Oleh Frans Maniagasi
Pengamat Politik Pembangunan Lokal Papua
PADA 29 Mei 2023, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin mengukuhkan enam anggota Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) atau Badan Pengarah Pembangunan Papua (Perpres No 121/2023). Badan tersebut dibentuk sebagai salah satu produk dari perubahan UU No 21 Tahun 2001 menjadi UU No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
BP3OKP/BPPP berfungsi dan bertugas sebagai pengarah agar program-program prioritas otonomi khusus (pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, dan infrastruktur) dan memastikan dana otonomi khusus (otsus) tepat sasaran kepada orang asli Papua (OAP). Selain itu, berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) supaya program dan dana K/L diarahkan untuk mendukung dan menunjang pelaksanaan pembangunan Papua.
Dengan kata lain, BP3OKP diibaratkan polisi lalu lintas yang mengatur mekanisme jalannya lalu lintas pelaksanaan program dan dana otsus maupun program dan dana K/L agar sesuai dengan aturan dan rambu–rambu UU Otsus. Badan itu bukan eksekutor karena eksekutif tetap di bawah otoritas pemerintah provinsi, kabupaten/kota, maupun K/L. Namun, BP3OKP mesti memperkuat koordinasi (strong coordination) dengan gubernur, DPRP, MRP, bupati/wali kota, maupun K/L.
Selain itu, yang urgen dan mendesak ialah upaya yang serius dan sungguh-sungguh serta harus memastikan dengan pasti adanya kerja sama yang erat antara wakil presiden/presiden sebagai institusi negara dan BP3OKP, gubernur, DPRP, MRP, dan K/L. Dengan begitu, tatkala bicara tentang BP3OKP, identik dengan lembaga kepresidenan yang memiliki kewenangan mengarahkan, mengawasi, serta melaksanakan fungsi koordinasi terpadu, sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan pelaporan terhadap perkembangan pelaksanaan otsus Papua.
Perubahan UU Otsus juga diterbitkan seperangkat peraturan pemerintah dan peraturan presiden sebagai penjabaran dari UU No 2 Tahun 2021. Seperti PP No 106 Tahun 2022 tentang Kewenangan dan kelembagaan, PP No 107 Tahun 2022 tentang Pengelolaan, Penerimaan, Pengawasan Dana Otsus, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua. Selain itu, Peraturan Presiden No 24 Tahun 2023 tentang Rencana Induk Pembangunan Papua 2021–2041.
Seperangkat regulasi dan keberadaan BP3OKP atau BPPP dipastikan agar penyelenggaraan otsus pada 20 tahun ke depan memberikan arah dan pedoman supaya jalannya pembangunan Papua di era otsus fase kedua itu memiliki sasaran dan tujuan untuk akselarasi pembangunan di wilayah Papua. Tentunya agar masyarakat asli diharapkan dapat mendekati kesejahteraan dan keadilan.
Tujuan pembangunan Papua itu dapat memberikan dampak positif yang signifikan pasca-20 tahun untuk orang asli Papua take off dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, maupun infrastruktur dasar. Dengan begitu, dapat mencapai derajat kesejahteraan dan keadilan. Papua menjadi mandiri dan maju bersama daerah lain di Indonesia.
Sejalan dengan itu, tantangan yang dihadapi pun kian berat dan kompleks. Kompleksitas tersebut merupakan masalah Papua yang masih dirundung konflik dan kekerasan yang berkepanjangan selama 60 tahun (1963) menyatu dengan Indonesia. Konflik aktual di beberapa kabupaten, seperti Nduga, Puncak Jaya, Yahukimo, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, dan Meybrat, membutuhkan solusi penyelesaiannya.
Belum lagi kondisi geografis, isolasi wilayah fisik dan kultural, kemiskinan, kesenjangan pembangunan antarwilayah di Papua, stigmatisasi terhadap orang Papua, serta kepentingan ekonomi politik global maupun nasional yang tanpa sadar telah mengaveling Papua dengan alasan kepentingan investasi.
Lebih rinci masyarakat asli Papua belum memiliki akses yang sama untuk memperoleh pelayanan sosial, pendidikan, terutama pendidikan dasar yang amburadul dan kesehatan, gizi buruk, stunting, lapangan pekerjaan, korupsi, demokratisasi dan kebebasan berekspresi mengemukakan pendapat, melaksanakan hak politiknya, serta marginalisasi dengan derasnya arus migrasi penduduk dari luar Papua, apalagi dengan pemekaran DOB-DOB.
Muara dari semua realitas itu menimbulkan pertanyaan; pembangunan seperti apa yang hendak dilakukan di Papua. Apakah percepatan pembangunan yang dilaksanakan itu nantinya hanya memenuhi derajat kesejahteraan dengan mengabaikan nilai–nilai kemanusiaan yang bermartabat.
Jika percepatan pembangunan Papua yang hanya mengejar target mendekatkan OAP pada level kesejahteraan seperti Papua sehat, Papua cerdas, dan Papua produktif, hasilnya cenderung akan mengulangi kekeliruan pada fase pertama otsus. Masyarakat Papua pada level bawah akan terus tertinggal di landasan dan yang menikmati hasil fase kedua elite birokrasi dan kekuasaan.
Pengalaman empiris implementasi akhir otsus fase pertama telah menunjukkan terjadinya korupsi di Papua. Bahkan, yang memperoleh manfaat ialah langgengnya kepentingan oligarki di daerah itu dengan justifikasinya investasi, dengan alasan investasi menggapai kesejahteraan Papua menjadi ladang kaveling hegemoni oligarki yang akan menggusur eksistensi kelompok masyarakat asli, terutama masyarakat–masyarakat adat (Francis Fukuyama, 2022, Elvira Rumkabu dkk, 2023).
Kata kunci dari percepatan pembangunan Papua ialah transformasi dalam upaya mewujudkan pembangunan yang bermartabat. Pembangunan yang bermartabat merupakan pembangunan yang meletakkan basis nilai–nilai kemanusiaan dan kultural (local wisdom) pada aras yang teratas.
Artinya, pembangunan yang ‘memanusiakan’ manusia Papua dengan eksistensi dan martabatnya tidak hanya mengejar kesejahteraan yang hanya memacu banjirnya investasi. Meminjam tesis Yudi Latif, sudah saatnya merubah paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan investasi dengan pendekatan kultural dan kemanusiaan sebagai panglima.
Bukan hanya perubahan UU Otsus dengan seperangkat aturan regulasinya secara normatif dan kehadiran BP3OKP/BPPP, melainkan perubahan mindset, persepsi, dan cara kita memperlakukan Papua dengan segala keberadaan dan nilai–nilainya sehingga mengimbangi paradigma dan orientasi pembangunan fisik dan infrastruktur teknokratis yang berorientasi pertumbuhan dan investasi dengan mendepankan kesejahteraan yang bermartabat. Pembangunan transformatif meletakkan Papua di atas landasan kemanusiaan dan kultural seperti dikehendaki dan dipraktikkan oleh Presiden ke-4 Abdurachman Wahid (Ahmad Suaedy, 2009).
Fokus dari transformasi pembangunan Papua meletakkan manusia dan nilai–nilai kemanusiaan serta kultural dalam keseluruhan tata kelola pemerintahan dan kekuasaan. Selain itu, pembangunan di Papua ditopang dengan penyelesaian konflik dan kekerasan sehingga tercapai stabilitas yang meliputi supremasi hukum, pemberantasan korupsi, demokrasi, dan kebebasan berekspresi mengemukakan pendapat, meminimalisasi kecurigaan, dan trust building. Semua itu sebagai syarat peradaban yang merupakan kata kunci dari keseluruhan pembangunan Papua.
Elemen dasar meletakkan manusia dan nilai–nilai kemanusiaan dan kultural Papua dalam sentral pengambilan keputusan (decision making process) pemerintahan dan pembangunan, penyelesaian konflik dan kekerasan, stabilitas dengan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, demokratisasi dan kebebasan berekspresi, meminimalisasi kecurigaan, dan trust building (akademik paper draf UU Otsus 2001) sebagai syarat peradaban. Maka itu, kesejahteraan itu akan datang dengan sendirinya.
Artinya, pada level praksis bahwa program pembangunan berciri otsus (Papua sehat, cerdas, dan produktif) bukan hanya semata–mata merupakan tupoksi pemerintah provinsi, kabupaten/kota di Tanah Papua, melainkan juga program milik K/L. Dengan begitu, pembangunan Papua pada era otsus fase kedua inklusif dan berkelanjutan, menarik investasi, menciptakan lapangan pekerjaan yang layak, dan mengalokasikan sumber daya secara efektif yang dinikmati dan dirasakan manfaatnya oleh penduduk asli, sinkronisasi RJPMN/ RPJMD dengan RIPPP. RIPPP menjadi ‘kitab suci’ bagi setiap stakeholder pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua dan pusat.
Contoh pembangunan smelter seyogianya tak dibangun di Gresik, Jawa Timur, tapi di Timika dengan mempekerjakan tenaga lokal setempat. Bahan setengah jadi dihasilkan di Papua, bukan konsentrat yang dieksploitasi hanya menumpang lewat dibawa keluar Papua, tapi mesti menyumbang pajak, retribusi, dan lapangan pekerjaan untuk daerah penghasil. Demikian pula aneka hasil hutan dan perkebunan yang diproduksi di Papua mesti memberikan keuntungan yang sebesar–besarnya untuk daerah setelah tercukupi, barulah dikontribusikan ke wilayah lain (desentralisasi asimetrik).
Paradigma pembangunan eskavator, daerah penghasil hanya menjadi pelengkap penyerta sekaligus pelengkap penderita yang selama ini tanpa mencicipi dan menikmati manfaat dari eksploitasi sumber daya sudah waktunya diubah. Mulai menggali hingga menjadi bahan setengah jadi sehingga memberikan efek manfaat untuk daerah penghasil. Papua mesti digalakkan untuk menyuplai kebutuhan wilayah lain yang terlebih dahulu sudah maju.
Pendekatan itu akan lebih memanusiakan Papua ketimbang praktik pembangunan yang selama ini hanya sebagai daerah penerima. Kini saatnya dibalik, Papua sebagai lumbung suplai kebutuhan wilayah lain di Indonesia. Dengan demikian, Papua tidak lagi menjadi objek eksploitasi dari berbagai kepentingan atas nama pembangunan dan investasi, tapi menjadi subjek pembangunan. Lebih dari itu, eksistensi mereka sebagai manusia dan warga negara Indonesia yang memiliki nilai–nilai kemanusiaan dan kultural, dihormati dan dihargai sebagai wilayah yang memiliki kekhususan (Pasal 18 B UUD 1945 dan UU No 21/2001 junto UU No 2/2021).
Dengan demikian, pembangunan dirancang seperti di RIPPP untuk memenuhi kebutuhan demi kesejahteraan sekaligus juga bermartabat dengan pengakuan dan penghormatan terhadap kemanusiaan mereka. Semoga dapat diwujudkan pada 2041 mendatang.
Sumber: Media Indonesia, Senin, 19 Juni 2023