Oleh Eddy Way
Pemerhati Pemerintahan
DALAM beberapa hari terakhir, ruang publik, baik di media sosial maupun dalam diskusi antarwarga, ramai membicarakan dugaan ujaran kebencian, rasisme, dan diskriminasi yang dilontarkan Walikota Jayapura melalui video berdurasi pendek dan viral di jagad maya.
Komentar orang nomor satu Kota Jayapura tersebut tidak hanya memantik polemik dan diskusi di tengah masyarakat, tetapi juga menimbulkan keresahan sosial yang berpotensi melahirkan ketegangan horizontal di tengah masyarakat, maupun ketegangan vertikal antar penyelenggara pemerintahan.
Dalam konteks ini, penting untuk menyikapi pernyataan tersebut secara jernih, bijaksana, dan proporsional. Namun hal paling utama dan penting, kita perlu kembali mengingatkan prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan bahwa narasi pemerintah adalah narasi yang mengutuhkan atau menyatukan, bukan membelah atau menceraikan.
Pemerintahan pada hakikatnya adalah lembaga pemersatu. Ia dibentuk oleh rakyat dan untuk rakyat dalam kerangka negara yang majemuk. Karena itu, setiap tindakan dan pernyataan dari pejabat publik, harus selalu mengandung semangat rekonsiliatif, bukan konfrontatif; semangat membangun dialog bukan memupuk stigma.
Di sinilah letak tanggung jawab moral seorang pemimpin. Ia (pemimpin) tidak cukup hanya menyusun kebijakan, tetapi membangun dan menjaga narasi publik yang sehat dan menyejukkan.
Saling Mengingatkan
Sebagai sesama penyelenggara pemerintahan, penting untuk saling mengingatkan ketika ada satu pihak yang menyampaikan narasi yang berpotensi menimbulkan perpecahan.
Dinamika politik, rivalitas lokal atau tekanan sosial memang tidak bisa dihindari, tetapi itu bukan pembenar bagi seorang pejabat untuk menyampaikan ujaran yang merusak sendi-sendi kohesi sosial. Apalagi jika dilakukan dalam kapasitas resmi sebagai pemegang jabatan negara.
Kita juga tidak boleh melupakan struktur relasi pemerintahan. Dalam sistem desentralisasi, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota bukan entitas yang saling terpisah, tetapi satu kesatuan dalam sistem pemerintahan nasional.
Artinya, ketika seorang kepala daerah menyampaikan sesuatu yang menyimpang dari semangat kebangsaan, maka pemerintah di atasnya tidak boleh diam. Ada kewajiban koordinatif dan moral untuk meluruskan, bukan demi mempermalukan, tetapi demi menjaga integritas lembaga pemerintahan secara keseluruhan.
Di sisi lain, otonomi daerah memang memberi ruang bagi kepala daerah untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kondisi lokal. Tapi itu bukan berarti kepala daerah bebas dari kerangka hukum nasional dan etika kebangsaan. Tidak ada satu pun kebijakan atau ucapan yang boleh bertentangan dengan prinsip dasar negara: keadilan, kesetaraan, dan persatuan.
Oleh karena itu, pernyataan pejabat yang mengandung unsur rasial, diskriminatif atau provokatif tidak bisa ditoleransi. Sebab ucapan seperti itu bukan hanya melanggar etika pemerintahan, tetapi juga mengkhianati sumpah jabatan dan kepercayaan publik yang telah diberikan kepadanya.
Dalam masyarakat yang majemuk, terlebih di Papua yang memiliki sejarah panjang dan kompleks, setiap narasi memiliki kekuatan ganda: bisa menjadi jembatan, bisa juga menjadi jurang.
Sedikit saja keliru dalam menyusun kata, dampaknya bisa memantik luka sejarah, membuka trauma kolektif, dan memicu konflik sosial yang berkepanjangan. Karena itu, pejabat publik harus cermat dan dewasa dalam berbicara. Kualitas komunikasi adalah aspek yang tak diabaikan begitu saja.
Narasi dari seorang kepala daerah tidak bisa dilihat sebagai opini pribadi. Itu adalah suara negara. Maka jika narasi itu menyulut perpecahan, maka secara tidak langsung ia telah menjadikan kekuasaan sebagai alat polarisasi.
Hal tersebut sangat berbahaya, karena pemerintah sejatinya bukan alat konflik, melainkan perekat keberagaman. Pemerintah bukan panggung ego pribadi, tetapi ruang pelayanan yang harus inklusif, terbuka, dan berkeadilan.
Etika Publik
Etika kepemimpinan dan tanggung jawab menjaga keutuhan sosial pemimpin sangat diperlukan. Etika publik adalah fondasi dari semua jabatan pemerintahan. Seorang walikota adalah simbol negara di tingkat lokal, bukan sekadar jabatan administratif.
Ucapannya adalah cerminan dari watak kepemimpinan dan kualitas moral yang ia bawa ke dalam ruang publik. Maka pertanyaan yang selalu relevan untuk diajukan kepada para pemimpin adalah: Apakah kata-katanya menyatukan, atau justru memecah?
Dalam masyarakat modern, terlebih di era digital seperti saat ini, setiap ucapan publik berumur panjang. Ia bisa direkam, disebar, dipelintir, dan digunakan sebagai senjata sosial oleh kelompok-kelompok tertentu.
Maka seorang pemimpin harus berpikir dua kali sebelum berbicara, terutama jika pernyataan itu bersinggungan dengan identitas etnis, agama, atau kelompok sosial tertentu. Sensitivitas ini bukan kelemahan, tetapi justru kekuatan seorang pemimpin yang mengerti konteks masyarakatnya.
Kepemimpinan yang sehat tidak menjadikan narasi sebagai alat untuk meraih dukungan dengan menyingkirkan kelompok lain. Kepemimpinan yang sejati adalah kepemimpinan yang merangkul, menyatukan, dan membangun ruang aman bagi semua warganya terlepas dari latar belakang mereka.
Karena itu pula, seluruh elemen masyarakat perlu ikut serta dalam menjaga ruang publik agar tetap sehat. Media, akademisi, tokoh adat, pemuka agama, dan masyarakat sipil harus terus mendorong pejabat publik untuk menggunakan narasi yang membangun. Pengawalan ini penting dilakukan dalam semangat koreksi, bukan permusuhan; dalam semangat perbaikan, bukan pembunuhan karakter.
Begitu pula antar sesama penyelenggara pemerintahan, penting untuk saling menegur dalam ruang yang etis dan konstruktif. Pemerintah atasan bukanlah penonton yang netral. Ia memiliki fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah bawahan.
Jika pemerintah atasan bungkam ketika melihat pemerintah bawahan menyimpang, maka keheningan itu akan menjadi pembenaran diam bagi tindakan keliru tersebut. Maka kehadiran yang aktif, yang mengingatkan, meluruskan, dan membina adalah wujud tanggung jawab konstitusional yang tidak boleh diabaikan.
Kita semua perlu belajar dari berbagai konflik sosial yang pernah terjadi di negeri ini. Banyak di antaranya bermula dari narasi yang salah urus, dari kata-kata yang merendahkan, menyudutkan, atau mengabaikan rasa hormat antar sesama.
Pemerintah harus selalu menyadari bahwa kata-kata bisa menjadi bentuk kebijakan yang tidak tertulis, namun berdampak sangat nyata. Ia bisa membangun kepercayaan, tetapi juga bisa menghancurkannya.
Jika memang ada kekeliruan dalam pernyataan seorang kepala daerah, maka koreksi dan klarifikasi harus dilakukan secara terbuka dan tulus. Masyarakat berhak mendengar klarifikasi itu, bukan hanya demi kepentingan politik, tetapi demi membangun kembali rasa percaya yang sempat goyah.
Kita semua, baik pejabat publik maupun warga biasa, pada dasarnya memiliki satu peran penting: menjadi penjaga keutuhan. Dan keutuhan itu tidak lahir dari seruan-seruan kosong, tetapi dari tindakan nyata termasuk dalam memilih dan menyampaikan narasi yang tidak menyinggung, tidak menyudutkan, dan tidak membakar luka lama.
Karena itu mari tegaskan kembali: dalam setiap level pemerintahan, narasi yang dibangun harus selalu narasi yang mengutuhkan, bukan membelah. Narasi yang mempersatukan, bukan memecah. Dan pemerintah, pada hakikatnya, adalah perekat bangsa, bukan pemecah masyarakat. Hormat.