Oleh Marco Kasipdana
Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
PERUSAHAAN Xinyi Glass Holdings, Ltd akan membangun pabriknya di Pulau Rempang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Nilai investasi Rp 172 triliun. Xinyi Group, perusahaan asal China, direstui pemerintah Indonesia yang dalam rencana menggandeng BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG).
Proyeksinya, Rempang jadi mesin ekonomi baru Indonesia dan pada 2020 diprediksi meraup keuntungan dari investasi jumbo ini sebesar Rp 381 triliun. Dalam ancang-ancang, pulau seluas kurang lebih 17.000 hektar akan menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata. Tujuannya, mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia di dua negeri tetangga: Malaysia dan Singapura.
Tujuh zona yang akan dikembangkan antara lain zona industri, agro wisata, pemukiman dan komersial, pariwisata, hutan dan pembangkit listrik tenaga surya, margasatwa dan alam serta cagar budaya. Proyek ini juga diprediksi menyerap 306.000 tenaga kerja hingga 2080.
Untuk siapa?
Para pegiat HAM dan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mempertanyakan tujuan Pembangunan bercermin dari Rempang. “Sebenarnya untuk siapa pembangunan itu? Investasi itu untuk siapa kalau rakyatnya sendiri harus diusir dari tempat itu?” kata Zenzi dari Walhi.
Pemerintah dinilai Walhi belum memberikan informasi, komunikasi dan edukasi secara transparan terkait perhitungan keuntungan dari investasi itu dan dampak ekonominya bagi masyarakat setempat yang berjumlah 7000-an kepala keluarga. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika buka suara.
Ia menyebut apa yang terjadi di Rempang bukan sekadar relokasi masyarakat namun lebih dari itu. Investasi di Rempang malah melahirkan tindakan “perampasan tanah rakyat secara struktural oleh pemerintah” melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk. Rempang akhirnya menambah daftar panjang konflik agraria.
Catatan KPA menyebutkan, terdapat 35 kasus konflik agraria yang disebabkan dari aktivitas pemberantasan sarang nyamuk. Di sisi lain, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau Boy Jerry Even Sembiring yang ikut mengadvokasi warga Rempang-Galang menilai, semestinya proyek investasi tidak mengorbankan masyarakat adat. Apalagi mereka tidak memberikan persetujuan.
Mesti ada opsi
Mencermati rencana investasi di Rempang dan sikap penolakan keras masyarakat, dapat dibaca dalam sejumlah aspek. Pertama, jika kawasan industri terwujud dipastikan terjadinya perubahan pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat pulau itu.
Kedua, kebijakan pemerintah mengembangkan kawasan industri di sebuah pulau atau wilayah tertentu mesti diikuti opsi pekerjaan baru bagi masyarakat setempat. Keberadaan sebuah kawasan industri tentu juga menstimulasi sektor lain. Misalnya, ketersediaan sarana dan prasarana, mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan. Namun demikian, restu masyarakat adat sangat penting.
Ketiga, keberadaan kawasan industri di pedesaan tentu juga membawa dampak negatif bila tidak dikelola dengan baik. Selain tentu juga benefit yang diperoleh masyarakat dan negara.
Dampak negatif seperti pencemaran lingkungan adalah sesuatu yang sangat sensitif di mata warga masyarakat lokal. Keberadaan sebuah investasi bila tidak dikelola berpotensi membawa dampak negatif lainnya seperti pencemaran air, udara, bahkan mengganggu kesuburan tanah.
Kisruh Rempang mesti menyadarkan pemerintah dan semua pemangku kepentingan (stakeholder) tentang hakikat perencanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berkiblat pada negara dan masyarakat.
Negara melalui aparatusnya tentu tidak sudi warganya terus bergemilang dalam ketertinggalan. Namun, komunikasi produktif antara pemerintah dan warganya juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam sebuah rencana investasi.
Presiden Jokowi memiliki kualitas komunikasi yang baik dengan pendekatan luar biasa dalam berbagai kebijakannya bersentuhan dengan masyarakat kecil. Dalam kasus Rempang dibutuhkan komunikasi dan pendekatan elegan aparat pemerintah di bawahnya. Ini yang bisa saja hilang dari (kisruh) Rempang.
Presiden Jokowi juga menginginkan, gejolak sosial di Rempang terkait rencana pembangunan Rempang Eco City segera terselesaikan. Tidak ada lagi ada tindak kekerasan yang merugikan pihak manapun.
“Bapak Presiden dalam arahan rapat pertama adalah untuk penyelesaian masalah Rempang harus dilakukan secara baik secara betul-betul kekeluargaan. Dan tetap mengedepankan hak-hak dan kepentingan masyarakat di sekitar di mana lokasi itu diadakan,” ujar Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia usai rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta mengutip cnbcindonesia.com, Rabu (27/9).