JAKARTA, ODIYAIWUU.com – Dewan Gereja di Papua Minggu (27/6) mengeluarkan Surat Gembala menyikapi situasi Papua terkini terkait pengangkatan Sekretaris Daerah Papua (Sekda) Papua Dance Yulian Flassy sebagai Pelaksana Harian (Plh) Gubernur Papua.
Surat Gembala tersebut disampaikan Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia (Kingmi) Papua Pendeta Dr Benny Giay selaku moderator, President Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pendeta Dorman Wandikbo, S.Th, Ketua Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua Pendeta Andrikus Mofu, M.Th, dan Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua Pendeta Dr Socratez Sofyan Yoman, MA.
“Kami Dewan Gereja Papua menilai, polemik Sekda dan surat Radiogram No.T.121.91/4124/OTDA tentang Pengangkatan Sekda Dance Flassy sebagai Pelaksana Gubernur Papua tidak terlepas dari sebuah skenario besar pemerintah pusat di Jakarta untuk melakukan politik pecah belah terhadap sesama orang Papua,” demikian bunyi pengantar Surat Gembala yang diterima Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Minggu (27/6).
Hal tersebut, juga untuk melanggengkan kelanjutan pelaksanaan Otonomi Khusus dan rencana pemekaran wilayah daerah otonomi baru, tanpa melibatkan rakyat Papua sebagai pihak yang menjadi subjek pembangunan negara. Polemik ini merupakan kelanjutan dari adanya dua versi pengangkatan dan pelantikan Sekda Papua, yaitu versi Provinsi Papua dan versi Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia tanggal 1 Maret 2021.
Dewan Gereja juga merekomendasikan beberapa hal. Pertama, Pemerintah Pusat segera menghentikan politik adu domba sesama orang Papua lewat polemik antara Gubernur dan Sekda Papua mengingat saat ini rakyat Papua sedang berada dalam situasi duka karena konflik dan pelanggaran HAM berkepanjangan.
Kedua, pemerintah segera menghentikan stigmatisasi dan pembunuhan karakter para pejabat orang asli Papua sebagai “separatis”, yang polanya telah berulang sejak berdirinya provinsi Irian Barat pada tahun 1963. Dewan Gereja menilai, hal ini menunjukkan ketidakpercayaan Jakarta terhadap Papua sebagai salah satu provinsi di Indonesia dan semakin memperkeruh konflik yang sudah terjadi sangat lama antara Jakarta Papua.
Ketiga, pemerintah segera menghentikan segala proses pengambilan keputusan yang bersifat sepihak, memaksakan keberlangsungan otonomi khusus Papua tanpa melibatkan rakyat dan mendengarkan aspirasi rakyat yang telah menolak perpanjangan otsus lewat petisi rakyat Papua yang saat ini sudah mencapai 700.000 tandatangan.
Keempat, melihat kebijakan-kebijakan negara terkait Papua beberapa waktu ini yang sangat penuh dengan pendekatan militeristik, maka Dewan Gereja mempertanyakan sejauhmana kewenangan Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara dalam mengambil keputusan kebijakan politik dan pembangunan di Papua.
Kelima, pemerintah Indonesia lewat kepemimpinan Presiden Jokowi segera membuka akses dan mengijinkan Komisioner Hak Asasi Manusia PBB, berbagai Tim investigasi independen internasional dari Pacific Island Forum, negara-negara African Caribbean and Pacific (ACP) serta media asing untuk masuk ke Papua, seperti yang sudah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam berbagai pernyataannya.
Keenam, pemerintah Indonesia segera mengupayakan penyelesaian konflik Papua dan Jakarta dengan menindaklanjuti pernyataan Presiden Jokowi tanggal 30 September 2019 untuk bertemu dengan kelompok pro referendum.
Dewan Gereja juga menyampaikan kepada umat di Papua bahwa situasi konflik dan polemik Sekda Papua harus dilihat sebagai satu bagian kecil dari seluruh bagian besar skenario konflik yang sedang dilaksanakan oleh Jakarta untuk Papua. Ini adalah upaya Indonesia memecah belah orang Papua, yang polanya sudah terjadi sejak tahun 1960-an.
“Kita telah dipecah belah dengan menggunakan sentimen relasi, yaitu Papua gunung dengan Papua pantai, Papua suku ini dan suku itu, Papua Islam dan Kristen. Ini semua berangkat dari adanya pandangan rasis terhadap orang Papua yang dianggap terbelakang dan primitif. Oleh karena itu kami menghimbau agar seluruh umat Papua tidak terjebak dalam skenario pecah belah tersebut sehingga orang Papua akan hidup terus dari generasi ke generasi,” kata Dewan Gereja dalam surat tersebut.
Dewan Gereja di akhir surat tersebut menegaskan, jika negara tidak segera menyelesaikan konflik di Papua maka Papua akan terus menjadi persoalan seperti duri di dalam daging yang akan terus menerus menusuk dan menyakitkan. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)