Oleh Inosius Kalakmabin
Guru SD Katolik Sang Timur, Jakarta Timur
ISTILAH generasi Alfa belum sepopuler generasi milenial atau generasi Z. Tak banyak yang tahu istilah ini. Generasi Alfa adalah generasi yang lahir sekitar tahun 2010 hingga 2020. Data lain menunjukkan, generasi Alfa lahir sekitar 2013 sampai 2025.
Menurut wikipedia, generasi ini lahir mulai 2013. Generasi ini bisa disebut juga generasi digital. Mengapa? Sejak lahir sudah mengenal gadget, laptop, komputer, internet, dan sejenisnya. Keseharian hidup sangat dipengaruhi oleh aktivitas di dunia maya.
Generasi Alfa merupakan generasi terakhir. Mereka adalah adiknya generasi Z (1997-2012), anaknya generasi milenial (1980-1996), dan cucunya generasi X (1965-1980). Dilihat dari tingkat pendidikan, saat ini generasi Alfa berada di taman kanak-kanak hingga akhir sekolah menengah pertama atau awal sekolah menengah atas.
Penting sekali mengetahui hubungan antara karakteristik generasi Alfa dan perkembangannya dalam proses pendidikan. Karena proses pendidikan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter anak dalam menyikapi setiap persoalan hidup baik persoalan pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Mengetahui realitas dan karakteristik mereka bisa membantu orang tua, guru, dan pemangku kepentingan.
Dua realitas
Generasi Alfa sudah, sedang, dan akan menjadi generasi yang lebih mahir dalam mengoperasikan segala jenis teknologi digital dibanding generasi sebelumnya. Rata-rata mereka menghabiskan lebih dari 7 jam dalam sehari menggunakan gadget, hampir sepertiga hari.
Hal ini menandakan sebuah realitas yang tak banyak kita sadari. Secara tidak langsung anak-anak ini (generasi Alfa) hidup dalam dua realitas yang berbeda, yaitu hidup di dunia nyata dan jagat maya sejak lahir.
Data menunjukkan, anak usia 12-17 tahun menghabiskan waktu sekitar 7 jam menggunakan gadget. Di sekitar kita, bahkan ada anak yang dimanjakan oleh orang tuanya sehingga menggunakan gadget sesukanya.
Anak-anak diperkenalkan dengan gadget sejak kecil tanpa pengawasan dan bimbingan khusus. Anak-anak ini bisa menghabiskan waktu lebih dari 7 jam dalam sehari. Hal ini dapat memberikan dampak negatif pada anak.
Di sisi lain, waktu efektif anak di sekolah berlangsung sekitar 4-5 jam untuk taman kanak-kanak hingga kelas 1-2 sekolah dasar, dan 7-8 jam untuk kelas 3-12 (sekolah dasar hingga sekolah menengah atas). Artinya, selama sekitar 18-20 jam anak-anak habiskan di rumah. Ini tidak termasuk hari libur.
Generasi alfa
Aktivitas yang menghabiskan waktu dan perhatian lebih banyak akan berdampak lebih besar dalam pembentukan karakter anak. Jika anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain gadget dalam sehari daripada belajar di sekolah, maka tentu saja informasi dan pengalaman bermain gadget akan lebih banyak tersimpan dalam memori anak. Hal ini akan mempengaruhi motivasi belajar dan tingkat keberhasilan di sekolah.
Bukan hanya itu, bahkan anak bisa menjadi kecanduan gadget yang bisa menimbulkan dampak negatif. Anak-anak juga akan membawa kebiasaan di dunia maya ke dunia nyata. Tak sedikit penulis temukan anak-anak yang menggunakan kata-kata negatif dan sikap tak baik di sekolah. Setelah dicari tahu, rupaya bahasa dan sikap tersebut berasal dari aktivitasnya di dunia maya, seperti teman satu game, tontonan di media sosial, dan sejenisnya.
Sebenarnya gadget dan sejenisnya tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Media digital ibarat pisau bermata dua, bisa memberikan dampak positif maupun dampak negatif. Semuanya kembali kepada penggunanya. Hal ini dapat berhubungan dengan pendidikan. Jika orang tua dan guru bekerja sama dalam mengarahkan anak menggunakan media digital dengan baik, mungkin saja akan lebih banyak dampak positifnya.
Menjauhkan generasi Alfa dari gadget dan media digital lainnya dengan cara melarang bukanlah solusi yang tepat. Dalam banyak pengalaman, hal yang dilarang justru membuat mereka semakin penasaran. Apalagi kehidupan sekarang yang memungkinkan mereka (juga kita) menghabiskan sebagian besar waktu di dunia maya.
Dalam beberapa tahun mendatang kemampuan operasi media digital justru yang sangat dibutuhkan. Alangkah bijak bila anak-anak dilatih dan dipersiapkan dengan baik dalam penggunaan gadget maupun media digital lainnya untuk hal-hak yang positif. Akan lebih baik bila dilakukan sejak dini.
Cara mendidik
Kata “mendidik” merujuk pada sebuah proses pendidikan yang umumnya terjadi di sekolah. Pendidikan pada dasarnya adalah proses belajar. Proses belajar artinya proses yang memungkinkan kita dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak biasa menjadi terbiasa, dari yang tidak mampu menjadi mampu. Proses ini kita alami setiap hari baik yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Hal ini pula yang terjadi pada anak-anak.
Mungkin hari ini mereka coba-coba menyalakan gadget setelah melihat orang lain melakukannya. Besoknya coba-coba buka game, lusa sudah mulai main, beberapa hari atau minggu lagi sudah bisa download sendiri, bahkan memilih game yang dia sukai, menonton youtube, scrol tiktok, dan media sosial lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari proses belajar.
Pada dasarnya generasi Alfa tak bisa lepas dari bayang-bayang media digital karena baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat umum, semua orang menggunakannya. Mereka pun akan terus hidup dalam lingkungan tersebut. Sebab itu, ada beberapa tindakan serius untuk melibatkan anak-anak dalam penggunaan media digital ke arah yang positif.
Pertama, kesadaran kita (terutama orangtua dan guru) akan realitas masa kini. Tingkat kesadaran kita dapat menentukan sejauh mana kita memahami dan menyikapi sebuah persoalan. Dalam hal ini, generasi Alfa lahir dan hidup dalam dua realitas yang tak dapat dipisahkan. Bahkan orang dewasa saja tak bisa jauh dari handphone atau media digital lainnya. Tentu anak-anak generasi Alfa pun akan mengalami hal yang sama. Hal itu tak bisa dipungkiri.
Orang tua dan pemangku kepentingan penting untuk mengetahui dengan jelas akan aktivitas anak setiap harinya baik di sekolah maupun di rumah, terutama saat-saat mereka menggunakan gadget. Sekali lagi, anak-anak saat ini hidup dalam dua dunia (dunia nyata dan dunia maya) dengan rentang waktu yang hampir sama besarnya. Pendidikan dan pola asuh anak tidak boleh hanya berfokus pada kompetensi yang dibutuhkan di dunia nyata tetapi, juga sebaliknya.
Kedua, jalin kerjasama antara orang tua dan guru. Orang tua bertanggung jawab dalam pendidikan informal yang menyita waktu anak selama kurang lebih 18-20 jam yang dihabiskan di rumah. Ini terjadi setiap hari. Dalam hal ini, orang tua bertanggung jawab atas pola asuh anak dalam setiap aktivitasnya.
Baik untuk orang tua yang sudah mengatur dan membatasi waktu anak dalam menggunakan gadget. Akan lebih baik bila memantau aktivitas anak di gadget dengan cara melihat langsung atau biasakan anak membuat laporan akan hal-hal yang dia (mereka) lakukan.
Sementara itu, guru di sekolah yang bertanggung jawab dalam dalam pertumbuhan dan perkembangan kompetensi anak dapat melaporkan perkembangannya kepada orang tua. Guru tentu mengetahui sikap, tingkah laku, dan kemampuan akademiknya di sekolah.
Guru juga mengetahui bagian apa yang perlu ditingkatkan, entar sikapnya, bakatnya, atau akademiknya. Berbagi informasi antara guru dan orangtua tentang aktivitas anak di sekolah dan di rumah dapat memudahkan dalam menyelesaikan persoalan anak.
Ketiga, melatih anak menggunakan gadget untuk hal-hal yang positif. Daripada membiarkan anak menghabiskan waktu menggunakan gadget hanya bermain game dan medsos, anak bisa dibuatkan program khusus untuk menjelajahi media digital untuk hal yang positif dan produktif. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memberikan tugas dengan kata kunci dan perintah khusus, meminta anak melakukan seperti yang guru mau.
Di sisi lain, orang tua juga dapat mengajak anak menggunakan gadget bersama anak untuk hal yang positif. Hal ini bisa dilakukan dengan cara membuat program khusus di hari dan jam tertentu.
Misalnya, setiap hari jumat malam mengajak anak menjelajahi dunia maya dengan mencari informasi tentang makanan khas daerah, tempat wisata terbaik, kota tertua, gunung tertinggi, dan lain sebagainya. Dalam hal ini bisa disesuaikan dengan hal yang disukai anak. Ini adalah cara yang bisa dilakukan untuk melatih anak menggunakan gadget dengan mengakses informasi yang lebih positif.
Keempat, peran sekolah. Khusus anak-anak Fase B ke atas bisa dibuatkan ekskul khusus literasi digital dengan standar capaian pembelajaran tertentu. Seperti yang disinggung sebelumnya, sekolah tidak boleh hanya melatih anak-anak pada kompetensi yang dibutuhkan di dunia nyata tetapi juga, kompetensi yang dibutuhkan di dunia maya.
Dengan adanya ekskul khusus literasi digital, anak-anak bisa dilatih menggunakan media digital untuk hal-hal yang lebih positif. Keterampilan yang dilatih di ekskul tersebut dapat membantu anak-anak mengerjakan banyak tugas yang berhubungan dengan jelajah internet.
Pada dasarnya anak-anak akan terbentuk sesuai lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup anak-anak bisa berupa lingkungan yang sengaja diciptakan (seperti di sekolah, rumah, tempat-tempat umum) dan lingkungan yang tidak diciptakan (alami). Dalam konteks generasi Alfa, mereka lebih banyak hidup di lingkungkungan rumah, sekolah, tempat umum, dan tidak lupa lingkungan dunia maya.
Dengan kata lain, lebih banyak hidup di lingkungan yang dibuat oleh manusia, termasuk dunia maya. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui realitas anak sesuai generasinya agar memilih lingkungan yang dapat membantu tumbuh kembangnya ke arah yang baik.
Beberapa cara yang bisa dilakukan adalah menyadari realitas anak, hubungan kerjasama yang baik antara guru dan orang tua, melatih anak menggunakan gadget untuk hal-hal yang positif, dan peran sekolah dalam membangun kompetensi anak menggunakan media digital untuk hal-hal yang positif. Hal ini penting untuk dilakukan karena kehidupan anak-anak (generasi Alfa) tak terlepas dari dunia maya.