VIDEO dua aparat Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara meringkus pemuda tunawicara beredar luas di media sosial sejak Selasa, 27 Juli 2021. Dalam video berdurasi 1 menit 19 detik itu pemuda itu telungkup di trotoar dengan tangan dikunci di punggungnya.
Satu aparat yang lain menginjakkan sepatu tentara di kepala si pemuda. Peristiwa itu terjadi di Merauke, Papua. Belakangan diketahui dua tentara Polisi Militer Angkatan Udara berasal dari Landasan Udara Merauke.
Pemuda difabel itu bernama Steven. Kejadian itu diawali dengan perselisihan di warung makan. Komnas Papua melansir keterangan Frits Ramandey, sebagaimana dimuat oleh cnnindonesia.com (28/7). “Dia agak melakukan gestur protes karena ada seseorang di situ yang usir dia. Karena salah seorang di situ mengatakan dia (korban) mau ancam penjual yang ada di warung situ. Sehingga saling usir dan cekcok,” kata Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua.
Gambar sepatu militer menginjak kepala orang Papua difabel itu membangkitkan rasa terhina. Tindakan itu merendahkan martabat manusia. Wajar perlakuan itu dicap biadab dan mendapatkan gelombang protes yang luas. Protes tidak saja dari antara orang-orang Papua.
Kemanusiaan adalah bahasa universal. Perasaan terluka dirasakan oleh banyak orang. Kaki bersepatu tentara menginjak kepala itu telah mengiris rasa kemanusiaan ribuan orang. Media sosial memperlihatkan kekuatannya dalam menggalang solidaritas.
Tidak lama gambar Steven diinjak sepatu tentara disandingkan dengan gambar George Floyd yang ditindih lutut polisi di Mineapolis, AS, sampai kehabisan oksigen. Kematian George Floyd memicu bangkitnya protes panjang dan meluas dengan tagar #blacklivesmatter. Kemudian tagar #papuanlivesmatter beredar. Derek Chauvin, polisi yang membunuh George Floyd, diputuskan bersalah. Ia divonis hukuman penjara 22 tahun.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dengan cepat menyampaikan permintaan maaf melalui video. Begitu juga Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo mengakui kesalahan tindakan anggotanya. Ia menegaskan bahwa kedua pelaku sudah ditahan dan segera menjalani proses selanjutnya. Kantor Sekretariat Presiden kemudian melangsir rilis pemberitaan yang salah satu isinya adalah permintaan maaf dan insiden ini sudah ditangani untuk diproses hukum.
Papua berulangkali menderita tindakan rasis. Perlakuan tidak manusiawi seperti itu sudah sejak lama menjadi cara berurusan dengan Papua. Filep Karma kemudian menuliskan menjadi buku Seakan Kitorang Setengah Binatang. Penghinaan, layaknya anak panah, telah bertubi-tubi menusuk hati kita. Syukurlah, semakin banyak orang yang berani mengambil sikap dan memihak korban.
Rasisme membunuh — mungkin cara matinya perlahan-lahan atau gagal hidup secara sempurna. Anak yang lahir dalam lingkungan rasis sejak kecil sudah dihujam oleh beragam stigma atau label sosial yang tidak menguntungkan. Mereka mengalami penolakan dari lingkungan sosialnya. Mereka tidak mendapatkan ruang dan komunitas untuk berkembang. Juga tidak mengalami solidaritas dari sesama manusia karena dipandang bukan sebagai manusia yang sama. Rasisme menyangkal sekelompok orang untuk memiliki kemanusiaan yang sama.
Apakah yang seperti itu ada di Papua? Kejadian di Merauke adalah bukti untuk ke sekian kali. Rasisme masih bercokol di Papua. Ada ruang-ruang sosial yang tidak menginginkan orang Papua untuk hadir. Bayangkan seorang yang berdiri di depan pintu rumah yang terbuka — dengan orang-orang bercengkerama asyik di dalamnya — dan ia merasa menjadi orang asing di sana. Padahal, rumah itu dibangun di atas tanah nenek moyangnya. Ia seolah berdiri di depan pagar yang menghalanginya untuk masuk.
Di warung nasi itu kehadiran Steven barangkali tidak diinginkan. Mungkin menjadi suatu keganjilan yang aneh dan perlu diusir. Cekcok Steven di warung nasi tidak akan berujung dengan sepatu bots di atas kepala apabila itu terjadi bukan di Papua. Atau, jika Steven bukan orang Papua. Cara menyelesaikan selisih tidak akan semenghina itu. Sebab, ketika itu yang ada, Steven bukanlah kehadiran suatu yang ganjil.
Kita perlu tahu: rasisme telah membunuh ribuan atau bahkan jutaan orang. Kalau bukan mati dengan badan-badannya, jiwanya yang tercekik menjadi kerdil. Seandainya dokumen tentang Papua sejak lama tersedia, seperti yang dimiliki Jerman tentang Nazi, kita bisa menghitung berapa banyak orang Papua yang sudah dilenyapkan.
Sayangnya, kita tidak punya dokumen. Kita juga tidak pernah membuat monumen sekadar untuk ingat kepada saudara-saudara kita sendiri. (Editor)