Oleh Ansel Deri
Sekretaris Papua Circle Institute
PAPUA kembali membetot perhatian Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Saat memberi sambutan secara virtual acara Deklarasi Damai Papua yang digelar Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila tahun 2022 pada 1 Juni lalu, kiai Ma’ruf menekankan hal penting.
Katanya, keamanan yang kondusif menjadi penentu keberhasilan percepatan pembangunan di tanah Papua. Ma’ruf mengaku telah menginstruksikan aparat TNI-Polri menggunakan pendekatan yang humanis terhadap warga Papua. Upaya dialogis tanpa menggunakan kekerasan diperlukan. “Jangan kita baku hantam sendiri” dalam istilah kiai Ma’ruf.
Poin utama di atas perlu diutarakan kiai Ma’ruf mengingat acara deklarasi tersebut selain pimpinan LMA, hadir juga tokoh adat dan kepala suku dari berbagai wilayah adat seluruh Papua. “Jangan baku hantam sendiri” mutlak diungkapkan dan jadi bahan refleksi tak hanya internal Papua tetapi juga semua pemangku kepentingan (stakeholders). Ujungnya, Papua jadi zona damai sebagai salah satu syarat keberhasilan pembangunan bumi Cendrawasih.
Mengapa faktor keamanan menjadi kerinduan utama Papua, surga kecil yang jatuh ke bumi? Ini pertanyaan penting dan reflektif lain yang perlu segera dijawab tak hanya di lingkup masyarakat dan berbagai elemen di Papua namun juga pemerintah baik pusat maupun daerah, termasuk otoritas keamanan.
Wajah ganda
Wakil Presiden Ma’ruf Amin perlu mengingatkan semua pihak perihal pentingnya keamanan menjadi faktor penentu dan pintu masuk menuju gerbang keberhasilan pembangunan Papua. Namun, sejak pemberlakukan otonomi khusus (otsus) hingga saat ini bahkan jauh sebelumnya, Papua selalu menampakkan wajah ganda.
Pertama, Papua memiliki sumber daya alam melimpah di hampir semua sektor. Kekayaan alam itu mesti dikelola dengan baik guna memajukan daerah paling timur Indonesia itu untuk kesejahteraan warganya. Wajah Papua dengan aneka sumber daya alam terutama terlihat dari sektor pertambangan, kehutanan, pariwisata, dan lain-lain.
Kedua, sejak otonomi khusus jilid pertama tahun 2001 yang baru saja berakhir, Papua terus berbenah dengan kemampuan sumber pembiayaan dari dana otonomi khusus, dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana perimbangan, dana bagi hasil, dan lain-lain. Dengan sokongan dana dari berbagai sumber tersebut, harapan masyarakat dan daerah maju selangkah masih melewati jalan terjal dan berliku.
Ketiga, di tengah upaya pemerintah baik pusat dan daerah serta masyarakat Papua bekerja keras memajukan bumi Cenderawasih, konflik kekerasan tumbuh sporadis. Kekerasan tak sekadar dilakukan kelompok-kelompok sipil terhadap warga bahkan berhadapan dengan aparat keamanan. Fasilitas publik seperti rumah sakit, sekolah, kantor pemerintah kerap menjadi sasaran amuk kelompok-kelompok sipil bersenjata. Korban baik warga sipil maupun aparat keamanan pun jatuh.
Keempat, dari mana memulai menyelesaikan konflik kekerasan kemudian menjadikan Papua tanah damai terkesan makin menjauh. Nyaris semua pihak sulit dan kewalahan mendeteksi di mana titik soal memulai mengurainya. Karena itu kiai Ma’ruf menyebut soal Papua perlu penyelesaian secara tepat.
Semua pihak harus mencari bagian mana yang gatal untuk digaruk sebagai bentuk penyelesaian masalah dengan tepat. Semua perlu bahu-membahu mencari akar permasalahan lalu mulai menyelesaikan. Akar persoalan dimaksud jauh sebelumnya juga pernah diutarakan sejumlah kalangan peneliti yang concern terhadap Papua dan dinamika yang menyertainya selama ini.
Akar masalah
Muridan S Widjojo dkk dalam Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2009) mengetengahkan sebuah gagasan besar bahwa konflik Papua dapat diselesaikan jika pemimpin di pusat maupun daerah memiliki semangat membangun keindonesiaan —bersama kepapuaan— yang mendengarkan, merangkul, dan menjamin keadilan.
Aneka sumber konflik dimaksud mencakup empat isu strategis. Pertama, integrasi Papua ke wilayah negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan identitas politik orang Papua. Kedua, kekerasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ketiga, gagalnya pembangunan di Papua. Keempat, inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otsus serta marginalisasi orang Papua.
Secara historis penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otsus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa Orde Baru.
Kondisi tersebut mirip digambarkan Paskalis Kossay dalam bukunya, Jalan Panjang yang Berliku: Refleksi 50 Tahun Integrasi Papua ke Dalam NKRI (2013) yang menyebut dinamika sosial politik dan keamanan di tanah Papua berlangsung dengan sejumlah faktor yang melatarinya. Pertama, pemahaman politik rakyat Papua tehadap proses integrasi belum tuntas. Sebagian orang Papua masih memiliki pemahaman berbeda tentang proses itu.
Kedua, sebagian kalangan orang Papua memandang integrasi kala itu cendrung dipaksakan politik Amerika yang memboncengi Indonesia merebut hak kedaulatan bernegara orang Papua yang sudah memperoleh kemerdekaannya dari Belanda sejak 1 Desember 1961. Dengan latar pemahaman tersebut, posisi orang Papua saat ini tengah menggugat realitas sejarah integrasi melalui jalur diplomasi dan gerakan internasionalisasi isu Papua ke tingkat dunia.
Karena itu, keamanan yang kondusif sebagai penentu keberhasilan percepatan pembangunan seperti disampaikan kiai Ma’ruf di atas perlu terus digelorakan sekaligus menjadikan Papua tanah damai. Keamanan dan kedamaian ini pula yang menjadi kerinduan kolektif seluruh penghuni Papua (meminjam penggalan lagu Aku Papua dari suara penyanyi legendaris Franky Sahilatua), potongan surga yang jatuh ke bumi