WAENA, ODIYAIWUU.com — Pendidikan di Papua idealnya bukan sekadar menjadikan setiap orang jadi pintar atau berwawasan luas. Pendidikan juga menjadikan orang semakin mencintai jati diri, identitas entah tradisi, bahasa maupun budaya lainnya yang lengket dengan orang asli Papua.
Bahkan lebih dari itu, pendidikan menjadikan orang Papua mampu berpikir kritis dalam merespon semua peristiwa yang terjadi di atas tanah leluhurnya secara bertanggungjawab. Ia (pendidikan) menjadikan orang Papua tidak gampang atau mudah terprovokasi dengan berbagai isu hoaks yang berpotensi memecah belah satu sama lain dalam relasi personal maupun komunal.
“Pendidikan menjadi satu-satunya jalan paling masuk akal yang wajib dilalui untuk mewujudkan perubahan di atas tanah Papua. Semangat dan kesadaran kolektif untuk sungguh-sungguh berjuang mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu hingga ke perguruan tinggi harus menjadi bagian dari setiap individu yang hidup dan lahir di atas tanah ini,” ujar pendiri Yayasan Maga Edukasi Papua (YMEP) Samuel Tabuni, M.Si, Majed saat berlangsung diskusi bertema Pendidikan Papua di Mata Samuel Tabuni bertempat di aula Susteran Maranatha, Waena, Papua, Senin (28/11).
Samuel, intelektual muda Papua kelahiran Kabupaten Nduga dan Master of Jews Education (Majed) lulusan Hebrew University of Jerusalem, Israel menambahkan, pendidikan yang benar menjadikan orang Papua berhikmat dan bijaksana dalam mengambil setiap keputusan yang tepat dalam banyak hal, termasuk usaha membangun negeri yang ia cintai.
“Negara telah memberikan banyak terobosan dalam dunia pendidikan khususnya yang diinisiasi Mendikbudristek Pak Nadiem Makarim melalaui berbagai program, termasuk Program Merdeka Belajar. Hal ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk membangun pendidikan yang juga kontesktual dan tidak membuat orang asli Papua tercerabut dari akar budayanya,” lanjut Samuel, pendiri International University of Papua (IUP), Jayapura.
Samuel, pendiri Papua Language Institute (PLI), juga mengatakan, tanggungjawab membangun sumber daya manusia (SDM) unggul di tanah Papua dikaruniai Tuhan di pundak semua orang Papua. Sebagai anak honai ia juga menyadari diri memiliki keterbatasan sehingga tidak bisa menolong semua orang.
“Melalui kesempatan ini, saya mengajak kita semua untuk benar-benar mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita semua bekali diri dengan ilmu dan pengalaman yang cukup selagi masih ada kesempatan. Semua ini semata agar kita dapat membangun negeri ini bersama-sama dengan keahlian kita masing-masing,” lanjut Samuel.
Pihaknya juga menandaskan, semua pihak tidak bisa menyalahkan Jakarta atas ketertinggalan dan keterbelakangan dalam sektor pendidikan di tanah Papua. Jakarta justru perlu ditolong oleh orang yang lahir dan hidup di atas tanah ini.
“Saya berharap pendidikan yang kita bangun bersama di atas tanah ini, dapat melahirkan para ahli yang berasal dari suku-suku yang tersebar di tujuh wilayah adat di atas tanah Papua. Pendidikan yang melahirkan ahli di dalam berbagai bidang, sehingga kita bisa membantu pemerintah pusat dalam membangun negeri Papua ini,” kata Samuel.
Masih minim
Potret buram pendidikan di kampung-kampung terpencil di Papua masih dengan mudah ditemui. Pemandangan bisa dijumpai di mana hampir di setiap distrik terdapat fasilitas pendidikan penunjang untuk sekolah dasar (SD). Sementara sekolah-sekolah setara SMP tak ditemui di setiap distrik. Bisa saja di empat atau lima distrik baru ada satu gedung. Belum lagi SLTA yang hanya dibangung di ibu kota kabupaten.
“Kalau mau jujur anak-anak kita yang lahir di pedalaman mungkin mereka bisa sekolah SD. Katakan yang lulus kelas VI ada 15 anak, misalnya. Kemudian 15 anak ini lanjut sekolah di SMP, mereka harus rela berjalan kaki berkilo-kilo meter dengan kondisi jalan yang rusak. Belum tentu 15 itu bertahan hingga lulus SMP,” katanya.
Bahkan, ujar Samuel, kalau 10 orang anak bertahan hingga lulus SMP pun, 10 anak ini belum tentu punya kesempatan melanjutkan pendidikan ke SMA. Mungkin hanya 5 orang berhasil lanjut ke SMA. Ada orangtua yang berjuang mati-matian mengirimkan anaknya ke kota untuk sekolah di SMA.
Bagi anak-anak yang ibah, prihatin, dan sadar dengan kondisi ekonomi orangtuanya, mereka harus rela memilih tetap di kampung membantu orangtuanya di kebun atau berburu. Inilah kenyataannya, bagi anak-orang asli Papua yang lahir di pedalaman. Sekadar sekolah, perjuangannya mati-matian.
“Selain jarak tempuh ke sekolah jauh, mereka juga berjuang keras mengingat keterbatasan fasilitas pendidikan yang memadai, berjuang karena dididik oleh guru yang terbatas, kondisi ekonomi orangtua yang tidak sepenuhnya dapat menunjang kebutuhan anak-anak kita di sekolah,” lanjut Samuel.
Diskusi publik digagas Lembaga Riset Ekonomi Politik (Lempar) Papua dan Peace Literacy Institute Indonesia dihadiri mahasiswa, pemuda dan aktivis gereja, termasuk pegiat literasi di Jayapura. Diskusi yang berlangsung kurang lebih satu setengah jam tersebut bertujuan menggali lebih dalam pemikiran dan pandangan Samuel sebagai tokoh muda yang telah melakukan sejumlah terobosan dalam dunia pendidikan di Papua.
“Sejauh pengamatan saya 15 tahun terakhir, tantangan pendidikan di Papua yaitu SDM Papua khususnya orang asli masih tertinggal. Realitas Ini bukan karena keinginannya menjadi tertinggal atau terbelakang tetapi mereka menyerah dengan realitas pendidikan di tingkat grass root, akar rumput khususnya di berbagai pelosok yang memprihatinkan,” kata Samuel.
Namun, ia menambahkan bahwa realitas itu harus diretas bersama pemerintah, masyarakat, dan semua stakeholder guna mewujudkan pendidikan yang dapat diakses seluruh lapisan masyarakat. “Upaya itu dilakukan terutama menghadirkan sekolah-sekolah di daerah yang terisolasi, terpencil, dan terbelakang. Pemerintah perlu didorong dan dibantu dalam usaha membangun SDM Papua yang mumpuni di masa mendatang,” lanjut Samuel. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)