Oleh Helga Maria Udam
Warga Grime Nawa, tinggal di Kampung Sawoi, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Papua
SUDAH terlalu lama kita berjalan dalam jalan yang sama, namun belum juga sampai pada perubahan yang nyata. Kita bangga sebagai orang Grime Nawa—bangsa dari lembah, gunung, dan sungai yang kaya akan adat, bahasa, dan nilai persaudaraan. Kita memiliki sejarah panjang dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun dari leluhur. Namun hari ini, mari kita jujur pada diri sendiri: apakah kita benar-benar bersatu? Apakah kita sudah cukup berdaya untuk menghadapi tantangan zaman ini dan menyongsong masa depan dengan penuh keyakinan?
Terkadang kita terlalu sibuk menyalahkan keadaan dan orang lain, padahal jawaban atas semua kesulitan ada pada diri kita sendiri. Kita perlu berhenti sejenak dan melakukan introspeksi mendalam. Kita lihat ke dalam diri, ke dalam kampung kita, ke dalam relasi antar keluarga, antar marga, dan antar generasi. Apa yang kita temukan? Apakah kita masih memegang teguh tali persaudaraan yang dulu begitu kuat? Atau kita justru membiarkannya terkoyak oleh urusan politik, iri hati, atau kepentingan jangka pendek?
Di antara kita, terlalu sering perbedaan kecil menjadi jurang yang memisahkan. Persaingan yang tidak sehat, saling curiga, dan kepentingan sesaat telah merusak kepercayaan satu sama lain. Kita sering lebih sibuk menjatuhkan saudara sendiri daripada memperkuat sesama. Padahal, leluhur kita mengajarkan bahwa hidup orang Grime Nawa adalah hidup bersama—tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa berjalan sendiri. Kita harus sadar bahwa kehancuran satu adalah kehancuran semua, dan sebaliknya, kemajuan satu adalah harapan bagi semua.
Kita tidak bisa terus hidup terpecah. Kalau satu kampung tertinggal, kita semua ikut tertinggal. Kalau satu anak muda kehilangan arah, kita semua kehilangan masa depan. Maka saatnya kita menata ulang hati dan pikiran. Mari kita lepaskan rasa iri, dengki, dan sikap saling menjatuhkan. Mari kita kembali merangkul, membangun, dan mempercayai satu sama lain sebagai satu keluarga besar Grime Nawa.
Kita juga harus berani mengakui bahwa kemandirian belum sepenuhnya tumbuh dalam diri kita. Kita terlalu lama berharap pada proyek dari luar, bantuan dari pemerintah, dan belas kasihan pihak lain. Padahal kekuatan itu ada dalam diri kita sendiri—dalam tangan yang mau bekerja, dalam pikiran yang mau belajar, dan dalam hati yang mau berubah. Jika kita tidak mulai membangun kemandirian hari ini, maka sampai kapan pun kita akan tetap bergantung, tetap tertinggal, dan tetap lemah.
Anak-anak kita harus dibimbing bukan hanya untuk sekolah, tetapi untuk memiliki karakter. Mereka harus tahu siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan ke mana mereka harus pergi. Kita perlu membekali mereka dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga dengan kebijaksanaan budaya dan nilai-nilai luhur yang menjadi akar kita sebagai orang Grime Nawa. Jangan biarkan generasi muda tumbuh tanpa arah, kehilangan identitas, atau merasa minder dengan jati dirinya.
Pendidikan adalah kunci, tetapi bukan satu-satunya. Kita juga harus mendorong kemampuan hidup praktis: bertani dengan cara yang lebih baik, mengolah hasil alam secara mandiri, membuka usaha kecil, dan memanfaatkan teknologi sederhana untuk meningkatkan kesejahteraan. Banyak orang Grime Nawa yang punya potensi besar di bidang pertanian, perikanan, kerajinan tangan, dan usaha lokal lainnya. Yang dibutuhkan adalah dukungan, pendampingan, dan ruang untuk berkembang.
Pemerintah daerah, gereja, dan organisasi masyarakat harus hadir secara nyata dalam mendampingi proses ini. Bukan sekadar datang saat kampanye atau pembagian bantuan, tapi benar-benar menjadi mitra yang mendorong perubahan dari akar. Kita butuh pelatihan, modal usaha, dan pembinaan yang menyentuh langsung ke kampung-kampung. Kita butuh sistem pendukung yang membuat orang Grime Nawa percaya diri untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Tentu jalan menuju kemandirian tidak mudah. Akan ada rintangan, kekecewaan, dan mungkin kegagalan. Tapi jangan jadikan itu alasan untuk berhenti. Kita harus belajar dari kesalahan, bangkit dari keterpurukan, dan terus melangkah dengan semangat baru. Kita harus percaya bahwa kita bisa—karena memang kita bisa. Kita punya tanah yang subur, kita punya kekayaan budaya, dan kita punya semangat yang diwariskan dari leluhur.
Ke depan, tantangan akan semakin berat. Tapi bukan berarti kita harus takut atau menyerah. Sebaliknya, kita harus menata barisan, memperkuat akar, dan menatap masa depan dengan keyakinan. Kita adalah pewaris tanah Grime Nawa yang subur dan penuh potensi. Masa depan tidak akan menunggu orang yang ragu-ragu. Ia hanya berpihak kepada mereka yang bersatu, bekerja keras, dan percaya pada diri sendiri.
Kini saatnya orang Grime Nawa bangkit. Bangkit dari rasa lelah, dari perpecahan, dari keraguan. Kita mulai dari diri sendiri, dari keluarga, dari kampung, lalu meluas ke seluruh wilayah Grime Nawa. Kita perkuat ikatan di antara kita, kita gali potensi dalam diri kita, dan kita hidup dengan semangat untuk memberi, bukan hanya menerima. Masa depan yang damai, sejahtera, dan bermartabat bukan sesuatu yang jauh, jika kita memulainya hari ini dengan bersatu dan berdaya. Sudah saatnya kita meyakinkan diri dan berkata, “Kami bisa, kami mampu, dan kami bersatu untuk masa depan Grime Nawa yang lebih baik.”