Oleh Alex Runggeary
Mantan Karyawan JDF Periode 1975-1997
DON’T try to reinvent the wheel. Maksudnya janganlah mengada-ada, melakukan sesuatu yang tidak ada dasarnya. Sejarah telah mencatat hal-hal baik yang tinggal ditiru dan disesuaikan. Kamis (25/7) penulis mendapatkan kesempatan menjadi narasumber dalam zoom meeting yang diprakarsai Ketua Analisis Papua Strategis (APS) Mimika Yerry Nawipa.
Penulis berbicara di depan para peserta seperti Ketua Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) atau Badan Pengarah Papua Provinsi Papua Tengah Irjen Pol (Purn) Petrus Waine, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Papua Tengah, Kepala Dinas Pertanian Deiyai dan Dogiyai, Direktur Irian Bhakti serta perwakilan dari Dinas Pendidikan Provinsi Papua dan peserta lainnya.
Dalam kesempatan tersebut, para anggota Komunitas The Irian Jaya Joint Development Foundation (X-JDF) menyampaikan, dalam dua tahun terakhir para anggota berusaha menyampaikan kepada pihak berwenang di pusat maupun daerah untuk mendengarkan paparan tentang pengalaman JDF.
Pengalaman sukses JDF pada masanya bisa menjadi inspirasi untuk membenahi pendekatan pembangunan dengan dana otonomi khusus Papua agar berhasil dan berdaya guna. Anggota komunitas pernah menyurati Wakil Presiden Amin Ma’ruf meminta waktu audiensi. Atas bantuan Hiro Taime, surat itu diterima Sekretariat Wapres. Namun sejak itu tidak pernah ada jawaban dari Amin Ma’ruf .
Dalam zoom meeting itu, penulis secara ringkas menyampaikan kembali pokok-pokok pikiran komunitas. Berbagai pokok pikiran tersebut berharap dapat dimanfaatkan oleh BP3OKP melalui Jenderal Waine untuk diteruskan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka selaku Ketua Badan Pengarah Papua. Juga sebagai wacana kerjasama dengan berbagai dinas terkait dalam Provinsi Papua Tengah dan juga antar propinsi dan kabupaten seluruh tanah Papua
Fundwi
Pada tahun 1962, ketika harus meninggalkan Papua karena desakan Amerika Serikat, Belanda sudah terlanjur menyetujui sejumlah dana untuk pembangunan Nieuw Guinea daerah jajahannya. Namun dana ini jelas tak dapat diberikan melalui Pemerintah Indonesia. Alasannya jelas: mereka meragukan niat baik Indonesia untuk membangun Papua.
Selain itu pada masa itu Papua masih di bawah pemerintahan Transisi Untea/PBB sampai penduduk Papua memutuskan apakah mau merdeka atau menyatukan diri dengan Indonesia pada 1969 sesuai perjanjian. Kendala lain adalah konflik internal Indonesia antara 1963-65 yang berakhir dengan peristiwa G30S-PKI.
Pada tahun 1967, setelah situasi stabil di bawah pemerintahan Soeharto, proyek pembangunan Papua baru bisa dilaksanakan. Tetapi di bawah kendali PBB dengan nama Proyek Funds from the United Nations for the Development of West Irian (Fundwi). Proyek ini meliputi berbagai sektor pembangunan. Dari landasan terbang sampai dermaga laut, kesehatan, pendidikan, kehutanan hingga perikanan. (Dokumen Fundwi).
Satu yang tak pernah akan terlupakan yaitu pembangunan kota satelit Angkasapura Jayapura. Tidak lupa sekolah Vocational Training Center (VTC) Base G Jayapura. Kita berbicara banyak tentang pendidikan vokasi, dan Papua pernah punya VTC. Mungkin setara VEDC Malang saat ini.
Proyek Fundwi sukses besar pada masanya. Tetapi harus diakhiri tahun 1969 setelah rakyat Papua memutuskan lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) memilih bergabung dengan Indonesia. Maka proyek ini berumur pendek 1967-1969 dengan hasil kerja cemerlang, yang hemat penulis tidak akan pernah terulang lagi sampai kapanpun.
Apa yang membuat proyek ini begitu sukses dan apa yang kita bisa tiru? Pertanyaan ini membayangi penulis bertahun-tahun timbul tenggelam. Timbul lagi sekitar empat tahun lalu ketika penulis mengutak-atik pikiran: mengapa otsus Papua gagal?
Kunci sukses
Kunci sukses proyek Fundwi sesungguhnya terletak pada tata kelola secara profesional, berdisiplin tinggi, rumusan tujuan yang akan dicapai per sektor terinci dengan jelas dan seterusnya. Yang menarik perhatian penulis sewaktu membaca kembali dokumen proyek ini adalah sebelum seluruh kegiatan proyek dirumuskan dan dilaksanakan terlebih dahulu mereka melakukan baseline survey.
Faktor mendasar dan penting ini, hari ini tidak dilakukan. Bagaimana mungkin kita membangun tetapi tidak tahu dari mana akan memulai dan mengapa kita mulai dari sana. Dengan kata lain, kita membangun dengan meraba-raba bagai si buta. Kenyataannya seperti saat ini: sepertinya kita tidak kemana-mana. Fact speaks for itself.
Setelah proyek Fundwi ini usai, ternyata masih tersisa dana yang cukup besar. Karena mereka memang tidak korupsi dana itu untuk kantong pribadi. Mereka tidak punya mental korupsi dan bekerja di bawah sistem tata kelola yang ketat. Hal yang cukup mengherankan pada hari-hari ini, Koq bisa? Tetapi itulah perbedaan mendasar lain yang patut kita ikuti dan patuhi. Bukan sekadar aturan hukum yang tegas pada permainan kata semata. Tetapi, perilaku dari kepribadian yang baik.
Proyek Fundwi merekomendasikan dua kelanjutan proyek yaitu proyek kehutanan untuk melindungi hutan Papua untuk rakyatnya dan proyek pengembangan ekonomi pedesaan. Tetapi hanya proyek terakhir ini saja yang dapat diwujudkan. Proyek pertama -kehutanan- tidak terdengar lagi sesudahnya. Menurut pengamatan penulis, hal ini disebabkan conflict of interest berbagai pihak.
Joint Development Foundation
Pada 21 Desember 1970, Pemerintah Indonesia diwakili Kepala Urusan Perencanaan dan Pengawasan Kredit Bank Indonesia Jitzak Alexander Sereh bertempat tinggal di Jakarta dan PBB diwakili Sekretaris Executive Fundwi Thomas Francis Power Jr bertempat tinggal di New York, menandatangani Akte Pendirian The Irian Jaya Joint Development Foundation atau JDF.
Tugas utama JDF adalah membangun ekonomi pedesaan dan beroperasi di hampir seluruh daerah di Papua. Proyek-proyek JDF yang dapat dikatakan sukses bekerjasama utamanya dengan para petani penggarap seperti proyek kakao Genyem, Lembah Grime, Yapen Timur, Randawaya dan Wareroni, Manokwari, Ransiki, Sorong dan Kaimana.
Kami anggota komunitas berkeliling seminggu sekali membeli biji kakao basah dari petani. Menimbang dan membayar tunai ke petani. Biji kakao kemudian difermentasi dua tiga hari. Hasil biji kakao fermentasi itu lalu dikeringkan, baik melalui sinar matahari atau pengeringan lewat mesin pengering yang berputar pada porosnya membuat biji kakao bergulir seiring kemiringan bak pengering.
Hasilnya kemudian disortir secara manual kemudian memilih biji yang bulat memanjang, padat berisi. Lalu dimasukkan ke karung goni berlapis dua, ditimbang setiap karung 80 kilogram, diberi cap pembeli dan diekspor ke Singapore untuk selanjutnya ke Eropa.
Proyek karet Merauke di Daerah Aliran Sungai Digul dari Mindiptanah sampai Muara. Ini peninggalan Belanda, hasil berupa Robert Smoked Sheet (RSS) kami jual ke Surabaya. Petani karet tetap mendapatkan penghasilan dari pohon karet mereka.
Proyek sukses lain adalah peternakan sapi Bali. Sapi dewasa didatangkan dari Kupang kemudian didistribusikan ke peternak setelah ditampung pada pusat-pusat penampungan seperti Cattle Ranch Andai Manokwari dan Waena Jayapura. Sebelumnya para peternak ini telah diberikan bimbingan teknis membangun kandang seluas dua hektar masing-masing peternak.
Kami, anggota komunitas mengangkut sapi induk dari Jayapura ke Wamena menggunakan pesawat Fokker 27. Untuk proyek peternakan sapi ini, anggota binaan kami terbanyak berada di Wamena. Ada 12 daerah kehadiran JDF yaitu Wamena, Sarmi, Genyem, Jayapura (termasuk Arso), Merauke, Biak, Nabire, Serui, Manokwari, Sorong, Fakfak dan Kaimana. Ada tujuh sektor kegiatan yaitu perkebunan, peternakan, pertanian, perikanan, industri kecil, transportasi, dan lain-lain.
JDF memiliki binaan sebanyak 4.179 kepala keluarga (KK), tersebar di 12 lokasi pada tujuh sektor tersebut di atas. Kalau 1 KK 5 jiwa, bapa, ibu dan tiga anak maka ada sekitar 20.000 jiwa di Papua pada masanya turut mengenyam manfaat kehadiran JDF. Besaran dana Rp 2 miliar. (The Long Quest for Humanity, JDF, 1994)
JDF juga mempelopori produk kain batik motif Papua. Pada awalnya menggunakan motif Sentani. Proyek ini menyatu dengan proyek Cattle Ranch Waena. JDF membentuk joint venture investasi dengan Commonwealth Development Corporation (CDC) dari Inggris dan Nederlandse Financieringsmaatschappij voor Ontwikkelingslanden NV (FMO) dari negeri Belanda mendirikan PT Coklat Ransiki (Cokran)
Sejak JDF didirikan sampai waktu ditutup, bekerja sama erat dengan United Nations Development Programmes (UNDP) Country Reps, Jakarta. Pada tahun 1997 JDF dilikuidasi Pemerintah Indonesia seiring berbagai institusi perbankan dan lembaga keuangan yang dilikuidasi atau merger. JDF dilikuidasi dari karena dari segi laporan keuangan, terus merugi beberapa tahun terakhir setelah dana cadangannya di luar negeri dianjurkan oleh pemerintah untuk ditarik. Langkah fatal dan bunuh diri.
Mana mungkin kita mengharapkan mengambil untung dari Petani Papua yang masih lemah secara ekonomi? Justru sebaliknya. Kehadiran JDF untuk membina mereka mengenal pasar. Ingat, JDF didirikan karena alasan politis. Ketua Dewan Komisaris Barnabas Suebu, SH dan penulis berkeliling berbagai institusi internasional di Jakarta waktu itu untuk mempertahankan JDF. Tetapi mereka menjawab, “kami siap membantu selama pemerintah sendiri mau mempertahankan JDF.” Pada akhirnya, JDF ditutup dan semua asetnya dialihkan ke Kementerian Keuangan dan atau pemerintah daerah
Prospek ke depan
Dari pengalaman membangun di Papua, ditilik dari sejarah di luar lingkup pemerintahan, ada Fundwi dan JDF. Belajar dari kedua proyek ini, kita dapat menggunakan parameter pembangunannya untuk memetakan prospek pembangunan ekonomi rakyat Papua ke depan.
Parameter tersebut dapat kita beri nama Key Success Factor (KSF). KSF ini harus benar-benar diperhatikan dalam memutuskan dan merumuskan dalam setiap tahapan desain perencanaan dan pelaksanaan. Izinkan penulis menyampaikan 11 KSF sebagai kriteria pembangunan ekonomi rakyat Papua yang sukses.
Pertama, baseline survey. Penulis anjurkan BP3OKP bekerjasama dengan UGM, IPB dan Uncen untuk melakukan baseline survey ini. Ini penting dan mendasar. Kita tidak bisa membangun di awan-awan. Kedua, pendekatan proyek. Design tujuan-tujuan, hasil-hasil (indikator capaian) harus bisa dirumuskan dalam format yang kompak. Artinya, satu bagian saling berhubungan dan saling menjelaskan satu dengan yang lainnya.
Pada akhirnya capaian -nilai riil atau angka absolut pada Indikator (akan menyumbang pada- angka relatif, target angka persentil pada Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua/RIPPP) berikut kegiatan kegiatan di bawahnya. Siapa bertanggung jawab untuk kegiatan apa, di mana, kapan dan seterusnya, Ketiga, partisipasi masyarakat secara luas, Keempat, teknologinya mudah diadopsi masyarakat sasaran.
Kelima, azas berdasarkan potensi daerah. Keenam, berorientasi pasar. Ketujuh, berorientasi produk atau jasa. Kedelapan, mempertimbangkan skala ekonomis, menyatukan beberapa wilayah administrasi pemerintahan seperti kabupaten ke dalam satu kesatuan operasional produk tertentu. Misalnya, kopi Arabika yang terbentang dari Papua Tengah sampai Papua Pegunungan. Kesembilan, berkelanjutan atau sustainability. Kesepuluh, prinsip dana bergulir. Kesebelas, pendampingan lapangan
Penulis yakin seyakin-yakinnya bila prinsip pembangunan ini diterapkan pada desain proyek yang didanai dengan dana otsus khusus bidang pembangunan ekonomi rakyat Papua akan sukses. Dan ukuran sukses ini atas bantuan informasi teknologi saat ini semua pihak dapat mengikuti perkembangannya. Ia harus bersifat terbuka bagi para pihak, stakeholder.
Prinsip-prinsip yang diajukan di sini tidak akan berbeda jauh dengan ide Papua produktif yang disampaikan Jenderal Waine dan yang penulis baca juga pada RIPPP. Penulis percaya uraian ini menjelaskan apa itu Papua produktif yang akan menghasilkan Papua sejahtera.