Oleh Ben Senang Galus
Pemerhati Masalah Sosial Budaya Papua; tinggal di Yogyakarta
Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri.
Bung Karno, 1947
SEIRING dengan perubahan zaman, kaum muda Papua tidak berhenti atau puas dengan menyebut diri sebagai kaum intelektual atau cendekiawan. Kaum muda Papua juga harus memiliki sifat-sifat sebagai resi. Resi adalah seorang yang bijaksana dan sarat nilai moral dan agama.
Karena ia adalah penggugah hidup masyarakat atau penguasa. Oleh karena itu kaum muda sebagai kaum intelektual atau cendekiawan berperan mengabdikan dirinya kepada kebenaran, kejujuran, kebaikan, keadilan, kedamaian dan keindahan serta memiliki moral dan agama yang kuat.
Barangkali kaum muda Papua harus belajar dari Socrates (470-399 SM), cendekiawan Yunani kuno, akhir hidupnya sangat tragis. Ia mati oleh hukuman masyarakatnya. Menjelang kematiannya ia menyebut dirinya ‘lalat liar’. Ia mengatakan, ‘mungkin kedengarannya lucu. Saya seperti seekor lalat liar di tengkuk seekor kuda’.
Kuda adalah pemerintah atau masyarakat yang lelap terlena dalam berbagai kebusukan karena pengabaian nilai-nilai luhur manusiawi. Ia berjuang untuk menegakkan nilai-nilai itu. Penguasa atau masyarakat merasa terganggu dalam tidurnya dan tanpa pikir panjang memukul ‘lalat liar’ (Socrates) agar pules lagi dalam gelimang dosa.
Socrates mati, namun kematiannya tidak dapat begitu saja membuat penguasa atau masyarakat tetap tenang melanjutkan tidurnya. Dalam keadaan mata terpejam penguasa-masyarakat berpikir tentang pikiran dan sikap hidup Socrates.
Pesan apa yang akan disampaikan Socrates kepada kaum muda Papua? Kaum muda Papua tidak boleh hidup aman dalam ketentraman palsu dan stabilitas semu. Mahasiwa harus berperan sebagai ‘lalat liar’.
Kehadirannya di tengah publik tidak membuat lagi yang terlena dalam kebusukan tetapi mengganggunya agar terbangun dari tidurnya. Ini peran kaum muda (cendekiawan); harus memberi kesaksian agar kehidupan ini terjaga. Seorang cendekiawan harus merasa tidak dapat hidup lebih lanjut kalau tidak menjalankan perannya itu.
Kehadiran kaum muda harus bersuara kuat seperti Socrates. Negara kita termasuk di bumi Cenderawasi terlalu riuh oleh aneka kejahatan yang melembaga (KKN), dan didukung birokrasi dan oleh banyak orang.
Bila kaum muda Papua tidak kuat dan jujur ia akan beralih profesi, tidur bersama koruptor dan banyak orang dalam pengabaian nilai-nilai luhur manusiawi. Kita harap kehadiran kaum muda Papua tampak semakin jelas dalam latar belakang negara yang semakin gelap, merosotnya moralitas.
Untuk itu perlu ketangguhan moral dan pribadi kaum muda, karena jika tidak demikian, peristiwa Socrates terjadi lagi ‘lalat liar’ dipukul mati di bumi Cenderawai. Seperti Socrates, pada saatnya sikap kaum muda Papua bahwa kehadiran fisiknya tidak penting lagi, yang penting kehadiran ‘gangguan’ itu. Gangguan itu membuat penguasa tidak tenang dalam melanjutkan tidurnya.
Penulis yakin hal itu bukan sesuatu yang sia-sia. Karena sang cendekiawan bukan memasukkan sesuatu yang asing, yang berasal dari luar, ke dalam diri sesama melainkan menyadarkan sesama apa yang terlekat dalam martabatnya sebagai manusia.
Manusia pada hakekatnya baik. Ia mencintai apa yang baik, adil, indah. Harap oleh hidup dan karya sang cendekiawan, masyarakat menyadari bahwa ia tidak dapat hidup lebih lanjut kalau tidak mengubah cara hidupnya sekarang.
Jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai suatu kehidupan demokrasi yang lebih baik ke depannya adalah kaum muda Papua tidak hentinya-hentinya melakukan revolution of mind. Artinya kaum muda Papua harus melakukan counter power yang tentunya tidak menyimpang dari mainstream negara.
Revolution of mind hanya lahir dari kampus-kampus di mana sistem pendidikannya mendorong kaum muda menjadi kaum intelektual organik, hibridisasi, dan kritis pofetis. Memang antagonistis, di satu pihak masih ada kampus yang menjalankan fungsinya tidak lebih sekadar student breeding, panti asuhan.
Karenanya out put-nya menjadi intelektual hidroponik. Intelektual hidroponik adalah intelektual yang pengetahuannya tidak mengakar, kultur akademik di kampus sengaja tidak dikembangkan, karena kampus kehilangan semangat, kaum muda cenderung menjadi pemulung ilmu pengetahuan (scientist scalpers).
Mungkin ada benarnya. Sebagian besar kaum muda kita saat ini mengidap penyakit gaudeamus igitur iuvenes dum sumus. Ketakberdayaan kaum muda dalam mengembangkan revolution of mind (kultur akademik/kultur kemasyarakatan), sama artinya kaum muda sedang melakukan satu proses pauperisasi atau proses pemiskinan intelektual. Pada giliran-nya proses pauperisasi ini akan melahirkan sarjana-sarjana serba tanggung, tebatas kapasitas keilmuan, wawasan, dan lingkup ilmiahnya.
Hubungan kaum muda dengan kampusnya bersifat “loco parentis”, sebagai “anak asuhan” dari sebuah perguruan tinggi yang bertanggungjawab atas bimbingan dan perkembangan pribadi kaum muda. Bersamaan dengan itu muncullah peran-peran kaum muda sebagai “santri-santri”, pelanggan biasa yang mengambil berbagai pelajaran untuk mencari gelar dan selebihnya sebagai “bohemians” (petualang), maka wajar saja kalau mereka mengalami krisis intelektual.
Kian pudarnya kultur akademik atau kemasyarakatan di perguruan tinggi saat ini dugaan dilatari sejumlah hal. Pertama, budaya ketergantungan intelektual yang tinggi. Kedua, inner-dynamic yang lemah. Ketiga, belajar dengan moral minimalis. Keempat, kebiasaan melecehkan waktu. Kelima, minat baca masih rendah. Keenam, sosialiasi diri masih rendah. Ketujuh, minat menulis rendah, Kedelapan, minat diskusi rendah. Kesembilan, minat berinovasi masih rendah.
Heideger mengatakan, kaum muda sebagai cendekiawan menjalankan dua kewibawaan. Pertama, das rehnende denken. Artinya, pemikirannya memperhitungkan —kehadiran kaum muda perlu diperhitungkan sebagai aset strategis, menguasai dengan alasan membuat kalkulai politik. Kedua, das andenkende denken. Maksudnya, pemikirannya yang memperhatikan, kehadiran mahasiswa sebagi cendekiawan, mampu untuk berpikir, bersikap terbuka, perlu menjadi kaum muda yang bebas dari mentalitas ikut arus.
Prinsip berpolitik kaum muda Papua hendaknya berpedoman pada karakter berikut: in principiis, unitas, in dubuiis, libertas, in omnibus, caritas (dalam hal prinsip kita bersatu, dalam hal terbuka kita bebas menentukan pendapat, dalam segala hal harus ada kasih). Kaum muda telibat dalam kegiatan politik dalam rangka menempatkan diri sebagai noblesse oblige.
Dalam hal ini, ketika menjajaki kehidupan pascakampus kaum muda harus mempersiapkan dan mengekskalasikan diri yang awalnya adalah intelektual tradisionil menjadi intelektual organik-profetik yang berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam menjalankan peran itu hendaknya kaum muda Papua berpegang pada prinsip moral pertama: serviens in lumine veritatis, melayani dalam cahaya kebenaran (serving in the light of truth). Dengan cara demikian kaum muda Papua menjalankan sebagian academic social responsibility.
Percayalah! Apapun yang Anda lakukan, Anda telah mewartakan prinsip moral kedua, ”gloria dei vivens homo, irenius, adversus haereses (memancarkan cahaya kemuliaan Allah penciptanya). Sekali lagi vox dispulum vox Dei (suara kaum muda adalah suara Tuhan). Kaum muda Papua, bangkitlah! Selamatkan bumi Cenderawasih!