Peringatan HUT ke-118 Misi Katolik di Keuskupan Agung Merauke - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Peringatan HUT ke-118 Misi Katolik di Keuskupan Agung Merauke

Para misionaris Katolik generasi pertama yang berkarya di tanah Papua. Pada 14 Agustus 2023, genap 118 tahun ziarah perutusan para imam dan pelayan Sabda itu di bumi Cenderawasih. Tuhan sungguh dan selalu Ajaib selamanya. Foto: Fr Berto Namsa, OFM

Loading

TAHUN 1902 adalah tahun bersejarah bagi misi Katolik. Karena pada September 1902, Vikariat Apostolik Batavia (Jakarta) membentuk satu Prefektur Apostolik Baru di wilayah timur nusantara. Prefektur tersebut bernama Prefektur Apostolik Nieuw Guinea. Wilayah dari prefektur ini meliputi seluruh kepulauan Maluku, Nieuw Guinea (Pulau Papua) dan wilayah kepulauan di Pasifik.

Adapun pusat dari Prefektur ini berada di Langgur, Kei Kecil. Pada tahun yang sama, wilayah Misi tersebut diserahkan dari tangan para pastor dan bruder Serikat Jesus (SJ) kepada Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC). Prefek Apostolik yang pertama ialah Pater M Neyens, MSC. Pada 29 November 1903, Pater Neyens dan Pater H Geurtjens, MSC tiba pertama kali di Langgur, Kei Kecil.

Di Merauke belum ada orang Katolik asli. Pada Juni 1902 pemerintah Belanda telah membuka pos pemerintah pertama di sana. Namun usaha ini gagal karena pemerintah kembali menutup pos tersebut. Pada tahun 1904 pemerintah Belanda kembali lagi membuka pos pemerintah di Merauke, tepatnya di muara sungai Maro.

Residen Pemerintah Belanda pertama yang bertugas di sana bernama tuan Groezen. Pemerintah berusaha untuk membawa suatu kemajuan bagi masyarakat di sana dengan tujuan yang sama: pemerintah Belanda meminta bantuan dari Misi Katolik di Langgur, Kei Kecil untuk datang berkarya di wilayah Merauke.

Di Langgur, Kecil Kecil, para misionaris MSC memutuskan mengirim beberpa misionaris MSC ke Merauke. Mereka ini terdiri dari Pater H Nollen, MSC, Pater P Braun, MSC, Bruder D Van Roesel, MSC, dan Bruder Oomen, MSC.  Keempat misionaris tersebut tiba dengan selamat di Pantai Selatan Papua, Merauke pada 14 Agustus 1905.

Pada permulaan karyanya mereka sedikit demi sedikit mulai mempelajari bahasa Marind dan adat istiadat setempat dengan tujuan dapat mengadakan hubungan dengan suku Marind, Merauke. Hari ke hari para misionaris mendapat kepercayaan dari masyarakat setempat dan mereka memberi diri untuk kemajuan misi Katolik.

Perluasan wilayah misi di luar kota Merauke terjadi pada 1909 dan 1910. Pada tahun 1909 stasi Wendu dibuka Pater Viegen, MSC. Ia menjadi pastor Wendu sampai tahun 1915. Tahun 1910 stasi Okaba dibuka dan Pater van de Kolk, MSC dan menetap sebagai pastor Okaba sampai tahun 1915. Sekitar tahun 1910–1915 wilayah Merauke dan sekitarnya dilanda penyakit kelamin yang menular begitu cepat di antara penduduk setempat.

Sekitar tahun 1908 jumlah penduduk di Merauke diperkirakan berjumlah 25.000 orang, tetapi kerena dilanda penyakit menular, jumlah penduduk menurun drastis menjadi 5.000 orang.

Melihat situasi yang alami penduduk setempat, Pater Vertenten, MSC dengan niat yang baik mulai membantu masyarakat agar dapat terhindar dari penyakit tersebut.

Dengan nyata sang misionaris tersebut mendirikan kampung-kampung baru, yang dinamakan kampung teladan. Keluarga-keluarga yang belum terjangkit penyakit ditampung dalam kampung-kampung teladan itu. Dengan demikian banyak penduduk diselamatkan.

Pater Neyens, Superior Regularis Kongregasi MSC mencari kemungkinan untuk perkembangan misi secara lebih baik. Untuk tujuan tersebut pada tahun 1910 beliau berkeliling mencari tempat-tempat baru sepanjang pantai Mimika, Teluk Arguni dan beberapa tempat lain untuk apakah mungkin dapat membuka stasi-stasi baru.

Kemudian Pater Neyens mengajukan kepada pemerintah untuk membuka stasi-stasi di beberapa tempat yang baru. Dua tahun kemudian ia mendapatkan jawaban dari pemerintah. Jawaban itu berbunyi, “Pemerintah telah memutuskan bagian utara Papua dipercayakan kepada misi zending dan bagian selatan diserahkan kepada Misi Katolik”.

Awalnya pihak Misi Katolik tidak merasa puas dengan keputusan pemerintah karena pada dasarnya di beberapa tempat yang akan didirikan stasi-stasi dari misi Katolik, belum ada aktivitas dari misi zending.

Ketika akhir Perang Dunia I tahun 1918, wajah misi Katolik di Merauke mulai nampak berkembang dengan baik. Pada 17 Maret 1922 terjadilah peristiwa bersejarah di Merauke. Di mana 15 orang laki-laki dewasa dan 14 anak laki-laki dipermandikan menjadi orang Katolik.

Selain menerima Sakramen Permandian, para baptisan baru juga menerima Sakramen Komuni Pertama. Dikisahkan, “setelah perayaan ini selesai diadakan dilanjutkan pesta syukur yang begitu luar biasa ramai. Seluruh penduduk Merauke gambil bagian dalam perayaan syukur tersebut”.

Tahun 1921 Pater Vertenten, MSC berhasil mendirikan rumah sakit dan sekolah di suatu tempat di daerah pantai. Pada tahun yang sama, yakni tahun 1921 para misionaris tidak lagi bekerja sendiri. Mereka mendapat bantuan tenaga guru yang didatangkan dari kepalauan Maluku, terutama para guru (misionaris awam) dari Kei.

Para guru ini meninggalkan tempat tinggal mereka, mengorbankan dirinya, hidup di tengah rakyat yang dilayaninya, memberi pelajaran dan pendidikan kepada mereka. Singkat kata, saat itu mereka memberikan dirinya untuk kemajuan misi Katolik di tanah Papua.

Waktu itu, wilayah kepala burung masih merupakan daerah tertutup bagi misi Katolik. Demikian pula bagian utara Papua. Kegiatan misi Katolik masih dipusatkan di bagian selatan Papua. Meskipun jumlah misionaris tidak begitu banyak, mereka tidak segan-segan atau takut untuk lebih masuk jauh ke dalam hutan Papua mencari wilayah untuk dapat mengembangkan misi Katolik.

Pater Tillemans, MSC masuk lebih jauh dari pantai Mimika dan sampai di wilayah suku Mee (Paniai). Pater Kowatsky pada tahun 1926 mulai membuka stasi baru di wilayah Mimika. Pulau Frederik– Hendrik yang sekarang bernama Pulau Yosudarso (Kimaam), pada tahun 1927 Pater Drager mulai membuka kontak dengan penduduk di sana.

Pada 17 Oktober 1928 misi Katolik di Merauke menerima bantuan tenaga dari Suster-Suster Konggregasi Hati Kudus Yesus (PBHK) yang tiba dengan selamat di Merauke. Mereka itu adalah Sr Adriana de Kort, PBHK, Sr C Momers, PBHK, dan Sr Xaveria Moorman, PBHK.

Para suster ini ditugaskan untuk mengajar di sekolah dan mengurus asrama. Pada tahun berikutnya, yakni tahun 1929, Pater Verhoeven, MSC mengadakan perjalanan dalam rangka peninjauan ke daerah Muyu yang bertempat di kepala kali dari Digul. Pada tahun yang sama stasi Muting dibuka oleh Pater P Hoeboer, MSC.

Tahun 1930 stasi Wamal dibuka seorang misionaris. Misi Katolik di wilayah Muyu sangat berkembang sehingga dianggap perlu ada seorang misionaris yang ditempatkan di sana. Maka pada tahun 1934 Pater Hoeboer, MSC ditunjuk untuk tinggal tetap dan hidup bersama dengan orang Muyu. Pada tahun 1935 Pater Thieman, MSC mulai membuka stasi di Pulau Kimaam.

Di kemudian hari Pater Rievers, MSC dan Pater Grent, MSC tidak mau ketinggalan. Pada tahun 1936, dari Okaba kedua pastor ini mengadakan perjalanan eksplorasi ke daerah Mappi, melewati sungai dan rawa yang begitu menantang. Kedua pastor tersebut mulai mengadakan kontak dengan suku Yaqhai dan Auyu yang mendiami daerah tersebut.

Satu tahun kemudian daerah ini dibuka, tepatnya pada tahun 1937. Di mana sekolah didirikan dan banyak anak mulai didik oleh para guru katekis asal Kei dan Tanimbar.  Tahun yang sama Pater Cees Meeuwese ditugaskan menjadi pastor di antara orang Yaqhai dan Auyu.

Perang Dunia II membawa akibat yang begitu besar bagi misi Katolik di Papua Selatan. Pada saat itu tidak mungkin mendatangkan misionaris baru untuk berkarya. Waktu pendudukan Jepang di Papua, Irian selatan tidak pernah diduduki oleh ekspansi militer Jepang.

Kecuali, daerah Asmat, Mimika, dan beberapa daerah lain di Papua. Daerah-daerah yang tidak diduduki oleh Jepang meliputi daerah pantai sekitar Merauke, Mappi, Auyu, dan Muyu. Para misionaris baik baik awam mapun biarawan/biarawati dapat bekerja terus tanpa ada gangguan.

Pada tahun ini (sekitar 1941-1942) Pater Drabbe, MSC bekerja di antara suku Mappi dan Auyu. Mulai tahun 1942-1945 ia bekerja di antara suku Muyu. Pastor ini tidak pernah segan untuk mempelajari bahasa daerah Mappi, Auyu, dan Muyu. Dalam tahun, doa-doa dibuat sang pastor dalam bahasa daerah demi kepentingan pembinaan iman umat.

Selama Perang Dunia II tidak mungkin mendatangkan guru-guru baru dari Kei ataupun Tanimbar. Maka putra-putra asli daerah Muyu, Mappi dan Auyu sendiri dididik sedapat mungkin untuk membantu pelayanan misi Katolik di daerah-daerah tersebut.

Dengan metode demikian pelbagai kampung dapat ditempatkan guru asli, di mana mereka bekerja sebagai guru agama atau sebagai guru biasa pada sekolah-sekolah yang sudah dibuka.

Kemajuan misi Katolik di Irian selatan dapat dilihat dalam dari statistik tahun 1945. Di daerah pantai selatan, termasuk Kimaam ada 8.608 orang Katolik, di daerah Muyu ada 4.028, di daerah Mappi dan Auyu ada 1.328 orang dan di daerah Mimika 4.992 orang Katolik.

Jumlah seluruhnya kira-kira mencapai 19.000 orang Katolik. Suatu hasil yang memuskan kala itu. Akan tetapi ini sebuah hasil dari pengorbanan para misionaris yang membawa Kabar Baik bagi umat.

Perlu ditambahkan, pada Mei 1943 Pater Laper, MSC meninggal karena tenggelam dalam sungai di derah Mimika. Demikian pula dengan Pater Neyes, MSC. Ia menemukan ajalnya kerena tenggelam dalam sebuah sungai dekat Muting. Hal ini terjadi pada tahun yang sama, yakni tahun 1943.

Waktu pendudukan Jepang di Papua, misi Katolik dibawa asuhan MSC harus berduka karena lehilangan beberap misonarisnya di Langgur, Kei Kecil. Tahun 1942 Jepang menduduki pulai tersebut. Pagi-pagi tanggal 30 Juli 1942, Mgr J Aerts, MSC bersama lima orang paster dan lima bruder yang bekerja di Langgur dibunuh dengan kejam oleh tentara Jepang.

Sesudah perang dunia II para misionaris yang masih hidup dan kuat, setelah mengalami tahanan perang oleh pihak Jepang, akhirnya kembali ke stasi mereka masing-masing. Pada tahun 1946 datanglah beberapa misionaris dari Belanda yang siap membantu penyebaran Injil di tanah Papua.

Mereka ini adalah Pater Kessel, MSC, Pater Verhoven, MSC, Bruder van Hoof, dan Bruder van de Martel. Tak lama kemudian pada tahun yang, tepatnya di Desember datanglah juga seorang pastor muda yang menyusul mereka berempat. Dia adalah Pater Zegwaard, MSC.

Sejak bulan April 1947 pastor mud aini ditugaskan di daerah Mimika sampai tahun 1952. Waktu itu, Pater Kessel sudah bertugas di Pasir Putih dan di kemudian hari membuka stasi Primapun.

Pada Tahun 1947 datang lagi beberapa misionaris muda dari Belanda yang siap membantu pelayanan misi Katolik di daerah yang bagi mereka semua serba baru. Namun mereka tak gentar dan siap menjalankan tugas ini dengan penuh semangat.

Mereka itu adalah Pater Verhage, MSC, yang pada tahun kedatangannya ia bertugas di Merauke. Pada tahun 1948, datang juga seorang pastor baru. Ia adalah Pater Sneekes, MSC. Ia ditugaskan untuk berkarya di daerah Muyu-Mandobo selama 12 tahun. Ia bekerja tanpa mengenal lelah untuk mewartakan kabar baik bagi umat yang dilayaninya.

Tahun 1948 misi Katolik di daerah Merauke diperkuat dengan datangnya bruder-bruder dari Konggregasi Santa Perawan Tujuh Kedukaan. Mereka ini bekerja dan terlibat langsung dalam dunia pendidikan, pertanian, peternakan, dan pertukangan (yang mula-mula dibuka di Merauke). Baru setahun kemudia dibuka lagi di Kepi dan Mindiptana. Bruder-bruder menciptakan kader-kader baru yang siap berkarya di atas tanah mereka sendiri.

Tak mau tinggal diam sebagai kaum Wanita, maka tahun 1949 para suster mulai bekerja di daerah Mimika dan daerah Muyu. Pada tahun yang sama, Pater Meeuwese dan Pater Versehueren mengadakan perjalanan selama kurang lebih 53 hari.

Mereka menempuh hutan dan menemukan suatu sungai besar, yang pada waktu itu sungai ini belum masuk dalam gambar peta Pulau Papua. Mereka berdua juga berjumpah dengan penduduk yang belum terdaftar. Penduduk diperkirakan berjumlah 10.000 atau 15.000 orang.

Pada saat yang sama stasi di Merauke berjalan dengan lancar. Di wilayah Merauke datang juga seorang Br untuk membantu pelayanan di sana. Ia adalah Br Leoendersloot. Br ini tiba di Merauke pada 3 April 1949. Di kemudian hari menyusul Pater Vriens, MSC yang bertugas di Bade.

Waktu Perang Dunia II pecah, Pater Verschueren sudah mendirikan sekolah pertanian dan pertukangan. Sesudah Perang Dunia II usai, sekolah-sekolah ini dipindahkan ke kelapa lima dan dikemudian hari ditingkatkan menjadi sekolah teknik.

Para misionaris ini juga membuka sekolah lanjutan dan sekolah pendidikan guru yang semuanya ini berpusat di Merauke.  Pada permulaan tahun 1950 datanglah tenaga baru yang siap berkarya. Ia adalah Br Willemese yang diberi tugas mengurusi perkebunan. Tahun yang sama juga, datanglah seorang pater baru. Ia adalah Pater Van de Linden.

Misi di Papua selatan maju sedemikian pesat sehingga pada Juni 1950, Irian selatan dipisahan dari Maluku serta diangkat menjadi Vikariat Apostolik yang berpusat di Merauke. Pater H Tillemans diangkat menjadi Vikaris Apostolik yang pertama. Dengan demikian Gereja di Irian Barat (sekarang Papua) dibagi dalam dua wilayah gerejani.

Wilayah itu ialah Vikariat Apostolik Merauke dan Prefektur Apostolik Hollandia (sekarang disebut Jayapura). Pada saat inilah Misi di Irian Barat memasuki babak baru.

Pada 14 Agustus 2023, Gereja Katolik Keuskupan Agung Merauke memperingati 118 tahun kehadiran misi Katolik di tanah Marind.  Suatu usia yang tak muda lagi. Perjalanan yang panjang dalam rentang waktu dan sejarah.

Namun, sebagai manusia yang berpengharapan kita percaya bahwa semua ini adalah bagian dari proses hidup kita sebagai manusia. Selamat merayakan 118 tahun Misi Katolik di tanah Marind, Merauke. (berbagai sumber)

Vredigando Engelberto Namsa, OFM

Biarawan Fransiskan Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua

Tinggalkan Komentar Anda :