Oleh Hyero Ladoangin
Pengamat Kebijakan Publik
MAJELIS Rakyat Papua (MRP) adalah esensi terpenting Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Eksistensi MRP sebagai representasi kultural orang asli Papua (OAP) dalam perlindungan terhadap hak-hak OAP dicantumkan dalam Pasal 5 ayat (2) UU 2/2021, sedangkan tugas dan wewenangnya diatur dalam Pasal 20. Meskipun kekhususan juga ada pada wewenang dan kelembagaan Gubernur Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), tetap saja MRP yang paling menarik untuk disoroti karena atribut “hanya ada di Papua”.
Selain wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU 2/2021, hal menarik lainnya dan jadi bahan diskursus akhir-akhir ini adalah peran MRP dalam hal pemekaran yang diatur dalam Pasal 76 ayat (1), di mana MRP bersama dengan DPRP memainkan peran kunci. Peran kunci dimaksud yakni memberikan persetujuan atas pemekaran provinsi dan kabupaten/kota di Papua. Persetujuan MRP dan DPRP dalam hal pemekaran, meskipun masih debatable, penulus tetap pada pendapat bahwa Pasal 76 ayat (1) dikonstruksikan sebagai norma tertutup sehingga persetujuan MRP dan DPRP adalah mutlak, sekalipun inisiatif pemekaran adalah dari pemerintah dan DPR.
Pelembagaan tugas
Agar MRP maksimal dalam menjalankan perannya, penting dilakukan pelembagaan terhadap tugas dan wewenang sebagaimana disebutkan di atas. Pelembagaan di sini adalah berupa pembentukan peraturan-peraturan derivatif yang didelegasikan oleh UU 2/2021. Pendelegasian pembentukan peraturan derivatif ditandai dengan frase “diatur dengan” atau “ditetapkan dengan” dalam norma-norma yang menghendaki adanya pengaturan lebih lanjut.
Dalam ilmu perundang-undangan, sebuah UU hanya boleh memberikan delegasi kepada Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan yang secara hirarki berada tepat di bawah UU. UU 2/20021 adalah lex specialis, sehingga para pembentuk UU menyimpangi ketentuan tersebut dengan memberikan delegasi kepada peraturan lain selain Peraturan Pemerintah.
Dalam catatan penulis, paling tidak ada 6 peraturan derivatif yang didelegasikan oleh UU 21/2021. Dari keenam peraturan derivatif tersebut, hanya ada 1 delegasi kepada PP, di sisi lain ada 3 Perdasus dan 2 Perdasi yang didelegasikan pembentukannya. Perdasus patut mendapat perhatian lebih karena dalam pembentukannya butuh pertimbangan dan persetujuan dari MRP (vide Pasal 20 ayat (2) UU 2/2021).
Ketiga Perdasus yang didelegasikan pembentukannya adalah sebagai berikut. Pertama, Perdasus tentang tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur Papua dalam hal perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi Papua sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (8). Kedua, Perdasus tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (2).
Ketiga, Perdasus tentang pengaturan usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang tetap menghormati hak-hak masyarakat adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 ayat (2). Sementara kedua Perdasi mengatur tentang pendapatan dan belanja Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (3).
Limit waktu singkat
Sepanjang pengetahuan penulis, dari keenam peraturan derivatif yang didelegasikan, baru PP yang dibentuk, sementara Perdasi dan Perdasus belum terdengar progresnya. Padahal Pasal 75 ayat (3) memberikan limit waktu satu tahun sejak pengundangan UU 2/2021 untuk penetapan Perdasi dan Perdasus. Dalam klausal lain, yakni Pasal 75 ayat (4) dikatakan bahwa pemerintah dapat mengambil alih kewenangan pembentukan Perdasi dan Perdasus jika dalam limit waktu tersebut Perdasi dan Perdasus belum ditetapkan.
UU 2/2021 diundangkan pada tanggal 19 Juli 2021. Dengan demikian hanya tersisa waktu sekitar empat bulan bagi Gubernur dan DPRP untuk membentuk 2 Perdasi dan 3 Perdasus. Sungguh sebuah pekerjaan yang jauh dari kata mudah!
Meskipun konstruksi Pasal 75 ayat (4) adalah norma terbuka-ditandai dengan kata “dapat”, yang berarti pengambilalihan kewenangan pembentukan Perdasi dan Perdasus oleh pemerintah tidak bersifat mutlak, tetap saja ada kekhawatiran terhadap pengabaian peran MRP dalam pembentukan Perdasus. Pasal 20 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa “MRP memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur.” Artinya, jika rancangan Perdasus bukan dari DPRP dan Gubernur, melainkan dari pemerintah maka pertimbangan dan persetujuan MRP bukan suatu keharusan.
Dengan kata lain, ketika pemerintah mengambil alih peran pembentukan Perdasus setelah lewat satu tahun pasca UU 21/2021 diundangkan, maka tidak ada kewajiban dari pemerintah untuk meminta pertimbangan dan persetujuan dari MRP. Jika hal ini sampai terjadi maka tentu saja menjadi kerugian bagi OAP karena keterwakilan dan aspirasinya tidak dapat terlembagakan.
Untuk itu, selain menyuarakan aspirasi tentang rencana pemekaran, DPRP dan Gubernur sebaiknya segera melakukan langkah-langkah dalam rangka pembentukan Perdasi dan Perdasus yang jadi tanggung jawabnya. Sementara MRP bisa secara aktif memberikan dorongan kepada kedua institusi ini agar dalam waktu yang singkat ini dapat menjalankan apa yang menjadi amanat UU 2/2021.