasaan filsuf terdahulu. Tidak ada satupun filsuf yang menderita sakit karena banyak menulis. Namun, yang ada adalah walaupun dalam keadaan sakit, para pendahulu kita tetap produktif.

Seperti Imam Al-Baihaqi yang mana jari-jari tangannya harus dipotong karena penyakit yang ia derita, namun ia mampu menulis sepuluh lembar dalam sehari. Apapun mereka jadikan untuk tempat menulis. Imam Syafi’i menjadikan pelepah kurma, tulang unta, bebatuan dan kertas bekas sebagai tempat menulis.

Kekuatan menggerakkan

Tulisan merupakan kekuatan. Kekuatan yang mampu menggerakkan orang untuk melakukan perlawanan. Kekuatan tulisan mampu menembus orang tak terbatas ruang dan waktu yang tak terbatas pula.

Seperti juga bentuk-bentuk budaya manusia lainnya, kepandaian tulis baca terbentuk melalui beberapa tahapan proses seiring dengan perkembangan cara berpikir suatu kelompok masyarakat manusia dalam waktu tertentu. Pertumbuhan suatu budaya tercipta dengan dorongan persepsi manusia itu terhadap kebutuhan untuk membebaskan diri dari tantangan-tantangan hidup yang ditemui.

Dengan kata lain bagaimana manusia bisa menciptakan suatu usaha yang dengannya akan terpenuhi tuntutan kebutuhan hidup mereka. Apabila hasil usaha itu merupakan pemenuhan tuntutan hidup dan berproses melalui pemikiran, maka hal itu merupakan suatu bentuk budaya baru. Pelahiran budaya baru pada suatu masyarakat akan senantiasa merupakan gambaran perkembangan cara berfikir manusia pada saat itu.

Menulis, adalah salah satu bentuk budaya yang tercipta melalui proses-proses yang disebutkan. Penemuan lambang-lambang oral (huruf) yang bentuk akhirnya berupa tulisan, adalah suatu prestasi intelektual yang dicapai manusia dalam peradaban masyarakat klasik.

Peralihan sistem komunikasi manusia dari tradisi oral ke tradisi menulis, sangat mempengaruhi percepatan perkembangan budaya dan perluasan informasi antar masyarakat dan antar generasi secara lebih otentik dan efektif. Akibat dari semua itu, tentunya —secara tidak langsung— akan mengubah tatanan budaya-budaya lainnya ke bentuk yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya.

Dengan demikian penemuan budaya tulisan dalam sistem budaya suatu masyarakat, tidak hanya akan menawarkan peningkatan dalam lapangan komunikasi saja, akan tetapi lebih jauh akan mempengaruhi aspek-aspek budaya manusia itu secara keseluruhan.

Hal-hal yang kita sebutkan terbukti dari beberapa kerajaan besar pada zaman purba —seperti Mesir, Sumeria, Babylonia, Nineveh, China dan lain-lain— yang telah memperoleh kemajuan yang pesat di bidang peradaban dalam masa 10.000 tahun semenjak mereka menemukan tulisan. Kemajuan tersebut ternyata lebih besar dari apa yang dicapai selama Zaman Batu yang berlangsung lebih kurang 2 juta tahun.

Panggilan

Menulis adalah sebuah panggilan. Penulis merasa terpanggil untuk menuangkan gagasan dengan medium bahasa. Ada gerakan dalam jiwa untuk membagi pengetahuan kepada orang lain.

Sebagaimana panggilan diawali dengan sebuah kekaguman dan kesediaan untuk memberi diri, dalam hal menulis seorang penulis memiliki kegairahan untuk menulis dan berdedikasi tinggi untuk melakukannya. Panggilan menulis bersumber dari kedalaman hati untuk berbakti bagi sesama.

Beberapa poin penting berkaitan dengan kegiatan menulis. Menulis membantu orang untuk mengorganisasikan pikiran secara sistematis. Kalau dibandingkan dengan kemampuan berbicara, menulis membutuhkan keahlian tertentu.

Dalam hal berbicara, isi pemikiran dapat dimengerti oleh pendengar melalui medium gerak tubuh dan intonasi suara. Tetapi seorang penulis tidak mampu menghadirkan diri secara langsung.

Mengutip gagasan Roland Barthes, seorang penulis mati dalam tulisannya. Oleh karena itu, tulisan membantu seseorang untuk mengorganisasi pikiran sehingga ide penulis dapat dimengerti oleh masyarakat pembaca.

Menulis juga membutuhkan kejelasan. Seorang penulis harus menulis dengan jelas sehingga pembaca dapat menemukan kesalahan dalam tulisannya. Tulisan ilmiah yang cenderung menggunakan bahasa yang rumit bukanlah seorang penulis yang berhasil.

Penulis harus menguraikan pemikiran dengan jelas. Tulisan yang baik tidak diukur dengan konsep yang rumit dan membingungkan pembaca. Tulisan yang baik, mengutip pemikiran Karl Popper, harus jelas. Kejelasan merupakan unsur pertama dari tulisan.

Berhadapan dengan tantangan teknologi khususnya media sosial yang marak mereproduksi bahasa yang singkat dan istilah-istilah baru. Seorang penulis yang baik harus meng-counter bahasa yang sudah menjadi kode dalam media sosial menjadi konsep. Bahasa pada dasarnya adalah konsep bukan hanya simbol semata.

Perkembangan media sosial mempengaruhi cara kita berkomunikasi antar manusia. Bahasa komunikasi melalui Whatsapp (WA), misalnya membuat orang mengalihkan bahasa sebagai konsep menjadi semata-mata kode atau simbol. Sebenarnya ada perbedaan antara simbol dan konsep. Simbol biasanya dibuat di jalan raya untuk memberi arah kendaraan.

Sebagai konsep, bahasa menyampaikan ide yang jelas. Bahasa WA membuat orang tidak berkembang dalam pemikirannya. Perkembangan media sosial juga membuat orang mengejar kecepatan. Seorang penulis yang baik bukan hanya mengejar kecepatan menulis tetapi juga kedalaman analisis.

Kedalaman  nilai

Menulis merupakan latihan yang memberikan keseimbangan yang baik karena menulis khususnya di Koran seperti Kompas atau media lainnya bukan hanya untuk menyampaikan buah pikiran tetapi harus bisa dipahami pembaca. 

Seorang intelektual harus adil sejak dalam pikirannya. Ini merupakan suatu rumusan karya tulis yang filosofis. Ada kedalaman nilai yang penting bagi orang lain.

Kunci penting mengembangkan kemampuan menulis adalah menulis. Diskusi dan pelatihan menulis hanya merupakan medium untuk memantik kesadaran untuk menulis. Seorang penulis tidak perlu membaca buku teori menulis untuk menjadi penulis.

Dia harus menulis sesuatu. Dalam menulis, ide merupakan hal yang penting. Ide itu mahal. Ide tidak datang setiap saat. Oleh karena itu, seorang penulis perlu mengekalkan ide itu dengan menulis.

Namun seringkali kecenderungan seorang penulis adalah menonjolkan egonya sendiri. Hal ini adalah suatu kegagalan besar seorang penulis. Tulisan yang baik harus menjaga keseimbangan antara subjektivitas dan objektivitas.

Penulis yang baik perlu mengontrol egonya agar tidak menonjolkan diri penulis. Penulis harus membagikan pemikirannya dengan mengetengahkan keseimbangan dan objektivitas.

Oleh karena itu siapa pun yang berminat mengembangkan idenya harus mulai sekarang merawat ide dengan menulis dan menulis. Lebih dari itu, setiap mahasiswa perlu membuat aturan yang jelas untuk membaca buku dan surat kabar setiap hari. Membaca adalah asupan gizi bagi tulisan.

Penulis yang tidak membaca adalah penulis yang gizi buruk. Ketika masih muda saya menghabiskan waktu 8 jam sehari untuk membaca dan menulis. Saya mengajak semua mahasiswa untuk membaca dan menulis secara teratur.

Dengan demikian kegiatan menulis menjadi cara mengada (mode of being), cara bereksistensi. Kemengadaan kita terwujud dalam berbagai bentuk tulisan. Pramoedya Ananta Toer mengatakan ”orang boleh pintar setinggi langit, tapi kalau tidak menulis ia akan ditelan zaman”. 

Menulis adalah bekerja pada keabadian. Karena di dunia ini tidak ada yang abadi, kecuali tulisan itu sendiri. Itulah arti pentingnya menulis. Dengan itu maka Anda akan menjadi ahli waris peradaban. 

Cogito ergo sum, saya menulis maka saya ada, demikian pula sebaliknya lectum ergo sum, saya membaca maka saya ada. Maka pepatah bahasa Inggris yang berbunyi you are what you eat, dapat kita ubah jadi you are what you write/read

Tinggalkan Komentar Anda :