BELAKANGAN ini, kata “Ndasmu” kembali bergema, bukan dari perbincangan santai di warung kopi, melainkan dari mulut pejabat negara yang seharusnya mengayomi rakyat. Kata yang sejatinya bernuansa kasar ini kini menjadi simbol dari hubungan yang semakin menjauh antara penguasa dan yang dikuasai.
Fenomena pejabat negara yang dengan ringan melontarkan “Ndasmu” kepada rakyatnya, terutama kepada mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah, mencerminkan arogansi yang kian mengakar. Kritik yang seharusnya dijawab dengan argumentasi berbasis data dan kebijakan yang lebih baik, justru dibalas dengan cemoohan. Seakan-akan rakyat yang bertanya dan menuntut haknya dianggap tidak berhak bersuara.
Padahal, kritik dari rakyat adalah bagian esensial dari demokrasi. Itu bukan sekadar keluhan, melainkan mekanisme kontrol agar pemerintah tetap berjalan di jalur yang benar. Tanpa kritik, tanpa suara dari masyarakat, pemerintahan berisiko melenceng jauh dari kepentingan rakyat dan semakin menjadi alat kepentingan segelintir elite.
Lebih ironis lagi, kata “Ndasmu” ini keluar dari mereka yang menduduki jabatan berkat mandat rakyat. Seharusnya, setiap kritik dipandang sebagai bentuk kepedulian, bukan sebagai serangan pribadi. Pemerintahan yang kuat bukanlah pemerintahan yang membungkam suara berbeda, melainkan yang mampu menampung kritik dan menjadikannya bahan introspeksi.
Jika pejabat negeri ini merasa terganggu dengan kritik, mungkin yang perlu mereka lakukan bukanlah melontarkan “Ndasmu,” melainkan bercermin. Apakah kebijakan yang mereka buat benar-benar berpihak kepada rakyat? Apakah mereka telah menjalankan amanah dengan baik? Jika kritik terus berdatangan, bisa jadi ada yang salah dalam cara mereka memimpin.
Menghormati rakyat bukan hanya soal retorika manis di atas panggung kampanye, tetapi juga tercermin dari bagaimana seorang pemimpin menanggapi suara yang berbeda. Bukan dengan amarah, bukan dengan cemoohan, apalagi dengan kata-kata yang merendahkan.
Sebab, di balik setiap kritik, ada rakyat yang berharap. Dan di balik setiap “Ndasmu” yang terucap, ada kepercayaan yang kian terkikis. (Yakobus Dumupa/Editor)