Pemangkasan Anggaran dan Mimpi Buruk Rakyat - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Pemangkasan Anggaran dan Mimpi Buruk Rakyat

Marco Kasipdana, mahasiswa Magister Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga asal Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Marco Kasipdana

Mahasiswa S2 UKSW Salatiga asal Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan

SEJAK negara ini didirikan, masyarakat Indonesia termasuk kelompok masyarakat sipil telah dihantui dengan kebijakan pemerintah Republik Indonesia yang tidak pro-rakyat. 

Kebijakan yang abai kepentingan rakyat sepintas terlihat di antaranya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang terletak di antara Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur.

Tak tanggung-tanggung, pemerintah menggelontorkan duit negara dalam  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 senilai Rp 48,8 triliun. Duit sebesar itu direncanakan untuk memastikan pembangunan infrastruktur dan berbagai fasilitas pendukung IKN dapat berjalan dengan lancar. 

Kepala Otorita IKN Basuki Hadimuljono mengaku, dana yang akan dikucurkan Presiden Prabowo Subianto untuk kelanjutan pembangunan IKN. Di antaranya, menyelesaikan kompleks legislatif, yudikatif, dan ekosistem pendukungnya serta membuka akses menuju IKN wilayah perencanaan (WP) 2.

Selain itu, anggaran tersebut juga akan digunakan untuk memelihara serta mengelola prasarana dan sarana di IKN yang sudah selesai. Prabowo mematok target: dalam waktu tiga tahun ke depan institusi eksekutif, legislatif, dan yudikatif dapat beroperasi secara resmi di kawasan tersebut. 

Mengapa? Proyek mercusuar itu diarahkan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki tata kelola yang terintegrasi. Kebijakan yang menghantui rakyat belakangan juga bisa dideteksi dari aspek lainnya. Aspek-aspek tersebut dapat diuraikan berikut.

Makan bergizi gratis

Rakyat Indonesia, terutama yang bermukim di pelosok tanah Air tidak hanya dihantui kebijakan pemerintah Republik Indonesia yang tidak urgen dan menyasar kebutuhan rakyat. Namun, lebih dari itu dapat disebut di sini. Pertama, utang luar negeri yang jumlahnya menyentuh angka Rp 8 ribu triliun. 

Kedua, angka pengangguran yang terus meroket. Ketiga, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk menciptakan generasi unggul dan berdaya saing dan mampu membawa Indonesia menjadi bangsa yang lebih maju di masa depan dalam rangka mencapai visi Indonesia Emas 2045. Program ini hemat penulis belum urgen, terutama warga yang bermukim di daerah kategori tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Kita tahu, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal 2020-2024, tercatat masih ada puluhan kabupaten di Indonesia tergolong daerah 3T. Misalnya, kabupaten-kabupaten yang menyebar di berbagai provinsi seperti Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat), Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Papua) dan Papua Barat.

Keempat, masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), praktik hukum yang masih terkesan tebang pilih, menjamurkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) mulai dari pusat hingga daerah. Wajah kemiskinan yang masih menganga lebar di tengah lahirnya berbagai kebijakan pemerintah yang malah membuat kelompok oligarki dan kaum kapitalis mendulang untung dan rakyat menuai buntung. 

Mimpi buruk rakyat terasa vulgar dan kian berat. Pada tahun 2025, pemerintah Indonesia menempuh langkah berani memangkas anggaran di berbagai kementerian dan lembaga. Berbagai kementerian mengalami nasib buruk dipangkas anggarannya.

Lunglai di daerah

Suka atau tidak suka, langkah pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bakal menjerumuskan daerah, terutama kabupaten dan kota dengan APBD minim akan semakin lunglai, lemah. Meski bisa dipahami bahwa pemotongan anggaran dimaksud atas efisiensi dan efektivitas fiskal.

Sepintas, hemat penulis tujuannya baik namun akan melahirkan efek samping. Rakyat, terutama yang mayoritasnya di pelosok dengan penghasilan pas-pasan lebih terkena dampaknya. Berbagai program pro rakyat yang selama ini sudah menyasar rakyat kurang mampu akan kehilangan sandaran hidup bersumber dari bantuan pemerintah lainnya.

Belakangan, persoalan pemangkasan jadi diskusi tak hanya di level masyarakat menengah tetapi juga warga masyarakat kecil di pelosok tanah air. Pertanyaan penting bermunculan. Salah satunya, apakah pemangkasan itu diikuti taktik yang bertujuan untuk menciptakan chaos atau mengguncang stabilitas pemerintah? 

Mengapa pertanyaan itu muncul. Kebijakan negara itu belakangan ramai dibicarakan di berbagai platform media. Pertanyaan rakyat dari hati kecilnya akan senantiasa lahir. Uang rakyat dari hasil keringatnya akan dikuras untuk mengongkosi para pejabat pemerintah yang bekerja di Kabinet Merah Putih, kabinet yang gemuk bentukan Presiden Prabowo. 

Belum lagi uang rakyat untuk membiayai para staf khusus yang jumlahnya lusinan di setiap kementerian dan lembaga. Selain itu, ratusan wakil rakyat di pusat dan daerah dengan staf-staf di sekitarnya, yang tentu memaksa rakyat tahan lapar demi membiayai pos-pos baru di tubuh eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang tentu nilainya sangat fantastis. 

Kalau saja biaya-biaya itu juga terkena rasionalisasi, berapa uang rakyat diarahkan untuk mengongkosi anak-anak dari keluarga kurang mampu di pelosok Indonesia? Siapa sudah berpikir seperti ini? Hanya Tuhan yang lebih tahu isi hati tuan-tuan pemangku kepentingan rakyat di atas. 

Tinggalkan Komentar Anda :