WAMENA, ODIYAIWUU.com — Sejumlah warga masyarakat Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua menegaskan menolak rencana Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadikan kabupaten-kabupaten di wilayah adat Lapago calon daerah otonom baru (DOB) Provinsi Pegunungan Tengah. Mereka juga menolak rencana pertemuan para bupati di Lapago dengan Kementerian Dalam Negeri pada Jumat (11/3) di Jakarta untuk membahas rencana pembentukan calon DOB Pegunungan Tengah.
“Kami menolak rencana pemerintah pusat tekait pembentukan calon daerah otonomi baru Provinsi Pegunungan Tengah di wilayah Lapago, Papua. Kami juga mendesak Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia segera membatalkan rencana pertemuan Kemendagri bersama para bupati terkait pembahasan pembentukan provinsi baru di wilayah Lapago. Pemekaran adalah mesin genosida orang asli Papua dan membuka lahan bisnis para penguasaha dan pemodal,” ujar Dano Tabuni, tokoh muda Lapago melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com dari Wamena, Jayawijaya, Rabu (9/3).
Menurut Tabuni, selain menuding kebijakan pemekaran sebagai mesin genosida, pemekaran ditengarai menjadi lahan bisnis para penguasaha dan pemodal. Karena itu, pihakya mendesak para bupati dan elit politik Papua berhenti memperpanjang penderitaan rakyat dan memelihara mesin genosida. Pemekaran akan berdampak buruk dan menjadi pintu masuk penjualan dan pengedaran narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba), minuman keras (miras), perjudian toto gelap (togel) dan jalan baru memiskinkan orang asli Papua.
“Rabu (10/3) besok kami juga akan menuju kantor DPRD Jayawijaya. Kami akan menyampaikan sikap kami menolak rencana pembentukan DOB Pegunungan Tengah menjadi sebuah provinsi baru wilayah Lapago. Minggu (6/3) kami juga sudah sampaikan keberatan kami di kantor DPRD Jayawijaya menolak rencana pembentukan povinsi baru Pegunungan Tengah. Rabu besok akan kami lanjutkan karena kami mendengar para bupati wilayah Lapago bertemu pihak Kementerian Dalam Negeri di Jakarta Jumat (11/3) membahas calon Provinsi Pegunungan Tengah,” kata Dano lebih jauh.
Informasi undangan yang beredar di kalangan pekerja media di Papua dan salinannya diperoleh media ini menyebutkan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Akmal Malik mengundang para bupati wilayah Lapago di Kementerian Dalam Negeri di Jalan Medan Merdeka Utara. Jakarta bertemu pada Jumat (11/3), dengan agenda persiapan pemekaran provinsi di wilayah Papua Pegunungan Tengah.
Para bupati yang diundang antara lain Bupati Jayawijaya Jhon Richard Banua, SE, M.Si, Bupati Yahukimo Didimus Yahuli, SH, Bupati Tolikara Usman Genongga Wanimbo, SE, M.Si, Bupati Lanny Jaya Befa Yigibalom, SE, MM, Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak, SH, M.Si, Bupati Nduga Wentius Nimiangge, Amd, Pd, Bupati Puncak Jaya Dr Yuni Wonda, S.Sos, SIP, MM, Bupati Pegunungan Bintang Spei Yan Bidana, ST, M.Si, dan Penjabat Bupati Talimo Ribka Haluk, S.Sos, MM.
“Dalam rangka impelemtasi Pasal 76 UU No. 2 Tahun 2021 tengang Perubahan Kedua atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, bersama ini kami mengundang saudara pada pertemuan yang akan dilaksanakan pada Jumat, 11 Maret 2022. Mengingat pentingnya pertemuan dimaksud, diharapkan kehadiran saudara sekalian tidak diwakilkan dan tepat waktu dengan tetap mengikuti protokol kesehatan pencegahan Covid-19,” ujar Akmal Malik merujuk salinan surat itu.
Konflik
Dano Tabuni juga menyebutkan, operasi militer sejak 1960-an hingga saat ini, mengakibatkan banyak orang Papua yang meninggal. Konflik itu juga melibatkan aparat keamanan dan rakyat Papua. Penyelesaian atas kasus pelanggaran HAM di Papua juga tak pernah tuntas oleh pemerintah Indonesia.
Rakyat Papua telah menyaksikan kebijakan pemerintah pusat di provinsi paling timur Indonesia itu, di mana tidak pernah melibatkan orang Papua. Hal ini dibuktikan melalui perpanjangan otonomi khusus Papua. Dalam pembahasanya, urai Dano, tidak ada satu pun aspirasi orang asli Papua diakomodir dari 79 pasal dalam UU Otsus. Aspirasinya hanya versi pemerintah yang dititipkan kepada kelompok tertentu di Papua untuk dirumuskan.
Saat ini waktu yang tepat bagi Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar dunia membuka ruang sebesar-besarnya kepada orang asli Papua memberikan pandangan, pikiran tentang berhasil atau tidaknya Otsus selama 20 tahun di Papua. Kemudian memberikan juga ruang kepada rakyat, apa yang sebenarnya diinginkan. Ini seharusnya terbuka, transparan dalam negara demokrasi.
“Rapat dengar pendapat atau RDP dengan legislatif merupakan ruang yang tepat untuk berbagai pihak yang berbeda pandangan untuk menyalurkan aspirasinya, terutama orang asli Papua baik penganut paham ‘Papua Merdeka Harga Mati’ dengan pendukung ‘NKRI Harga Mati’. Kedua kelompok ini adalah orang asli Papua yang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapat,” tandas Dano.
Berdasarkan Pasal 77 UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, yang berbunyi usul perubahan atas undang-undang dapat diajukan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pelaksanaan RDP pun telah digagalkan oleh pemerintah pusat demi kepentingan penguasa. Implementasinya pun lebih fokus pada proyek-proyek pembangunan kendati UU tersebut mengklaim hendak mengangkat derajat orang Papua yang ‘termarjinalisasi’ melalui proyek-proyek pembangunan.
“Warga masyarakat Papua merasa didiskriminasi oleh pemerintah pusat maka pada 2020 organisasi-organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik mengorganisir penolakan atas evaluasi UU Otsus dan perpanjangannya. Pada Juli 2020, terbentuklah Petisi Rakyat Papua atau PRP yang awalnya didukung oleh 16 kelompok. Mei 2021, PRP menyatakan telah menerima lebih dari 700.000 tanda tangan penolakan perpanjangan Otsus. Pemerintah secara sepihak telah melakukan revisi tanpa mendenggar aspirasi rakyat Papua, kemudian menitipkan pasal-pasal dalam UU Otsus mengakomodir kepentingannya dan salah satunya adalah urusan pemekaran,” ujarnya. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)