Oleh Methodius Kossay
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti
MAJELIS Rakyat Papua (MRP) merupakan wadah kulturan orang asli Papua. MRP dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Fungsi MRP adalah sebagai representasi kultur orang asli Papua. Ia (MRP) memiliki wewenang tertentu dalam rangka melindungi hak-hak orang asli Papua, termasuk penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup bersama.
MRP memiliki fungsi representasi kultur orang asli Papua dan terlibat dalam setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Kehadiran wadah kultural itu merupakan sebuah keharusan sesuai perintah UU Otsus.
Pemekaran daerah otonom baru di Papua yang sedang berjalan saat Ini, merupakan murni inisiatif pemerintah pusat dan para oknum elit politik lokal yang haus kekuasaan. Pemekaran daerah otonom baru di Papua bukan murni aspirasi yang datang dari penduduk asli Papua.
Jika murni aspirasi rakyat maka tentu MRP sebagai lembaga representatif penduduk asli Papua dengan kewenangan yang dimilikinya, mengambil andil dalam mendorong upaya pemekaran di Papua. Namun, realitanya terbalik bahwa MRP tidak dilibatkan dalam pembahasan konkret mengenai pemekaran daerah otonom baru di Papua.
Ketua MRP Timotius Murib mengakui, sebagai lembaga kultur orang asli Papua rencana pemekaran daerah otonom baru pada beberapa wilayah di Papua baik di provinsi maupun kabupaten bukan kehendak dan aspirasi rakyat Papua tapi program paksaan elite jakarta dan beberapa elit lokal di Papua. MRP dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua di bawah kepemimpinan Gubernur Lukas Enembe dan DPR Papua sama sekali tidak menghendaki untuk adanya pemekaran provinsi maupun kabupaten di Papua.
Kata Timotius Murib, “Saya selaku ketua MPR jujur mau mengatakan bahwa tidak ada dokumen dari Pemprov Papua dan DPRP Papua serta dokumen kajian ilmiah kelayakan pemekaran dan memberikan persetujuan pemakaran. Dengan demikian MRP selaku wadah kultural tegas menolak rencana rencana pemekaran karena selain belum siap, pemekaran juga bukan kehendak rakyat Papua.” (rri.co.id, 4/2).
Penjelasan yang diutarakan Matius Murib sudah jelas dan final. Rakyat Papua sebagai pemilik hak dan penerima manfaat dari kebijakan pemekaran DOB menolak karena belum waktunya. Karena itu, hemat penulis pemekaran yang tengah gonjang ganjing dalam tahapan Rancangan Undang-Undang (RUU) pemekaran daerah otonom baru dihentikan sementara waktu. Idealnya, pemerintah fokus menyelesaikan berbagai akar masalah di Papua terlebih dahulu. Bila akar persoalan sudah diselesaikan tuntas, isu pemekaran Papua dimunculkan sebagai sarana pemerataan pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Bumi Cenderawasih.
Murib merujuk portal berita di atas juga menyebutkan, saat ini mayoritas di Papua menolak pemekaran DOB. Hal yang juga disampaikan Yulite Anouw, anggota MRP lainnya. Kata Yulite, setiap kali melakukan kunjungan kerja di masa reses ia mendapat pertanyaan warga masyarakat. Masyarakat di Papua, katanya, tidak pernah menyampaikan atau mengusulkan pemekaran. Masyarakat asli Papua menolak pemekaran (rri.co.id, 4/2).
MRP meminta Pemerintah Pusat dan DPR RI tidak memaksakan kehendak untuk memekarkan Papua. Pemerintah dan DPR RI semestinya mendengarkan aspirasi masyarakat, bukan mengikuti kemauan elit politik yang mempunyai kepentingan tertentu. Pemerintah seaharusnya juga lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan di daerah yang sudah memiliki UU otonomi khusus seperti Papua, termasuk dalam hal pemekaran dan pembentukan daerah otonom baru (Jubi.co.id, 11/3).
Jika kebijakan pemerintah tersebut tetap dipaksakan tanpa mempertimbangkan penolakan masif warga masyarakat di tingkat lokal, berpotensi negatif dan menciptakan kegaduhan berkepanjangan masyarakat Papua, khususya orang asli Papua. Pemekaran malah bisa berbentutan dengan kepentingan dan kebutuhan riil masyarakat. Tak ada jaminan hak asasi manusia dilindungi bahkan perlindungan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia kian menjauh. Cita-cita mewujudkan masyarkaat Papua yang tertib, damai, tenang dan sejahtera utopis. (Bersambung)