TANAH bagi orang asli Papua (OAP) bukan sekadar ruang hidup, melainkan identitas, harga diri, dan warisan leluhur yang diwariskan turun-temurun. Namun, tanah-tanah adat yang seharusnya menjadi benteng eksistensi masyarakat adat Papua kini terus dirampas atas nama pembangunan, investasi, dan kepentingan oligarki. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak masyarakat adat, justru menjadi aktor utama dalam aksi perampasan tanah ini.
Di berbagai wilayah Papua, pemerintah dan korporasi bekerja sama mencaplok tanah adat dengan dalih proyek strategis nasional, izin perkebunan, eksploitasi tambang, serta pembangunan infrastruktur yang tidak berpihak kepada rakyat. Salah satu bukti nyata adalah ekspansi perkebunan sawit yang menghancurkan ribuan hektare hutan adat. Tanah-tanah itu diambil dari masyarakat adat tanpa persetujuan yang sah dan sering kali melalui intimidasi serta manipulasi hukum.
Tidak hanya itu, sektor pertambangan menjadi wajah lain dari kejahatan negara terhadap rakyat Papua. Freeport, yang sejak awal berdiri di atas tanah yang tidak pernah benar-benar direstui oleh masyarakat adat Amungme dan Kamoro, adalah simbol kolonialisme ekonomi yang terus menghisap kekayaan Papua. Di berbagai daerah lain, izin-izin tambang dikeluarkan tanpa mengindahkan hak-hak masyarakat adat, mengubah kampung-kampung menjadi kawasan eksploitasi yang merusak lingkungan dan mengusir penduduk asli dari tanah mereka sendiri.
Kekerasan negara terhadap masyarakat adat Papua juga menjadi pola yang terus berulang. Ketika rakyat Papua menolak perampasan tanah, mereka justru dikriminalisasi dan dicap sebagai separatis. Aparat keamanan dikerahkan untuk membungkam protes dan melindungi kepentingan investor. Para pemimpin adat yang mempertahankan hak-hak tanah mereka kerap menjadi korban intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, bahkan pembunuhan. Sejarah mencatat bagaimana berbagai gerakan perlawanan rakyat Papua sering kali direspons dengan kekerasan brutal, yang berujung pada penderitaan panjang bagi masyarakat adat.
Kejahatan ini semakin nyata ketika negara menggunakan instrumen hukum untuk menghalalkan perampasan tanah adat. Berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan terkait investasi, dirancang untuk mempermudah perusahaan menguasai tanah masyarakat adat. Proses “pembebasan lahan” sering kali dilakukan tanpa konsultasi yang bermakna dengan pemilik tanah yang sah, yaitu masyarakat adat Papua. Bahkan, dalam beberapa kasus, pemalsuan dokumen dan manipulasi administrasi digunakan untuk mengesahkan penguasaan tanah secara ilegal oleh perusahaan besar.
Negara tidak hanya membiarkan tanah adat dicaplok, tetapi juga menghilangkan akses masyarakat Papua terhadap sumber daya mereka sendiri. Ketika tanah dirampas, rakyat kehilangan ruang untuk bertani, berburu, dan hidup secara mandiri sesuai budaya mereka. Ketergantungan pada ekonomi kapitalis yang tidak berpihak semakin memperparah penderitaan masyarakat adat. Pada akhirnya, perampasan tanah ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga strategi sistematis untuk melemahkan dan menghilangkan eksistensi orang asli Papua di negerinya sendiri.
Papua bukan hanya soal kekayaan alam yang bisa dieksploitasi. Papua adalah rumah bagi rakyatnya, yang memiliki hak penuh atas tanah mereka sendiri. Perampasan tanah adat yang terus terjadi adalah bukti nyata bahwa negara lebih berpihak kepada oligarki ketimbang melindungi rakyatnya sendiri. Jika kejahatan ini terus dibiarkan, maka negara bukan lagi sekadar lalai, tetapi menjadi pelaku utama dalam penghancuran hak-hak masyarakat adat Papua.
Sudah saatnya dunia melihat dan menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan ini. Negara harus mengembalikan hak-hak tanah adat kepada masyarakat Papua, menghentikan kebijakan yang melegitimasi perampasan, serta memberikan keadilan bagi korban-korban yang telah dirugikan. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa negara ini tidak hanya gagal melindungi rakyatnya, tetapi telah menjadi mesin perampas yang menghancurkan masa depan Papua. (Editor)