SENTANI, ODIYAIWUU.com — Sejak pekan ketiga November 2024, ratusan aparat keamanan dikirim ke Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan. Aparat keamanan itu tiba di Bandara Oksibil, Jalan Mabilabol, Pegunungan Bintang.
Menurut Ketua dan Staf Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Pusat Pendeta Jimmy Koirewoa, S.Th dan Eneko Bahabol, awal Desember aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) memulai perjalanan dari Oksibil, kota Kabupaten Pegunungan Bintang menuju Distrik Oksop.
“Berdasarkan kesaksian seorang Pendeta GIDI, TNI menuju Oksop melalui jalan setapak yang biasa digunakan warga ke kebun dan hutan. Masyarakat Oksop menyaksikan kedatangan TNI ke kebun-kebun mereka. TNI juga mulai menempati kantor Distrik Oksop sejak awal Desember,” ujar Jimmy dan Eneko kepada Odiyaiwuu.com dari Sentani, Jayapura, Papua, Selasa (10/12(.
Jimmy menjelaskan, pada Minggu (8/12) seluruh warga Oksop akhirnya telah mengungsi ke berbagai titik. Kampung-kampung kosong melompong akibat aksi yang dilakukan oleh aparat. Kedatangan aparat ke Oksop tidak melalui jalan umum, tetapi melalui jalan-jalan tikus.
Sesampainya di Oksop, ibu kota Distrik, kata Jimmy, aparat TNI tidak menempati kantor distrik atau perumahan sosial tetapi mengambil tempat di hutan-hutan. Mereka kemudian mengepung warga sipil yang tinggal di perkampungan dan hutan-hutan yang ditempati warga. Aksi militer, lanjutnya, sangat menakutkan masyarakat. Warga merasa terancam dan membutuhkan pertolongan semua pihak.
“Pada 9 Desember TNI kembali melakukan pendropingan pasukan menggunakan helikopter dan menempati Gereja GIDI Efesus Sape di Kampung Mimin. Hingga saat ini, TNI menguasai lima kampung di Oksop. Akibatnya, warga mengungsi ke hutan untuk menyelamatkan diri. Gereja-gereja seperti Gereja GIDI dan Katolik sedang berupaya mengumpulkan pengungsi,” ujarnya.
Menurut Jimmy, penyisiran yang dilakukan oleh aparat menyebabkan sejumlah keluarga, termasuk anak-anak, orang dewasa, perempuan, dan lansia melarikan diri ke hutan. Mereka ketakutan setelah melihat penembakan brutal yang dilakukan aparat di wilayah itu.
Keadaan ini menciptakan situasi sangat darurat. Masyarakat terjebak dalam ketakutan dan kesulitan hidup akibat konflik yang sedang berlangsung. Mereka terpaksa mengungsi karena didera rasa takut dan kecewa terhadap perlakuan aparat yang dianggap tidak manusiawi.
“Seorang perwakilan umat Katolik dan Protestan mengungkapkan, mereka merindukan Natal penuh damai. Tetapi tahun ini, mereka tidak merasakan kedamaian dan kebahagiaan. Mereka tidak bisa merayakan kelahiran sang Juruselamat penuh sukacita. Ini adalah kado Natal paling buruk yang mereka alami dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Menurut Jimmy, kekuatan militer yang dikerahkan ke Oksop sekitar 300 personel, dengan pendropan pasukan tahap kedua menggunakan 3 mobil. Namun, jumlah pasti kekuatan militer masih belum diketahui karena pasukan terus bertambah. Hal ini diakui Jimmy, semakin memperburuk situasi di lapangan.
Akibat adanya pengerahan jumlah personil militer dalam jumlah besar, berbagai aktivitas pengungsi lumpuh total. Dampaknya sangat dirasakan pengungsi. Misalnya, usaha mencari makanan terhambat karena warga tidak dapat beraktivitas dengan normal.
Selain itu, akses pendidikan anak-anak sekolah hilang karena tidak ada ruang belajar dan suasana yang sangat tidak aman dan kondusif. Begitu pula akses layanan kesehatan terhenti mengingat medan yang sulit dan warga yang ketakutan dengan kehadiran aparat keamanan.
Situasi ini mengakibatkan warga mengalami penderitaan. Selain rasa takut mendera, warga juga menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti memperoleh makanan, pendidikan, dan kesehatan. Keadaan ini menuntut perhatian dan bantuan berbagai pihak untuk membantu pengungsi dan mengakhiri kekerasan yang sedang berlangsung.
Jimmy mengatakan, dalam usaha mendata warga sipil di pengungsian, para hamba Tuhan dan pegiat hak asasi manusia (HAM) menghadapi kendala besar. Kendala itu terutama terkait medan yang sulit banyaknya kekuatan militer di distrik itu.
“Saat ini warga pengungsi yang terdata yaitu balita sekitar 54 orang, warga lanjut usia (lansia) 23 orang, ibu hamil 5 orang, dan pasien berat 2 orang. Total pengungsi yang bertahan di hutan sebanyak 3.318 orang,” kata Jimmy.
Menurutnya, data ini mencerminkan kondisi pengungsi yang sangat rentan, termasuk anak-anak, lansia, ibu hamil, dan mereka sangat membutuhkan perawatan medis. Situasi ini menunjukkan tingkat kesulitan yang sangat tinggi bagi masyarakat sipil yang terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Ketua Wilayah GIDI Pegunungan Bintang Pendeta Nerri Sol, S.Th, M.Th juga mengeluhkan situasi di Kampung Safe, Klasis Okbab, Jemaat Efesus. Pasalnya, saat ini semua jalan tikus telah diblokade aparat keamanan sehingga menyulitkan jemaat kembali ke rumah mengambil barang-barang mereka. Banyak yang terpaksa berjalan kaki dengan bawaan seadanya di tangan atau pakaian di badan.
“Kami berharap agar tentara yang saat ini berada di Safe segera ditarik ke Oksibil, sehingga jemaat dapat merayakan Natal bersama keluarga di tempat mereka dalam suasana aman dan damai. Kami mohon perhatian Kementerian Hak Asasi Manusia agar masalah ini dapat segera ditangani demi menghormati martabat orang kecil,” kata Nerri Sol.
Menurut Nerri, kini pihak Pengurus Wilayah GIDI Pegunungan Bintang sedang berupaya melakukan upaya advokasi terkait masalah pengungsian yang sedang dihadapi masyarakat dan jemaat di Oksop melalui koordinasi dengan pihak gereja dan aktivis kemanusiaan di Pegunungan Bintang.
“Kami telah melakukan kontak langsung dengan Ketua Klasis dan Ketua Wilayah GIDI Pegunungan Bintang. Kemudian, berkoordinasi dengan pihak Kementerian HAM, Pangdam XVII/Cenderawasih guna menanyakan pendropan ratusan aparat militer ke Oksop, termasuk bagaimana melihat penderitaan warga yang masih bertahan di hutan-hutan,” kata Nerri. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)