Papua Sebagai Integrating Force Bagi Dunia  - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Papua Sebagai Integrating Force Bagi Dunia 

Ben Senang Galus, pengamat masalah Papua dan penulis buku Kosmopolitanisme Satu Negeri Satu Jiwa, tinggal di Yogyakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ben Senang Galus

Pengamat masalah Papua, tinggal di Yogyakarta

DALAM percakapan melalui telepon seorang aktivis Papua menyampaikan empat pertanyaan kepada penulis. Pertama, bagaimana menurut pendapat penulis jika Papua merdeka? Kedua, jika Papua merdeka, berapa juta manusia eksodus dari Papua ke daerah lain di Indonesia?

Ketiga, apakah tidak terjadi perang antar milisi yang dibentuk oleh Indonesia dengan pejuang kemerdekaan Papua? Keempat, apakah tidak terjadi konflik horizontal lebih keras, antar agama, suku, dan budaya?

Ada dua respon penulis atas pertanyaan aktivis tersebut. Pertama, saya tidak pernah bertanya apakah Anda sungguh aktivis kemerdekaan Papua atau aktivis gadungan, sebab hubungan bisa kurang baik. Kedua, penulis mengatakan, apakah pertanyaan Anda betul murni dari hati Anda atau ini pertanyaan titipan atau memancing penulis.

Atas pertanyaan teman di atas penulis menjawab dengan memberikan pemahaman yang barangkali agak lain dengan konsep yang dia pernah baca. Penjelasan penulis dirangkum dalam uraian berikut.

Berbeda dengan negara lain di dunia, Papua berdiam berbagai ragam etnis, bahasa, agama, budaya. Papua memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Sehingga kita bisa menyebutnya sebagai pluralism, multikultural. Faktor itulah menyebabkan berbagai suku, agama, budaya memilih Papua sebagai tempat yang paling aman untuk tinggal dan berusaha.

Selain daya tarik tersebut, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan hampir semua masyarakat Papua tidak pernah menolak warga dari daerah lain yang ingin melakukan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya maupun aktivitas keagamaan, dan lain sebagainya. Papua itu dinamis, terutama sikap masyarakatnya yang bisa memahami berbagai macam perbedaan, melebihi daerah lain di dunia.

Prinsip dasar orang Papua lebih suka hidup damai dan hormat kepada siapa saja, tanpa memandang suku, asal usul maupun agama. Yang lebih menarik lagi perkembangan Papua lebih spesifik karena di sini ada idealisme budaya, nasionalisme, idealisme merdeka.

Mereka semua bisa belajar hidup tanpa ada perbedaan asal usul kesukuan, agama maupun ras. Dan itulah barangkali kelebihan masyarakat Papua maupun para tokoh masyarakat yang mencurahkan banyak energinya untuk memberi semangat kepada semua orang dari kalangan etnis apapun untuk membangun Papua dalam perdamaian. Soal kemerdekaan itu hak konstitusional masyarakat Papua.

Namun demikian, sejalan dengan perkembangan kota lain di Indonesia atau dunia,  realitas multi tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi “ke-papua-an” sebagai “integrating force dunia” yang mengikat seluruh keragaman etnis, bahasa, budaya, agama tersebut di daerah ini.

Teritori multikultural

Kita tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa Papua sebagai teritori multikultural. Namun kadang memperlihatkan kecenderungan kurang “bersahabat” karena hubungan  itu tampaknya hanya bersifat “semu”.

Begitu semunya hubungan itu sehingga tidak jarang muncul “konflik berskala kecil” yang berdampak pada proses akulturasi budaya atau proses kemerdekaan bangsa Papua berjalan lambat. Lebih dari itu proses dialog kemerdekaan semakin terhambat oleh para pengeruh suasana, tangan kotor baik yang datang dari luar Papua maupun oleh orang Papua sendiri.

Karena setiap kelompok sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, tanpa adanya kesediaan ruang dialog untuk memecahkan kebuntuan hubungan itu, yaitu memberi solusi kemerdekaan Papua, mendorong tumbuhnya konflik yang mengarah pada perpecahan yang bisa menimbulkan semacam collective effervescence, keadaan yang meluap yang dialami oleh kelompok tertentu, sebut saja OPM dan TNI.

Walaupun itu tidak tampak ke permukaan pada kalangan masyarakat horizontal. Karena prinsip hidup orang Papua yang saya pahami ialah orang Papua menghendaki hidup rukun dan damai, walaupun ada pihak lain yang mengganggu ketentraman itu.

Sesungguhnya yang penulis pahami, konflik di Papua mencerminkan latar belakang kondisi sosial dan kebudayaan masyarakat Papua pada umumnya dalam menghadapi proses akulturasi dan perkembangan kebudayaan yang berlangsung amat pesat. Sebab orang Papua sangat taat dan hormat kepada alam kosmos maupun mikrokosmos.

Ketaatan dan hormat orang Papua terhadap alam makrokosmos maupun mikrokosmos tercermin dalam sikap hidup mereka sehari-hari tidak serakah dengan alam, sebut saja hutan, air, sungai. Demikian pula hubungan dengan mikrokosmos, mereka mengutamakan hidup rukun dan hormat.

Hemat penulis, yang menjadi persoalan menurut pengamatan selama ini, para “pendatang” tidak mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dalam arti luas, dengan orang Papua. Malah, yang terjadi adalah jarak sosial yang selalu dipelihara, sehingga memunculkan sentimen negatif satu sama lain.

Sehingga perubahan yang berlangsung dalam tempo yang relatif singkat, menyebabkan   kehilangan akal sehat dalam menghadapinya dan itu adalah suatu hal yang ”wajar” bagian dari dinamika perkembangan global.

Walaupun jumlah warga yang memilih tindak kekerasan sebagai protes terhadap perubahan lingkungan yang kurang menguntungkan itu tidak besar, namun dampaknya sangat luas. Masyarakat Papua yang pada umumnya hidup rukun dan damai, akhirnya terseret untuk ikut melakukan kekerasan sebagai pilihan untuk menghadapi tantangan ketika cara-cara konvensional tidak efektif  lagi.

Konflik semacam ini, bisa mungkin sangat rentan karena kelompok kepentingan yang terdapat dalam masyarakat mempunyai kepentingan sendiri dan ingin supaya kepentingan itu didahulukan dari pada kepentingan kelompok lainnya.

Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa kalau kita mau membuat masyarakat Papua menjadi lebih baik, harmonis dari sekarang, pengetahuan atau pemahaman para “pendatang” terhadap orang Papua mutlak diperlukan. Hanya dengan pengetahuan atau pemahaman itu kita dapat mendekati permasalahan pokok yang dihadapi bangsa Papua.

Moral yang sama

Untuk mengingat kembali memori kolektif kita, penulis mengajukan sebuah  pertanyaan eksistensial, motivasi apa yang mendorong berbagai suku bangsa, agama, ras, dan bahasa menyatakan dirinya dan memilih tinggal di Papua sebagai tempat berkebudayaan? Yang mendorong memilih Papua sebagai tempat berkebudayaan atau berusaha atau berekonomi ialah ikatan kukuh  antarsuku, agama, ras, bahasa.

Mengapa? Karena bangsa Papua mempunyai semangat dan filosofi moral yang sama untuk membentuk masyarakat bersatu, masyarakat yang merdeka. Semangat kebersamaan dan nilai-nilai moral itulah yang menjadi pilihan utama bagi Papua, yakni masyarakat indisoluble and permanent nation and independent permanent nation.

Postulat tersebut berkaca kepada pemikiran Emile Durkheim dalam karya klasiknya, Essays in Sociological Theory (1964) yang mengatakan, each nation has its own moral Philosophy conforming to its character, and moral philosophy can only be found in an independent country. Artinya, setiap bangsa mempunyai falsafah moral masing-masing yang sesuai ciri-ciri khusus bangsa itu dan falsafah moral itu hanya bisa ditemukan dalam sebuah negara yang merdeka.

Karena nilai-nilai moral yang Papua miliki, sebenarnya adalah nilai-nilai yang diakui bersama oleh kelompok tempat mereka berada. Dalam bagian lain Durkheim menegaskan, human conscience that we must integrally realize is nothing else than the collective conscience of the group which we are the part. Artinya, kesadaran manusia yang harus kita sadari secara integral tidak lain adalah kesadaran kolektif kelompok yang kita ikuti.

Semakin majemuk masyarakat, semakin majemuk fungsi-fungsi di dalamnya, semakin majemuk pula nilai-nilai yang disepakati untuk dijadikan tali pengikat mereka dalam kebersamaan, itulah watak khas kebudayaan Papua.

Jiwa kehidupan sosial suatu masyarakat Papua bersumber dari dua hal. Pertama, adanya pembagian fungsi di antara sesama anggotanya. Kedua, adanya kesamaan pandangan tentang nilai-nilai moral.

Pandangan tentang nilai-nilai moral itu akan berkembang sesuai dengan perkembangan kemajemukan dalam masyarakat itu sendiri. Ada yang berubah, ada juga yang dipertahankan. Jika unsur kesamaan hilang dari seseorang, maka ia dilihat sebagai bukan orang kita atau ia berbeda dari kita.

Jika kehilangan kesamaan itu terjadi pada sisi yang dianggap sebagai fundamental menurut orang Papua, maka dapat merusak kelangsungan hidup itu sendiri. Durkheim mengatakan, it is impossible for offense against the most fundamental collective sentiments to be tolerable without the disintegration. Artinya, tidak mungkin pelanggaran terhadap sentimen kolektif paling mendasar dapat ditoleransi tanpa menimbulkan disintegrasi.

Walaupun masih ada sekelompok etnis tertentu di Papua memandang sebagai suatu golongan yang tidak mempunyai akar dalam masyarakat dengan ciri etnis, bahasa yang sama sekali berbeda dan begitu juga bentuk-bentuk kebudayaannya. Ini hanya segelintir orang saja, tidak mewakili pandangan umum orang Papua.

Jika Papua merdeka, apakah menjadi ancaman bagi negara Indonesia dan negara Pasifik Selatan atau dunia selatan? Papua bukanlah sebuah ancaman. Di sini penulis tegaskan Papua tidak saja hanya menghadirkan sebuah perdamaian dunia yang konyol, melainkan sebagai integrating force world, baik dalam bidang ideologi, politik, sosial, budaya dan pertahanan Selatan-Selatan tetapi juga dunia pada umumnya.

Beberapa pendekatan

Dalam rangka Papua sebagai integrating force world beberapa pendekatan berikut barangkali bermanfaat untuk dijadikan acun. Pertama, pendekatan eksistensialisme, yaitu pendekatan historis masalah lalu, masa kini dan masa depan menuju kejayaan bangsa papua.

Pendekatan eksistensialisme kita dapat bercermin pada obsesi pendekatan konflik budaya dari Samuel Huntington, yang mengatakan, “…In an increasingly globalized world… there is an exacerbation of civilizational, societal and ethnic self-consciousness” yang berarti dalam dunia yang semakin mengglobal… terjadi peningkatan kesadaran diri peradaban, masyarakat dan etnis.”

Pendekatan ini secara eksplisit ingin mengatakan kepada kita bahwa titik tolak eksistensi suku-suku bangsa di Papua dengan tetap hidupnya budaya peaceful co-existence sebagai belahan lain dari peradaban mondial, tetapi secara implisit kita temukan penegasan-penegasan historis menjadi dasar pembentukan bangsa Papua beradab.

Kedua, setiap lembaga pendidikan di Papua sudah mulai merintis model pendidikan multikultural (multiculturel based learning) di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi, mengingat beragamnya latar belakang warga belajar.

Hal ini dimaksudkan sebagai upaya rekonstruksi sosial terhadap begitu kuatnya fenomena divergen-disintegratif, yaitu rasa kedaerahan, identitas kesukuan, keakuan dan kekitaan, dan the right to culture, baik dalam tataran perorangan maupun suku bangsa, yang telah menimbulkan fragmentasi kelompok dan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.

Melalui pendidikan multikultural dapat dijadikan sebagai strategi budaya   dalam menanamkan sikap egaliter terhadap keberadaan kelompok lain  dan selanjutnya untuk mereduksi eskalasi gerak-gerak divergensi menjadi gerak-gerak konvergensi ke arah kohesi nasional.

Maka penulis yakin Papua sebagai integrating force world yang mengikat seluruh keragaman etnis akan terwujud dan menjadi sumber inspirasi bagi negara lain di dunia. Untuk itu kepemimpinan lokal harus mengambil perannya, dan bagi orang Papua saat ini, tantangan semacam ini merupakan suatu tuntutan kurikuler yang harus terwujud di ruang-ruang kelas.

Wacana ini dilatarbelakangi oleh sebuah pemikiran semakin menguatnya rasa kesukuan yang berlebihan, yang melahirkan ketidakharmonisan dalam kehidupan bangsa yang pluralistik, di mana konflik horisontal ternyata tidak saja berlatar belakang ekonomi melainkan juga sosial budaya, agama, dan suku.

Ketiga, mewujudkan perubahan struktural di bidang sosial-ekonomi dalam arti transformasi dari ketimpangan menjadi keseimbangan diantara berbagai macam etnis yang ada dengan pola hubungan dialogis. Sedangkan untuk mendorong proses akulturasi budaya perlu diciptakan suasana yang mampu mendorong berbagai suku bersikap lebih terbuka dengan penduduk asli.

Sikap ini tidak cukup hanya dibebankan kepada salah satu etnis saja, tapi juga aparatur pemerintah dalam bentuk kebijaksanaan pelayanan umum. Sebab, tidak jarang terjadi kebijaksanaan yang diberikan instansi pemerintah justru tidak mendorong usaha akulturasi budaya.

Keempat, suku, etnis, dan kebudayaan mana pun harus menjadi  orang Papua di Papua. Dengan cara demikian siapa pun yang tinggal di Papua menjadi ”berada, bereksistensi, diakui, diterima sebagai anak kandung Papua. Intinya  di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak berada, berarti memahami/mendalami kebudayaan Papua. Jadi tanpa ada sikap ragu-ragu. Jangan  lagi melulu di kalangan seetnis (eksklusif, mengelompok) atau membentuk etnis “baru”.

Caranya mudah sekali belajar bahasa-bahasa lokal Papua, belajar kebudayaan Papua, ikut pesta adat (bakar batu), ikut melayat kalau ada yang meninggal, ikut kebaktian atau doa bersama, ikut koor di lingkungan atau gereja, ikut gotong royong di RT/RW, ikut menjaga tempat ibadah.

Walaupun hal tersebut sepele, tapi dampaknya sangat luas. Anda tidak akan memiliki perasaan ketakutan diancam oleh orang Papua. Datang ke Papua berusaha memahami lebih mendalam mengenai filosofi hidup orang Papua, yakni “kitong anak honai”.

Tanpa melakukan itu semua, maka perbincangan tentang akulturasi budaya, justru akan selalu berakhir dengan sebuah pertanyaan; masihkah diperlukan mempersoalkan masalah akulturasi budaya? Hal ini layak diajukan sebagai pertanyaan, mengingat Papua beragam etnis diperlukan adanya kesadaran sosial sebagai sebuah entitas nilai yang luhur dan mulia.

Tanpa pertanyaan seperti itu, refleksi diri dan kemampuan mengkalkulasikan akultural budaya justeru akan menyudutkan pandangan kita ke arah parokialisme dan sinkretisme pemikiran.

Oleh karena itu kepada pemangku kepentingan (stakeholders) termasuk pengambil kebijakan di Papua untuk terus menerus mengaktualisasikan nasionalisme kultural, nasionalisme Papua, nasionalisme kemerdekaan Papua.

Semua itu akan melaksanakan dialog kultural dalam konteks nasionalisme yang tidak menetap dan kaku bagi sebuah Papua sebagai integrating force world, demi melanjutkan makna akulturasi budaya, akulturasi nasionalisme bagi tegaknya hubungan harmonis demi Papua menuju puncak sebagai sebuah bangsa yang beradab, a tolerant independent nation,  Papua is a nation and the hope of the future world.

Tinggalkan Komentar Anda :