Perspektif Pemekaran Daerah Otonom Baru di Tanah Papua (5) - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Perspektif Pemekaran Daerah Otonom Baru di Tanah Papua (5)

Loading

Oleh Methodius Kossay
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti

PENOLAKAN rencana pemerintah pusat melakukan pemekaran Papua menjadi beberapa daerah otonom baru (DOB) tidak luput dari sejumlah elemen mahasiswa maupun pelajar asal Papua di berbagai kota studi di Indonesia. Kaum terpelajar sebagai kelompok kekuatan moral dan kontrol sosial (moral and social control) memilki kewajiban untuk memonitor dan mengawal setiap kebijakan pemerintah pusat.

Aksi unjuk rasa mahasiswa menolak pemekaran di Papua adalah salah satu bentuk tanggung jawab moral dan kontrol sosial, yang patut menjadi perhatian. Penyaluran aspirasi mahasiswa dilakukan melalui pemberian medium baik saran, kritikan bahkan unjuk rasa kemudian dipublikasikan berbagai media cetak maupun online. Dengan begitu, setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau para pemimpin selalu dalam pengawasan, tidak melenceng karena muara kebijakan ialah memberikan manfaat bagi masyarakat.

Gerakan moral

Para mahasiswa maupun pelajar asal Papua yang sedang mengenyam pendidikan saat ini, memegang beban dan tanggungjawab moral sangat besar bagi pemerintah dan daerah. Mereka adalah agen perubahan, agent of change bagi daerahnya masing-masing di mana mereka berasal atau dilahirkan. Sebagai agent of change, mereka juga memegang beban tanggung jawab.

Mereka rela meninggalkan kampung halaman masing-masing, meniti jejak perjuangan berliku untuk menimba ilmu, menjadi sarjana untuk mengabdi di mana saja, khususnya Papua, tanah leluhurnya. Perjalanan mahasiswa Papua tidak luput dari dinamika pembangunan yang dialaminya di daerah masing-masing di Papua. Mereka adalah ujung tombak dan harapan besar dari masyarkat Papua untuk kelak berkontribusi dalam membawa perubahan di Papua.

Unjuk rasa mahasiswa Papua terkait penolakan pemekaran daerah otonom baru di Papua dibalut rasa sakit dan duka akibat kekerasan yang terjadi selama ini di Papua. Panggilan moral sebagai anak koteka, misalnya, tak bisa terbendung. Suara mereka memiliki satu nada dasar bulat yaitu menolak rencana dan langkah kebijakan Jakarta menghadirkan daerah otonom baru di Bumi Cenderawasih.

Sebagian mahasiswa yang ikut menolak rencana pemekaran daerah otonom baru adalah saksi kekerasan, diskriminasi, dan ketidakadilan yang dipraktikkan negara di tanah Papua melalui berbagai kebijakan yang kurang menguntungkan.

Menyadari posisinya sebagai kekuatan moral, mahasiswa dan pelajar asal Papua (kaum terpelajar) tidak bisa terbendung dan memandang sebelah mata dalam merespon rencana pemekaran Papua. Mereka adalah pioner perubahan di ufuk timur yang berkecimpung dalam sebuah komunitas yang mampu mengakomodir kegelisahan sanubarinya. Tongkat didikan sang Khalik selalu penjadi pegangan dan motor penggerak dalam kehidupannya. Berbagai pilu rasa yang dialaminya berkecamuk dalam setiap aksi unjuk rasa yang dilakukannya meski harus berhadapan dengan aparat keamanan.

Sebagian mahasiswa maupun pelajar asal Papua yang datang untuk mengenyam pendidikan di Jawa dan Bali berasal datang dari berbagai wilayah yang kerap dilanda konflik kekerasan bersenjata. Gelisah selalu membayang. Bisa dimaklumi. Kadang sebagian dari keluarganya menjadi korban aksi kekerasan yang tak hanya melibatkan kelompok kombatan berlabel KKB maupun aparat keamanan. Hingga saat ini masih banyak dari mereka mengungsi di hutan belantara di sejumlah wilayah di tanah Papua.

Maka aksi protes mahasiswa Papua melalui unjuk rasa merupakan hal mendasar dan serius dengan sejumlah alasan yang harus didengarkan. Berbagai akar persoalan yang belum kunjung diselesaikan di tanah Papua menjadi faktor utama. Belum terarkomodir ruang aspirasi dalam menyelamatkan eksistensi harkat dan martabat orang asli Papua menjadi biang pergerakan masif.

Aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar terjadi di beberapa wilayah di Bumi Cenderawasih, misalnya dari Perkumpulan Asrama Mahasiswa Pelajar se-Jayawijaya di Jayapura, menolak rencana pertemuan yang akan dilaksanakan oleh saudara Jhon Tabo Bupati Mamberamo Raya dan Briyur Wenda bersama DPR RI di Kabupaten Jayawijaya (Detikjatim.id, 4/3). Demo juga dilakukan ratusan mahasiswa yang tergabung dalam solidaritas mahasiswa dan rakyat Papua (Kompas.com, 8/3).

Dari Jakarta, ratusan anggota Fron Mahasiswa Papua di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Seluruh Indonesia (AMPTPI), Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Jabodetabek dan sejumlah elemen mahasiswa asal Papua lainnya menggelar aksi unjuk rassa menolak rencana tersebut. (Odiyaiwuu.com, 11/3)

Mengingat pergerakan mahasiswa era reformasi atau era pasca jatuhnya rezim otoriter Soeharto di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 tak luput dari jejak historis mahasiswa dan rakyat. Mahasiswa memiliki andil besar perubahan dan pergerakan pembangunan. Dalam konteks Papua, mahasiswa Papua tentu paham, tidak rabun melihat kebijakan pemerintah pusat atas langkah pemekaran yang jauh dari kebutuhan rakyat di provinsi nun di timur Indonesia itu. (Bersambung)

Tinggalkan Komentar Anda :