JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Dewan Gereja Papua (West Papua Council of Churches) menyatakan mendukung penuh upaya dialog atau perundingan damai Presiden Republik Indonesia Joko Widodo alias Jokowi dengan kelompok pro referendum (kemerdekaan) United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Pembebasan Papua Barat yang dimediasi pihak ketiga.
Dewan Gereja Papua atau West Papua Council of Churches terdiri dari Moderator Pendeta Dr Benny Giay, S.Th, President Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pendeta Dorman Wandikbo, S.Th (anggota), Ketua Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua Pendeta Andrikus Mofu, M.Th (anggota), dan Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua Pendeta Dr Socratez Sofyan Yoman, MA (anggota).
“Kami mengapresiasi inisiatif Komisi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berinisiatif dan mendorong Presiden Republik Indonesia Bapak Ir Joko Widodo untuk membuka ruang dialog dengan rakyat dan bangsa Papua Barat. Kita tahu bahwa niat baik untuk bertemu dengan pro-kemerdekaan itu sudah disampaikan Presiden Joko Widodo pada 30 September 2019,” ujar anggota Dewan Gereja Papua (West Papua Council of Churches) Gembala Dr AG Socratez Sofyan Yoman, MA melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Kamis (10/3).
Menurut Socratez yang juga Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, niat baik Presiden Joko Widodo sudah disambut baik Ketua United Liberation Movement for West Papua sekaligus Presiden Pemerintahan Sementara Bangsa Papua Barat Benny Wenda melalui keterangan tertulis yang juga diperoleh Dewan Gereja Papua dari Sekretariat Internasional, Jalan Winston Churchill, 1571 Port Vila, Republik Vanuatu.
Setelah mengetahui niat baik Presiden Joko Widodo untuk bertemu dengan kelompok pro-kemerdekaan yang sudah disampaikan Jokowi, mantan Walikota Solo, pada 30 September 2019 melalui pemberitaan sejumlah media, Ketua ULMWP Benny Wenda bersedia menggelar rapat pada 7 Oktober 2019.
“Namun, kami belum menerima surat resmi dari Presiden yang meminta pertemuan. Saya berharap dia bersedia duduk bersama saya untuk membahas masa depan West Papua. Orang-orang Papua Barat telah dikhianati oleh janji-janji palsu Indonesia selama beberapa dekade. Indonesia menempati tanah kami, membunuh ratusan ribu orang Papua Barat, dan kemudian mengklaim mereka ingin ‘berbicara’,” kata Beny Wenda.
Menurut Beny, pihaknya tidak akan tertipu oleh sikap ramah dan jabat tangan sementara orang-orang asli Papua dibunuh di Nduga, Wamena maupun Jayapura. Kami sudah duduk bersama Indonesia di Melanesian Spearhead Group (MSG), sebuah forum regional. Kami sudah mengangkat masalah West Papua di MSG dan forum internasional lainnya, tetapi Indonesia tidak menunjukkan kesediaan untuk benar-benar menyelesaikan akar penyebab konflik,” tandas Beny.
Beny menegaskan, Indonesia belum menunjukkan kesediaan yang tulus untuk terlibat. Malah satu-satu reaksi atau tanggapannya adalah membunuh orang-orang Papua, merusak tindakan Kepulauan Pasifik, dan menyebarkan propaganda tentang gerakan tersebut. Karena itu, ujar Beny, agar pertemuan yang tulus dapat berlangsung Presiden Widodo harus menunjukkan keseriusannya dalam menangani akar permasalahan di Papua Barat.
Menurut Beny Wenda, pihak United Liberation Movement for West Papua hanya akan mempertimbangkan untuk bertemu dengan Presiden Jokowi setelah sejumlah hal berikut dipenuhi. Pertama, tuntutan lama rakyat West Papua untuk referendum, penentuan nasib sendiri tentang kemerdekaan termasuk dalam agenda pertemuan.
Kedua, pertemuan dilakukan melalui mediasi pihak ketiga misalnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau negara pihak ketiga yang disepakati. Ketiga, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) diizinkan untuk mengunjungi Papua Barat sesuai dengan seruan yang dibuat oleh 18 negara pasifik di Forum Kepulauan Pasifik ke-50 pada Agustus 2019.
Keempat, tambahan 16.000 personel militer dan polisi Indonesia yang dikerahkan sejak Agustus 2019 segera ditarik. Kelima, seluruh tahanan politik dibebaskan, termasuk Buchtar Tabuni, Bazoka Logo, Steven Itlay, Surya Anta, Agus Kossay, dan semua mahasiswa yang telah ditangkap selama pemberontakan baru-baru ini. Keenam, semua pembatasan masuk ke Papua Barat untuk media internasional dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dicabut.
Menurut Beny Wenda, Indonesia selalu mengabaikan keinginan rakyat West Papua. Pada 1962, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB menyerahkan United Liberation Movement for West Papua ke Indonesia tanpa berkonsultasi dengan satu pun orang Papua Barat. Pada 1969, United Liberation Movement for West Papua dijanjikan referendum yang bebas dan adil oleh Indonesia.
“Seruan kami untuk kebebasan, keadilan dan referendum untuk menentukan nasib kami sendiri telah diabaikan oleh Indonesia sejak saat itu. Agar kami percaya bahwa ini telah berubah, Indonesia harus menunjukkan itikad baik dan menyetujui pra-kondisi kami. Keinginan kami untuk mencapai referendum demokratis untuk menegakkan hak kami untuk menentukan nasib sendiri, tidak pernah sekuat ini,” kata Beny Wenda. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)