NABIRE, ODIYAIWUU.com — Front Persatuan Rakyat (Popera) Papua menolak kehadiran anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia asal Papua Yan Permanes Mandenas saat melakukan Kunjungan Kerja (Reses) Pertama di Daerah Pemilihan (Dapil) Papua, termasuk wilayah adat Meepago pada masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022 yang dimulai pada 28 Februari hingga 5 Maret. Wilayah adat ini meliputi Kabupaten Mimika, Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai, dan Intan Jaya.
“Kedatangan Yan Mandenas berupaya melihat syarat formil dan faktual memekarkan Papua Tengah menjadi sebuah provinsi baru. Padahal, faktanya, Papua Tengah tidak memenui syarat formal dan faktual namun tengah dipaksakan untuk dimekarkan menjadi sebuah daerah otonomi baru. Kami melihat, kahadiran Yan Mandanas juga untuk memperluas wilayah teritorial keamanan dan pembangunan Kodim dan Koramil di Kabupaten Paniai,” ujar Penanggung Jawab Popera Abeth Gobai dan Juru Bicaranya, Amos Kayame melalui keterangan tertulis yang diterima Odiyaiwuu.com di Nabire, kota Kabupaten Nabire, Papua, Rabu (2/3).
Menurut Gobai dan Kayame, penolakan kehadiran Mandenas, anggota DPR yang membidangi masalah pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika serta intelijen di wilayah Meepago didasari realitas ancaman negara yang memperburuk kondisi sosial, ekonomi, politik, hukum dan hak asasi manusia yang terjadi di atas tanah Papua. Kehadiran anggota Fraksi Partai Gerindra itu, katanya, berpotensi menimbulkan masalah yang serius dan berkepanjangan terhadap rakyat Papua.
“Kami melihat, kedatangan Anggota Komisi I DPR asal Papua Yan Mandenas tidak akan memberi dampak positif terhadap advokasi pelanggaran yang dilakukan aparat terhadap masyarakat Papua. Misalnya, kasus Paniai berdarah, Deiyai berdarah, konflik Intan Jaya, Nduga, Puncak, Puncak Jaya, Maibrat, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo yang berkepanjangan,” kata Gobai dan Kayame dalam keterangan itu.
Selain itu masalah penjualan minuman keras atau miras di Papua yang kian marak. Berikut kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di seluruh tanah Papua. Popera melihat proses penyelidikan kasus Paniai berdarah dari tahapan pemeriksaan yang dilakuakan oleh majelis hakim terhadap pelaku dan saksi dilakukan secara tersembunyi dan sangat tertutup.
Penolakan Popera menyusul Surat Edaran Bupati Paniai Meky Nawipa Nomor 626/I/A-136/IX 2022 terkait kunjungan Yan Mandenas di Paniai yang dilansir ke warga masyarakat Paniai pada Selasa (1/3). Kehadiran Mandenas di Enarotali, kota Kabupaten Paniai akan diterima Bupati Meky Nawipa, pimpinan Organasasi Perangkat Daerah (OPD), Forkompinda, tokoh masyarakat, adat, agama, pemuda, LSM, dan perwakilan mahasiswa.
Rencana kehadiran Mandenas disikapi Popera melalui penryataan sikap sebagai berikut. Pertama, Fopera Paniai, wilayah Meepago, Papua bersama masyarakat akar rumput dengan tegas menolak kedatangan Yan Mandenas di Paniai, menolak pemekaran Papua Tengah dan pemekaran provinsi lainnya di tanah Papua, pembangunan Kodim dan Koramil di Paniai dan Papua.
Kedua, menolak produk ilegal otonomi khusus ‘jilid’ II di tanah Papua dan segera menarik militer non-organik dan organik di atas tanah Papua. Segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak 1961-2022 di atas tanah Papua, menolak pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) buatan sejumlah akademisi dan pemerintah pusat.
Ketiga, Popera juga mendesak pemerintah Indonesia segera membuka akses tim investigasi Komisi Tinggi Dewan HAM PBB agar ke Papua untuk melakukan investigasi kasus pelanggaran HAM. Juga membuka akses bagi para wartawan asing untuk meliput fakta dan kondisi yang terjadi di Papua. “Kami juga mendesak Indonesia segera membuka ruang dialog Indonesia-Papua sebagai solusi damai,” kata Gobai dan Kayame. (Andrian Yeimo/Odiyaiwuu.com)