PAPUA telah lama menjadi wilayah yang penuh dengan dinamika sosial, politik, dan keamanan. Sayangnya, selama bertahun-tahun, pendekatan TNI dan Polri dalam menangani situasi di Papua sering kali didominasi oleh tindakan represif yang memicu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sejumlah laporan dari lembaga nasional maupun internasional telah mengungkap berbagai kasus kekerasan, penghilangan paksa, dan tindakan eksesif yang justru memperdalam jurang ketidakpercayaan antara masyarakat Papua dan aparat keamanan. Jika situasi ini terus dibiarkan, bukan hanya stabilitas di Papua yang akan terancam, tetapi juga citra Indonesia sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi HAM.
Sudah saatnya paradigma penanganan Papua diubah secara mendasar. Alih-alih mengedepankan pendekatan militeristik yang berfokus pada kekuatan senjata, TNI dan Polri harus mengadopsi strategi yang lebih persuasif dan humanis dalam menjalankan tugasnya. Prinsip ini bukan hanya soal menjaga ketertiban, tetapi juga membangun kepercayaan serta keharmonisan dengan masyarakat setempat. Pendekatan yang lebih dialogis dan berbasis kesejahteraan akan lebih efektif dalam menciptakan stabilitas jangka panjang. Dengan begitu, Papua tidak hanya menjadi lokasi operasi keamanan semata, tetapi juga wilayah yang berkembang secara sosial dan ekonomi.
Pendekatan humanis bukanlah konsep baru dalam dunia kepolisian dan militer modern. Banyak negara telah membuktikan bahwa dialog dan kerja sama dengan masyarakat lebih efektif dalam meredam potensi konflik. Salah satu langkah yang dapat diterapkan di Papua adalah program pembinaan masyarakat yang melibatkan tokoh adat, pemuka agama, dan kelompok-kelompok lokal. TNI dan Polri harus lebih aktif dalam pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, sehingga kehadiran mereka tidak lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra dalam pembangunan. Memberikan pelatihan keterampilan, mendukung usaha mikro, dan meningkatkan akses terhadap layanan dasar adalah strategi yang lebih efektif dalam membangun kedekatan dengan masyarakat Papua.
Selain itu, reformasi internal dalam institusi TNI dan Polri juga mutlak diperlukan. Pelatihan tentang hak asasi manusia dan pendekatan berbasis komunitas harus menjadi bagian integral dalam pendidikan serta pengembangan personel yang ditugaskan di Papua. Sistem pengawasan yang lebih transparan perlu diterapkan agar tindakan oknum yang melakukan pelanggaran dapat dicegah dan ditindak tegas. Tanpa adanya akuntabilitas, sulit bagi masyarakat untuk memulihkan kepercayaan terhadap aparat keamanan. Oleh karena itu, penguatan mekanisme pelaporan dan pengaduan harus diperjelas sehingga warga merasa aman untuk melaporkan segala bentuk pelanggaran yang terjadi di lapangan.
Pemerintah pusat juga memiliki peran besar dalam memastikan bahwa kebijakan keamanan di Papua selaras dengan prinsip demokrasi dan HAM. Penyelesaian konflik tidak boleh hanya berorientasi pada penegakan hukum yang keras, tetapi harus dibarengi dengan solusi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Investasi dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan yang inklusif akan jauh lebih bermanfaat dibandingkan pengerahan pasukan dalam jumlah besar tanpa strategi yang jelas. Pemerintah harus lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat Papua dengan membuka ruang dialog yang lebih luas dan melibatkan mereka dalam setiap pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Dengan mengubah wajah TNI dan Polri di Papua dari yang represif menjadi lebih persuasif dan humanis, Indonesia bisa membuktikan bahwa pendekatan berbasis kemanusiaan adalah jalan terbaik untuk menciptakan kedamaian. Papua bukan sekadar wilayah yang harus dijaga stabilitasnya dengan kekuatan militer, tetapi juga rumah bagi saudara sebangsa yang berhak mendapatkan perlakuan adil dan bermartabat. Keberhasilan menciptakan Papua yang damai dan sejahtera akan menjadi cermin bagi dunia bahwa Indonesia adalah negara yang mampu mengelola keberagaman dengan pendekatan yang lebih bermartabat. (Editor)