JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Berbagai perusahaan, baik nasional maupun global sudah lama hadir dan melebarkan sayap usahanya puluhan tahun demi mengeruk kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah di tanah Papua.
Celakanya, nasib perusahaan lokal dan sumber daya manusia (SDM), terutama orang asli Papua lulusan perguruan tinggi masih mengenaskan. Karena itu, Asosiasi Gubernur dan Majelis Rakyat Papua di enam wilayah provinsi perlu segera mengambil langkah serius melihat persoalan itu.
“Asosiasi Gubernur se-Tanah Papua bersama pimpinan dan anggota MRP dari enam provinsi segera undang pemilik perusahan, baik perusahaan yang mengambil kekayaan alam maupun perusahan-perusahaan BUMN yang sudah beroperasi puluhan tahun di atas tanah Papua,” ujar tokoh muda Papua Samuel Tabuni kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Rabu (10/7).
Menurut Tabuni, langkah asosiasi gubernur dan pimpinan serta anggota MRP se-Tanah Papua mengundang para owner, pemilik berbagai korporasi nasional maupun global yang beroperasi di bumi Cenderawasih penting agar mengetahui sejauh mana pihak perusahaan fokus melakukan pengkaderan, pembinaan SDM, dan para kontraktor dan pengusaha lokal khusus orang asli Papua.
“Selama ini kita fokus kuliahkan anak-anak muda orang asli Papua namun pulang ke daerahnya malah sulit mendapat pekerjaan. Ini masalah sangat serius! Hari ini kita saksikan anak-anak muda dan generasi unggul melakukan aksi damai. Besok, orang-orang pintar kita akan angkat senjata di kota-kota tanah Papua jika situasinya tetap seperti itu. Tolong kita sikapi serius,” kata Tabuni.
Sedangkan tokoh muda Papua lainnya, Julian Howay mencontohkan, PT SDIC Conch, perusahaan semen milik Pemerintah China di Teluk Maruni Manokwari, Provinsi Papua Barat. Perusahaan yang beroperasi di area Teluk Arfai telah meratakan gunung kapur penuh mineral milik masyarakat adat suku Arfak.
“Perusahaan itu telah merusak lingkungan berupa abrasi, pencemaran pantai Maruni yang sangat indah. Para pekerja rata-rata berasal dari luar. Jajaran manajemen terutama operator teknis rata2 masih dipegang para ekspatriat dari China,” ujar Julian Howay kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Rabu (10/7).
Julian menambahkan, di level menengah perusahaan asing itu diisi oleh orang-orang Indonesia dari daerah lain. Sementara orang-orang suku asli seperti suku Arfak, Mansim, Numfor Doreri hingga anak-anak asli Papua lain hanya dihitung dengan jari. Itu pun rata-rata mereka adalah pekerja kelas bawah.
“Sejak SDIC Conch beroperasi dan mengeruk mineral untuk bahan baku semen di perbukitan sekitar Teluk Maruni dan gunung kapur Danau Kabori di Papua Barat, pemukiman penduduk asli masih tampak seperti semula. Rumah-rumah reyot dan kumuh masih berdiri persis seperti pemandangan 20 thn lalu. Padahal, bukit/gunung kapur penuh mineral yang dikeruk untuk keperluan bahan semen di area ini sudah rata dengan tanah,” katanya.
Julian menyebut, kondisi mengenaskan itu belum menyentuh soal dampak sosial, perubahan demografi, benturan sosial-ekonomi, dan lain-lain yang semuanya menjadikan penduduk pribumi di lokasi SDIC Conch Manokwari beroperasi hanya menjadi penonton bahkan korban.
“Coba tanya warga kota Manokwari, apakah dengan hadirnya perusahaan semen ini harga semen relatif murah, terjangkau, dan mendorong percepatan pembangunan? Kenyataannya tidak demikian karena meski semen bermerek SDIC Conch diproduksi di Manokwari sebagian besar hasil produksi diangkut untuk dijual di luar Manokwari dan Papua,” ujar Julian.
Menurut Julian, Dominggus Mandacan sebagai Kepala Suku Besar Arfak dan perwakilan Pemda mestinya harus merasa bersalah. Pasalnya, ia telah mengizinkan kehadiran pabrik semen SDIC Conch di Manokwari namun warga masyarakat Arfak tidak memperoleh benefit secara ekonomi dan sosial dari kehadiran korporasi global itu. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)