Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua

Eugene Mahendra Duan, guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Eugene Mahendra Duan

Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah

PENDIDIKAN yang bermutu tidak lahir dalam ruang hampa. Ia merupakan hasil dari interaksi kompleks antara kebijakan, institusi, guru, orang tua, masyarakat, dan peserta didik sendiri. Ketika salah satu elemen tidak berfungsi optimal, kualitas pendidikan pun ikut terganggu.

Oleh karena itu, gagasan partisipasi semesta —keterlibatan seluruh elemen sosial dalam proses pendidikan— bukan sekadar retorika, melainkan syarat mutlak bagi terwujudnya pendidikan yang adil, relevan, dan bermutu untuk semua.

Tema Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2025, Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua menarik. Tema ini sengaja penulis gunakan sebagai judul tulisan di atas. Tema reflektif ini menegaskan, pendidikan bukan sekadar tanggung jawab orang per orang atau satu pihak tetapi urusan kolektif seluruh komponen anak bangsa. Dengan kata lain, pendidikan bergerak secara holistik dan bermutu.

Sayangnya, partisipasi dalam pendidikan selama ini masih dipahami secara sempit: masyarakat hanya sebagai pelengkap administratif dalam bentuk komite sekolah atau donatur pasif. Padahal, partisipasi yang dimaksud dalam kerangka partisipasi semesta adalah keterlibatan yang aktif, kritis, dan transformatif. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga pengawasan pendidikan.

Krisis mutu dan ketimpangan

Meski telah mengalami berbagai reformasi kebijakan, mutu pendidikan Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Data Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menunjukkan, capaian literasi, numerasi, dan sains siswa Indonesia berada di bawah rata-rata negara Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Tak hanya soal hasil akademik, ketimpangan akses pendidikan juga mencolok. Di daerah-daerah tertinggal, banyak sekolah mengalami kekurangan guru, infrastruktur yang buruk, dan sumber daya belajar yang minim.

Fenomena ini tidak bisa hanya diselesaikan melalui pendekatan birokratis atau sentralistik. Dibutuhkan gerakan kolektif yang mengakui bahwa pendidikan adalah urusan semua pihak, bukan hanya pemerintah. Di sinilah pentingnya membangun paradigma partisipatif dalam pengelolaan pendidikan, yang memberi ruang luas bagi keterlibatan warga dalam membentuk kualitas pendidikan sesuai konteks lokal.

Partisipasi semesta mencerminkan gagasan demokrasi pendidikan, yakni pendidikan sebagai hak kolektif yang dikelola bersama secara adil dan akuntabel. Ki Hadjar Dewantara pernah menekankan bahwa pendidikan harus menyatu dengan kehidupan rakyat. Maka, mustahil mewujudkan pendidikan bermutu bila rakyat tak dilibatkan sebagai subjek aktif dalam proses pendidikan.

Dalam praktiknya, partisipasi ini bisa mengambil banyak bentuk. Pertama, orang tua sebagai pendamping belajar dan mitra guru dalam membentuk karakter siswa, bukan hanya sebagai pembayar SPP. Kedua, masyarakat lokal sebagai penyedia nilai-nilai kontekstual, budaya, dan kearifan lokal yang memperkaya kurikulum sekolah.

Ketiga, organisasi masyarakat sipil sebagai pengawas independen yang bisa menjembatani suara masyarakat dengan pembuat kebijakan. Keempat, dunia usaha dan industri sebagai mitra strategis dalam pendidikan vokasi dan pengembangan keterampilan masa depan. Kelima, peserta didik sendiri sebagai subjek yang aktif menyuarakan kebutuhan, aspirasi, dan inovasi pembelajaran.

Dalam kerangka ini, sekolah tidak lagi menjadi “menara gading” yang terpisah dari masyarakat, tetapi menjadi pusat belajar yang hidup, responsif, dan kontekstual.

Salah satu tantangan besar dalam mewujudkan partisipasi semesta adalah desain tata kelola pendidikan yang masih hirarkis dan birokratis. Sekolah-sekolah seringkali hanya menjadi pelaksana program pusat tanpa ruang adaptasi terhadap kebutuhan lokal. Kurikulum disusun jauh dari konteks kultural setempat, sementara evaluasi mutu didasarkan pada standar seragam yang belum tentu relevan.

Perlu upaya serius untuk membongkar sentralisme kebijakan dan memberi otonomi yang lebih luas kepada sekolah dan komunitas. Namun otonomi ini tidak cukup jika tidak disertai dengan mekanisme partisipasi publik yang kuat. Artinya, sekolah bukan hanya otonom, tetapi juga akuntabel terhadap masyarakat yang dilayaninya.

Sebagai contoh, pembentukan forum sekolah komunitas di tingkat desa atau kelurahan dapat menjadi ruang dialog antara sekolah, orang tua, tokoh masyarakat, dan lembaga lokal untuk merancang program pendidikan yang sesuai kebutuhan anak-anak setempat. 

Demikian pula, pelibatan masyarakat dalam penyusunan anggaran sekolah bisa meningkatkan transparansi sekaligus memperkuat rasa memiliki terhadap lembaga pendidikan.

Partisipasi semesta juga berarti membangun ekosistem belajar yang tidak hanya bergantung pada ruang kelas. Belajar bisa terjadi di rumah, pasar, tempat ibadah bahkan di alam terbuka. Maka, aktor-aktor non-formal seperti pegiat komunitas literasi, relawan pendidikan hingga pekerja seni memiliki peran penting dalam memperluas ruang belajar.

Program seperti ‘Kampung Literasi’, ‘Rumah Belajar’, atau ‘Sekolah Alternatif’ yang tumbuh dari inisiatif warga adalah bukti bahwa ketika masyarakat diberi ruang mereka mampu menciptakan model pendidikan yang inovatif, murah, dan relevan. Tugas negara bukan menghambat tetapi merangkul dan memperkuat inisiatif semacam itu sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.

Partisipasi semesta bukan soal retorika inklusif, tetapi strategi mendasar untuk menjawab krisis mutu dan ketimpangan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dimonopoli oleh negara, sebagaimana tidak dapat dibebankan sepenuhnya pada guru atau sekolah. Ia harus menjadi proyek sosial bersama —dengan peran aktif semua lapisan masyarakat.

Mewujudkan pendidikan bermutu untuk semua berarti menjadikan setiap warga sebagai bagian dari solusi. Pemerintah menyediakan kebijakan yang memberi ruang, sekolah membuka diri terhadap suara warga, dan masyarakat mau mengambil tanggung jawab kolektif dalam mendidik generasi penerus. Hanya dengan begitu, pendidikan akan menjadi sarana emansipasi sejati, bukan sekadar instrumen administratif.

Tinggalkan Komentar Anda :