Oleh Agustinus Sarkol
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura, Papua
ARTIKEL singkat ini mengulas refleksi filsafat atas ketidaknyamanan atas orang asli Papua yang dipandang sebatas fungsi. Fungsi yang dimaksud ialah sebagai objek kegunaan semata. Artikel ini juga mengulas keprihatinan hilangnya penghargaan manusia yang memiliki sifat manusiawi terhadap orang asli Papua, kajian manusia sebagai fungsi dari perspektif filsafat manusia.
Artikel ini tentu bukan bermaksud mengatakan bahwa orang asli Papua tidak memiliki sifat manusawi. Namun, lebih dari itu ialah memahami sebuah pertanyaan retoris mengapa orang lain menganggap orang asli Papua sekadar sebagai fungsi dan tidak sebagai manusia yang manusiawi. Dengan kerangka inilah penulis mengulas tulisan.
Ciri khas manusiawi
Manusia adalah pribadi yang otonom sekaligus terbatas. Otonom karena memiliki perasaan, pikiran, perbuatan, dan keinginan. Sedangkan terbatas karena manusia tidak mampu memikirkan segala sesuatu, tidak bisa menginginkan segala sesuatu, tidak mampu merasakan semua hal.
Singkatnya, manusia tidak mampu untuk memiliki semua hal. Dengan demikian, kita sampai pada pemahaman bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia dalam dirinya sebagai pribadi yang otonom harus juga memiliki kepekaan bahwa dia juga membutuhkan orang lain.
Sifat dari manusia sebagai makluk sosial ialah saling mengasihi antar sesama. Bayangkan saja jika manusia dapat melakukan kejahatan berarti manusia juga saling dan mampu untuk saling mencintai. Seperti halnya semua agama mengajarkan bahwa manusia berada di dunia untuk saling mengasihi. Namun orang tidak bisa dipaksa untuk mencintai.
Cinta selalu dari kehendak bebas. Makna dari kehendak bebas ialah manusia sungguh harus saling mengasihi. Dengan adanya kebebasan sejati, akan selalu ada juga kemungkinan untuk mengambil keputusan yang salah secara mendasar. Bahkan manusia juga bisa merusak kebebasannya sendiri.
Kita berbicara tentang kebebasan berarti kita juga harus berbicara tentang tanggung jawab. Sebagai makhluk sosial jika kita sudah mencintai berarti kita dituntut untuk saling meneguhkan dalam cinta. Lantas bagaimana peneguhan cinta itu berlangsung? Dalam kesempatan yang baik ini, kita melihat bahwa pemberian diri itu amat penting.
Saya menyumbangkan pikiran, perasaan, kehendak, dan keinginan saya kepada orang lain sebagai sesama makhluk, namun dalam arti tidak memperbudak. Sebab banyak orang yang berusaha sekadar memuaskan dirinya dengan hawa nafsu. Hal itu sama saja dengan mengaburkan nilai tanggung jawab sebagai pribadi yang bermartabat.
Panduan dari filsafat
Filsuf eksistensialis Prancis Gabriel Marcel (1889-1973) mengemukakan, dia tidak menemukan lagi manusia yang sifatnya seperti manusiawi. Bahkan dalam keadaan gawat darurat, demikian filsuf yang lahir di Paris tahun 1889, manusia selalu menganggap sesamanya sebagai fungsi. Penulis, misalnya, memiliki fungsi apa bagi sebuah komunitas, perusahaan, atau pun bagi sesama. Jika tidak memiliki fungsi tentu tidak berguna, karena tidak memiliki sumbangsih bagi orang lain.
Pada prinsipnya hakekat manusia yang otonom dan terbatas itu sering disepelehkan. Bahkan tidak ada lagi penghragaan yang bernilai atas tubuh manusia itu sendiri. Tubuh manusia sekadar dipandang sebagai objek penggalang dana lewat fungsi. Manusia sekarang tidak memandang lagi jiwa sesamanya. Padahal jiwa dan tubuh adalah satu kesatuan. Kalau melihat hal demikian, ada sebuah pertanyaan reflektif mendasar ialah mengapa sampai manusia sekarang tidak menganggap manusia sebagai pribadi yang manusawi? Malahan hanya memandangnya sebagai fungsi.
Ketika manusia sudah tidak saling menghargai, di saat itulah manusia sudah mati. Ya, manusia dikatakan mati sebab tidak lagi memiliki sifat yang menunjukkan dia seorang pribadi sebagai manusia. Hal inilah yang terjadi di tanah Papua. Ketika masyarakat akar rumput, grass root, hanya dijadikan sebagai objek pemuas dahaga para penguasa dan pengusaha yang kian gencar mencuri satu keladi dari tangan kaum akar rumput. Masih ada sistem penundukan suami atas isteri yang ditutupi dengan budaya patriarkat. Bila melihat wanita yang sering dijadikan fungsi pemuas nafsu, semua itu terasa pedih, menyayat hati.
Dalam keadaan demikian, penulis melihat kenyataan bahwa di tengah kemajuan dunia yang kian modern manusia menghargai sesamanya sekadar sebagai fungsi, bukan karena tuntutan manusiawi. Padahal, ciri khas seorang yang manusiawi ialah memiliki hak dan kebebasan untuk berpikir, merasakan, berkehendak, dan berbuat. Semua itu tertuang dan terbungkus rapi dalam hak-hak asasi manusia (HAM).
Di sini, sekadar diingatkan untuk menghargai orang asli Papua bukan sebagai fungsi tetapi sebagai manusia yang memiliki sifat manusiawi. Orang asli Papua bukan binatang yang ditarik ke mana-mana sesuka hati sang pemilik. Tentu kita semua tidak bisa menganggap orang asli Papua sebagai fungsi: ketika mereka memberikan tanah dan kebebasan bagi kita. Kita tidak bisa menganggap OAP sebagai fungsi ketika memiliki hasil alam yang melimpah dan keindahan alam yang mempesona.
Atribut manusiawi
Ketika HAM menjadi momok yang disepelehkan, maka ada rasa takut yang mendalam. HAM menjadi pintu bagi kreatifitas manusia untuk melakukan berbagai hal lainnya. HAM menjadi bagian yang integral dalam hidup manusia. Kita tidak bisa memisahkan HAM dari setiap pribadi manusia.
Ada begitu banyak orang hendak memisahkan HAM dari manusia, khusunya manusia Papua. Padahal, HAM adalah baju harian manusia. Kita tidak bisa membuat manusia itu telanjang. Akibat dari penanggalan baju HAM dari tubuh manusia maka manusia menjadi takut. Takut bergerak karena tubuhnya tidak berpakaian. Takut beraktifitas karena sedang telanjang. Di sinilah harga diri manusia Papua dipertarukan.
Maka itu, sampaikan kepada kaum penindas bahwa orang asli Papua itu bukan kaum pekerja seks komersial (PSK). Orang asli Papua adalah sama dengan manusia lainnya. Orang asli Papua adalah benar memiliki hakekat manusia seperti manusia lainnya. Maka itu jangan tanggalkan pakaian HAM orang asli Papua. Orang asli Papua bukan pelacur di bar yang seenaknya kita lepaskan baju dan celana mereka. Sangat tidak etis ketika kita menanggalkan pakaian HAM orang asli Papua.
Dengan demikian, kita harus mengenakan pakaian bagi orang asli Papua. Pakaian- pakaian yang indah dan elok bagi sesama kita. Pakaian itu ialah biarkan masyarkat menentukan dengan apa mereka berpikir, merasakan, berkehendak dan berbuat. Itulah yang menjadi pakaian termahal bagi semua umat manusia, khusunya manusia Papua.
Tentu siapapun merasa prihatin ketika orang asli Papua dipandang hanya sebagai fungsi. Karena Ketika tidak lagi memiliki fungsi maka semuanya hilang, sirna seperti atribut HAM di atas. Kita jangan bertanya apa fungsi orang asli Papua bagi saya, tetapi sebaiknya bertanya apa yang harus saya perjungkan untuk melihat orang asli Papua sebagai manusia yang manusiawi. Untuk melihat ini siapapun yang berkehendak baik memiliki tanggung jawab.
Pertanggungjawaban kita terhadap situasi fungsi manusia orang asli Papua bukanlah sekadar memberikan slogan: kami mencintai orang asli Papua. Bukan juga hanya membangun infrastrukur jalan dan jembaan. Bahkan dengan memberikan bantuan ketika terjadi bencana. Bukan hanya dengan mengenakan pakaian, menyanyikan lagu daerah atau tarian khas daerah Papua.
Tetapi satu hal yang selalu dilupakan ialah hilangnya kepekaan dan penghargaan orang asli Papua sebagai manusia yang manusiawi. Sebab kita ini semua diciptakan oleh satu tujuan yakni kebahagian bersama. Untuk meraih kebahagiaan kolektif saling menghargai satu sama lain sebagai manusia mutlak bukan sekadar sebagai fungsi.
Namun lebih dari itu ialah melihat dan memandang manusia itu sebagai pribadi yang memiliki sifat manusiawi. Karena hampir semua orang tidak mau dipandang sebagai binatang, tetapi ingin dipandang sebagai manusia. Untuk itu mari saling menghargai satu sama lain.
Mari pandanglah sesama bukan sebagai fungsi semata tetapi pandanganlah dan kasihanilah dia sebagai sesama pribadi yang memiliki cita rasa manusia yakni berpikir, merasakan, berkehendak dan berbuat.