Judul : Pendidikan yang Memerdekakan, Transformasi Ki Hadjar Dewantara dan
Y.B. Mangunwijaya untuk Millenial Baru
Penulis : Francis Wahono
Penerbit : Cinde Books, Yogyakarta, 2021
Halaman : xxx+518 halaman
BUKU ini telah memercikkan suatu imajinasi mengenai pendidikan yang sangat berakar kepada kehidupan masyarakat setempat. Kemanusiaan para murid dalam pandangan Francis Wahono, yang terinspirasi dari pemikiran Ki Hajar Dewantara, Romo Mangunwijaya, dan juga Paulo Freire, sudah semestinya bersumber dari kekayaan kehidupan dimana mereka tumbuh.
Proses pendidikan hendaknya tidak mengubah anak-anak menjadi yang lain daripada diri mereka sendiri. Tidak menjadi kebarat-kebaratan —atau kejawa-jawaan— dan tragisnya juga gagal menjadi manusia-lokal dari mana mereka berasal. Lebih lanjut, proses pendidikan idealnya juga mempromosikan kemanusiaan yang lebih luas. Dalam bahasa yang sudah populer adalah menjadi manusia kosmopolitan.
Kemanusiaan yang mengakar
Sejauh saya menangkap, gagasan pokok tentang pendidikan dalam buku ini berpusat pada proses mengembangkan kemanusiaan peserta didik secara integral dan menyeluruh. Kata proses sangat penting untuk digarisbawahi. Bahkan proses pendidikan sejatinya lebih penting daripada hasil yang biasanya diukur dengan ujian akhir yang diselenggarakan oleh negara. Tentu saja, dengan latar belakang keluarga dan bakat alam yang berbeda-beda, peserta didik menjalani proses belajar memanusia secara berbeda-beda. Oleh karena itu, cara mereka belajar juga tidak akan sama.
Anak-anak tidak perlu diseragamkan. Bahkan, penyeragaman itu justeru dapat mengekang atau sekurang-kurangnya menjadi kendala bagi anak-anak untuk mengungkapkan dirinya. Dalam bentuk yang kurang menguntungkan penyeragaman cenderung memaksa anak-anak menjadi sejenis robot.
Memang, robot akan lebih mudah diatur alias penurut dan enggan untuk protes. Tentu saja kita tidak bisa mengharapkan banyak dari robot-robot yang tidak memiliki perasaan, tidak kreatif, sekaligus tidak kritis. Robot-robot hanya bekerja sejauh ada yang mengendalikan.
Pedagogi untuk mengembangkan kemanusiaan yang mengakar dipaparkan pada bab IV, yang secara spesial disalin dari pedagogi dan dikdatika Sekolah Rakyat Pancasila karya Sutedja Brajanagara dan L. Kartasubrata (1952). Dua pendidik ini merancang penyelenggaraan proses pendidikan secara terperinci dengan dua landasan.
Pertama, pengajaran harus diberikan menurut kodrat anak-anak. Kedua, sekolah harus berhubungan rapat dengan kehidupan masyarakat (kehidupan sehari-hari) (hal. 81). Kedekatan sekolah dengan kehidupan masyarakat akan mendorong tumbuhnya rasa-perasaan dalam diri murid sebagai bagian dari lingkungan sekitarnya.
Dirinya bukanlah alien atau superhero yang berbeda dari kebanyakan orang-orang di sekitarnya darimana mereka berasal. Guru-guru mesti mengajarkan anak-anak didik untuk mencintai bangsanya dan sesama manusia.
Apabila sekolah tidak selaras dengan keseharian anak-anak, mereka lekas merasa sebagai orang asing dan tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Boleh jadi mereka akan tersiksa berada di kelas. Selanjutnya, mereka akan meninggalkan sekolahnya.
Sekolah-sekolah yang menimbulkan rasa terasing itu tidak ubahnya penjara kultural yang membunuh muridnya secara perlahan-lahan. Kemungkinan yang lain: anak-anak menjadi ‘orang asing’ yang membedakan dirinya dan memandang dirinya sebagai kelompok elit tersendiri serta tidak memiliki empati kepada masyarakatnya.
Pendidikan bukan untuk pembodohan
“Dalam nuansa keprihatinan yang serupa, karena penjajahan kolonial yang otoriter demi berkembangnya kapitalisme vis-à-vis rakyat yang tertindas, Ki Hadjar Dewantara menginisiasi sistem pendidikan Taman Siswa yang memerdekakan murid, tidak memperbodoh dan mempermiskin rakyat.”
Kutipan dari halaman 285 ini memberikan konteks ringkas semangat pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Sekolah-sekolah pada zaman penjajahan Belanda diselenggarakan untuk menghasilkan tenaga pribumi yang memiliki keterampilan untuk bekerja sebagai mantri cacar (untuk lulusan STOVIA) di perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda. Lulusan-lulusan yang lebih rendah, yang bisa baca tulis, diburuhkan sebagai tukang catat.
Untuk pekerjaan-pekerjaan rendahan dalam klasifikasi kerja zaman itu, orang-orang pribumi disiapkan. Politik etis yang dijalankan oleh Belanda dengan memberikan pendidikan bagi kaum bumiputra itu sejatinya sekadar untuk memproduksi buruh. Bagi kaum pribumi, menjadi buruh di perusahaan-perusahaan Belanda tentu saja sudah membangkitkan gengsi yang aduhai. Derajat keluarga mereka sudah terangkat jauh tinggi.
Muhammad Hatta memiliki peluang besar untuk menjadi pribumi elit. Dengan beasiswa pemerintah Belanda ia studi di Eropa. Belanda mengharapkan Hatta —dan memang sudah menawarinya— untuk bekerja bagi pemerintah Belanda dengan gaji yang tinggi selepas kuliah. Namun, Hatta mematahkan harapan itu. Ia menjadi salah satu penentang penjajahan yang cukup tangguh. Di Belanda ia dipenjara. Ia juga pernah diasingkan ke Digul. Bagi Hatta, setinggi apapun jabatannya, selama bekerja untuk Belanda, tetaplah ia seorang terjajah.
Tampaknya, pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda menjadi senjata yang memakan tuannya sendiri. Orang-orang seperti Hatta, Ki Hadjar, Sjahrir, dan yang lain-lain berkembang dan mengorganisasi diri sebagai kelompok kritis yang konsisten melawan penjajahan Belanda. Pendidikan dalam pemikiran Ki Hadjar mewarisi semangat yang sama. Pendidikan mesti dikandung dalam semangat memerdekakan manusia. Merdeka bukan untuk menjajah sesama manusia, melainkan untuk berdaulat bersama-sama sebagai penghuni dan pemilik bumi manusia ini.
Di Indonesia, pada suatu masa pendidikan dijiwai oleh semangat link and match. Pendidikan diberi kerangka sebagai penyiapan tenaga-tenaga siap pakai untuk kepentingan dunia industri yang bertumbuh pesat pada masa Orde Baru. Sekolah-sekolah menghasilkan pemuda-pemudi yang siap terjun sebagai buruh terampil. Setelah lulus, mereka siap bekerja. Skema ini tampaknya menciptakan ketergantungan kepada sistem kapitalis.
Tidaklah sulit untuk menebak paradigma pendidikan yang ada di baliknya. Francis Wahono mengidentifikasinya sebagai pendidikan a la anjing: yaitu untuk menjadi penurut, pasif, dan mengikuti kehendak tuannya, lemah daya juang, serta mudah dijajah dan diperbudak bangsa lain (hlm. 288).
Paradigma ini berlawanan dengan pendidikan a la ayam, yaitu “untuk menjadikan siswa kritis, cerdas kadang berontak, dan aktif. … cara ayam bisa merepotkan orang tua maupun kaum elite yang haus kekuasaan dan harta, tapi tak mudah dijajh serta siap bertanding dengan bangsa-bangsa lain.” (hlm. 288).
Gagasan-gagasan dalam buku ini merupakan kritik terhadap pendidikan di Indonesia sekarang ini. Penulisnya menyodorkan beberapa contoh yang sudah ada sebagai alternatif pendidikan yang bisa dipilih dan dinilai cocok untuk merangsang High Order Thinking Skills (HOTS) sebagai orientasi pembelajaran masa kini.
Misalnya sekolah Mangunan yang dirintis oleh Romo Mangunwijaya dan Sekolah “Biasa Saja” Sanggar Anak Alam yang dibangun oleh Sri Wahyaningsih yang menitikberatkan pada metode riset sebagai praktik pembelajaran siswa dan guru. Kemudian sedikit banyak penulis juga melirik ke paradigma pendidikan paling unggul saat ini yaitu Finlandia.
Kaya dengan Refleksi
Untuk saya bagian yang tidak kurang menariknya adalah boks-boks refleksi penulis mengenai sejarah pendidikannya. Seluruhnya adalah 14 boks yang dinamai Kotak Guru, dimana penulis melihat kembali jejak-jejak para guru di sepanjang hidupnya sejak kanak-kanak.
Dalam beragam cara para guru yang ia jumpai di sepanjang hidupnya telah membuat penulis diperkaya dengan ilmu dan kebijaksanaan. Perjumpaan-perjumpaannya dengan guru telah mengantarkannya kepada sumur-sumur kehidupan yang air kebijaksanaannya tidak kering ditimba.
Kenangannya sebagaimana dituturkan dalam kotak-kotak itu mengisahkan bagaimana guru-guru mendidiknya. Di sisi lain juga ia melukiskan bagaimana ia menjalani proses bermuridnya. Ia belajar dan menyerap teladan-teladan dari mereka.
Cerita-cerita dalam kotak guru ini, dalam tangkapan saya, bercerita secara paling baik tentang guru. Dalam proses pendidikan guru adalah yang paling penting. Bukan gedung, bukan juga seragam. Dan, proses pendidikan sejatinya merupakan interaksi transformatif antara guru dengan murid-muridnya. Tanpa seragam maupun tanpa gedung, pendidikan masih bisa berlangsung.
Guru adalah fasilitator —atau orang yang membantu dan memudahkan— para murid untuk mengembangkan diri mereka. Dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara guru adalah orang yang mendampingi, menyemangati, dan mengasuh para murid. Guru yang paling baik adalah yang mendidik dengan memberikan teladan.
Interaksi-interaksi dengan para guru telah mengantarnya untuk menikmati pengetahuan, menghubungkannya dengan nasib para petani dan orang-orang kecil yang tak berdaya, dan memampukannya merintis jalan pembebasan bagi orang-orang tertindas.
Penutup
Buku ini cukup mewakili suara-suara kritis yang diarahkan kepada pendidikan di Indonesia yang secara global menempati rangking bawah. Pendidikan di Indonesia berada di belakang Singapore, Vietnam, atau bahkan Malaysia. Meski tidak sama sekali baru, gagasan di dalamnya menarik untuk didiskusikan kembali agar meramaikan wacana sekolah merdeka atau kampus merdeka yang digelorakan oleh menteri pendidikan.
Setidaknya, untuk memajukan pendidikan di Indonesia, sekadar perlu melihat sejarah pendidikan Indonesia pada awal kemerdekaan. Akan tetapi yang lebih sulit daripada mengunyah gagasan yang sudah ada adalah untuk membebaskan pendidikan Indonesia dari belenggu birokrasi. Ini tanggung jawab pemerintah untuk membereskannya.
Untuk para guru, saya kira buku ini akan menyegarkan jiwa keguruan sekaligus sikap kritis terhadap beban administrasi yang dibebankan oleh pemerintah yang terlampau banyak. Kisah-kisah para guru juga sangat inspiratif. Sekaligus buku ini memberi orientasi bagaimana seorang guru menjalani panggilannya mendampingi orang-orang muda yang bersiap-siap untuk merdeka.
Seandainya buku ini akan dicetak ulang, revisi menjadi hal yang perlu dikerjakan. Kekeliruan penulisan atau typoterlalu banyak dijumpai dan membuat kualitas buku ini berkurang. Catatan-catatan kaki yang berpanjang-panjang itu sebaiknya dipindahkan menjadi catatan ekor pada akhir setiap bab.
Terlepas dari kekurangan itu, buku ini layak dibaca oleh para pembuat kebijakan di pemerintahan, pengurus-pengurus yayasan yang menyelenggarakan pendidikan, para guru, kepala sekolah, dan orangtua.
Peresensi: Johannes Supriyono (Wartawan Odiyaiwuu.com)