JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Presiden Prabowo Subianto mendorong program transmigrasi ke wilayah Indonesia Timur, terutama tanah Papua sebagai pintu masuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan daerah-daerah di Indonesia.
Namun rencana tersebut menuai protes di kalangan masyarakat dan berbagai elemen di bumi Cenderawasih. Program transmigrasi dinilai sekadar siasat melakukan perampasan lahan masyarakat, terutama komunitas masyarakat adat yang menyebar hampir merata di berbagai wilayah provinsi paling timur Indonesia itu.
“Hemat saya Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia memikirkan serius agar uang negara yang jumlahnya bakal fantastis sebaiknya atau idealnya bisa digunakan untuk meningkatkan dan menyediakan sumber daya manusia, SDM di tanah Papua,” ujar anggota DPD RI Eka Kristina Yeimo, S.Pd, M.Si kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Kamis (24/10).
Menurut Eka, senator Daerah Pemilihan (Dapil) Papua Tengah, SDM masyarakat lokal mesti disiapkan terlebih dahulu sehingga tidak melahirkan kecemburuan sosial. Mendorong transmigrasi sebagai pintu masuk meraih kesejahteraan bagi masyarakat tanpa menyiapkan SDM memadai, kata Eka, tak lebih seperti menyimpan bara dalam sekam. Potensi konflik di tingkat lokal menganga lebar.
Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara, Senin (21/10) mengatakan, sesuai arahan Presiden Prabowo, pihaknya berupaya untuk membangun kebanggaan warga transmigran yang dipandang sebagai para patriot bangsa. Upaya membangun kebanggaan tersebut, katanya, dimulai dari lingkungan kementerian yang ia pimpin.
“Agar Papua betul-betul menjadi bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam konteks kesejahteraan, persatuan nasional, dan dalam konteks lebih besar,” kata Iftitah saat berlangsung serah terima jabatan Menteri Transmigrasi di Kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Jalan Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan.
Wilayah Timur Indonesia, terutama tanah Papua digadang-gadang menjadi tujuan utama program transmigrasi. Ada sejumlah tujuan program transmigrasi. Pertama, meningkatkan ketahanan pangan. Kedua, pemberdayaan masyarakat.
Ketiga, pemerataan pembangunan wilayah melalui persebaran penduduk. Keempat, menjaga batas dan kedaulatan negara. Kelima, berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Keenam, mewujudkan desa-desa definitif, kecamatan dan kabupaten baru. Ketujuh, melahirkan beberapa kepala daerah baru.
“Untuk mewujudkan program transmigrasi memerlukan biaya besar untuk pengembangan wilayah transmigrasi sehingga akan menghabiskan uang negara. Idealnya, uang negara digunakan untuk menyediakan sumber daya manusia yang siap bekerja demi mencapai kesejahteraan,” kata Eka, senator muda jebolan S2 Universitas Indonesia dan dosen Universitas Cenderawasih.
Setelah SDM masyarakat setempat maupun transmigran sudah siap untuk bekerja, ujar Eka, baru pemerintah memikirkan terkait swasembada pangan, food estate. Misalnya, di Merauke 1 juta hektar, Kalimantan Tengah 450 ribu hektar, Kalimantan Selatan 200 ribu-300 ribu hektar, Sulawesi Selatan 200 ribu-300 ribu hektar, hingga Jambi, Aceh, dan Kalimantan Barat.
Data Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Provinsi Papua tahun 2003 menyebutkan, sudah ada 217 lokasi transmigrasi di wilayah Papua sejak pra-Pelita sampai dengan akhir Pelita VII atau sebelum reformasi.
“Sejak pra-Pelita sampai dengan akhir Pelita VII atau sebelum reformasi sudah ada 217 lokasi transmigrasi dengan jumlah kepala keluarga transmigran sebanyak 78.650 dan jumlah anggota keluarga 306.447 orang. Ini data Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Papua tahun 2003,” ujar dosen senior Universitas Papua Dr Ir Agus Irianto Sumule kepada Odiyaiwuu.com dari Manokwari, Papua Barat, Kamis (24/10).
Menurut Agus, transmigrasi ke wilayah timur Indonesia terutama tanah Papua merupakan program yang tidak ada urgensinya. Termasuk berbagai kelompok masyarakat adat yang siap menerima dan melaksanakan program ketahanan pangan bila ada.
“Bagi saya, program ketahanan pangan itu ada kalau tanah masyarakat disewa. Namun, andaikan ada (program ketahanan pangan) saya tetap tidak percaya bahwa perlu mendatangkan transmigran,” ujar Agus Sumule, doktor Agricultural Extension lulusan Universitas Queensland, Australia tahun 1994.
Agus menjelaskan, pertanian Indonesia tahun 2024 sudah jauh berbeda dibandingkan tahun 1980-an. Bahkan mulai era Pra-Pembangunan Lima Tahun atau Pra-Pelita dan Pelita I hingga Pelita V di mana kurun waktu itu butuh tenaga manusia, namun saat ini tidak perlu lagi (tenaga manusia).
“Jangan lupa, sudah terbukti bertahun-tahun justru lahan-lahan yang bagus dan produktif di tanah Papua akhirnya tidak dimiliki oleh masyarakat sendiri namun dimiliki oleh masyarakat trans karena kala itu proyeknya besar-besaran,” katanya.
Malah di kemudian hari, ujar Agus, daerah-daerah itu pun tidak berkembang karena masyarakat trans yang datang anak cucu mereka tidak lagi bekerja di sektor pertanian. Ia mencontohkan di Manokwari Selatan, sangat berbeda dibandingkan dahulu.
“Kalau pemerintah serius mau meningkatkan kehidupan orang Papua, banyak hasil penelitian yang sudah disajikan. Misalnya, hasil penelitian LIPI yang ditulis Pa Dr Muridan Widjojo (Alm). Pemerintah kerjakan saja apa yang ditulis Pa Muridan, tidak usah bikin yang aneh-anehlah,” kata Agus.
Bahkan Agus mempertanyakan, bagaimana pemerataan kemiskinan sementara transmigran yang didatangkan dari Jawa adalah orang miskin. Karena itu, tahun 1980-1990-an transmigrasi tidak jauh beda dengan pemerataan kemiskinan dan yang bicara hal ini adalah para ahli.
“Warga masyarakat lokal tidak akan mau kehilangan area pertanian bahkan hutan adatnya. Coba pergi bicara dengan masyarakat Dayak atau masyarakat asli di Sulawesi. Apakah mereka mau tanahnya diberikan kepada pemerintah untuk program transmigrasi? Saya pastikan tidak ada yang mau. Jadi, transmigrasi bukan program yang urgen sehingga pemerintah perlu memikirkan kembali,” kata Agus. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)