HARI Raya Paskah 2025 dirayakan umat Kristiani di seluruh dunia dengan penuh sukacita. Ia bukan sekadar peringatan akan kebangkitan Kristus dari kematian, melainkan juga perayaan pengharapan, pengampunan, dan kemenangan kasih atas kebencian. Di Tanah Papua, Paskah memiliki makna yang lebih dalam. Ia menjadi momen refleksi bersama bagi semua pihak untuk merenungkan masa lalu yang penuh luka, dan menata masa depan yang damai, adil, serta bermartabat.
Papua adalah rumah bagi keindahan alam yang luar biasa dan keanekaragaman budaya yang kaya. Namun, sejarah panjang konflik dan kekerasan telah meninggalkan jejak penderitaan mendalam bagi masyarakatnya. Ketegangan yang terus terjadi antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata, serta berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, telah membuat banyak warga hidup dalam ketakutan dan trauma. Dalam konteks seperti ini, pesan Paskah menjadi sangat relevan: bahwa dari penderitaan bisa lahir kebangkitan, dan dari kematian bisa muncul kehidupan yang baru.
Perdamaian di Tanah Papua bukan sekadar mimpi. Ia adalah kebutuhan mendesak dan tanggung jawab bersama. Damai sejati bukan hanya soal ketiadaan konflik bersenjata, tetapi tentang hadirnya keadilan, pengakuan martabat manusia, penghormatan terhadap hak adat dan budaya lokal, serta terciptanya ruang dialog yang jujur dan terbuka. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat keamanan, gereja, tokoh adat, organisasi masyarakat sipil, dan seluruh elemen bangsa harus bergandengan tangan untuk menciptakan Papua yang damai dan berkeadaban.
Gereja memiliki peran sentral dalam proses ini. Sebagai lembaga moral dan spiritual, gereja-gereja di Papua hendaknya menjadi pelopor rekonsiliasi, pendamai di tengah konflik, serta penyambung suara rakyat kecil yang terpinggirkan. Perayaan Paskah tidak cukup hanya dilaksanakan dalam liturgi dan lagu pujian. Ia harus diwujudkan dalam keberpihakan pada mereka yang tertindas, dalam usaha nyata membangun keadilan sosial, dan dalam keberanian untuk menyuarakan kebenaran, betapapun pahitnya.
Pemerintah juga perlu berubah dalam pendekatannya. Mengutamakan pendekatan militeristik hanya akan menambah luka. Yang dibutuhkan adalah pendekatan humanistik—mendengarkan suara masyarakat Papua, menghargai hak-hak mereka, dan melibatkan mereka dalam setiap proses pembangunan. Tanpa keadilan, tidak akan ada perdamaian yang sejati. Tanpa pengakuan, tidak ada rekonsiliasi yang tulus.
Paskah 2025 adalah kesempatan suci untuk memulai lembaran baru. Momentum ini harus dijadikan titik balik bagi seluruh pihak untuk meneguhkan tekad membangun Tanah Papua yang damai, adil, dan bermartabat. Sebagaimana Kristus bangkit membawa terang ke tengah kegelapan, demikian pula harapan bagi Papua: bahwa dari luka yang dalam, akan tumbuh kehidupan yang baru—penuh damai, cinta, dan keadilan untuk semua anak bangsa. (Editor)