Oleh Yohan Jawang
Mahasiswa Universitas Parahyangan, Bandung
ISU agama seperti perbedaan doktrin, suku dan ras pemeluk agama, kebudayaan, dan perbedaan mayoritas dan minoritas menjadi salah satu persoalan yang sudah ada sejak masa lalu hingga kini. Aneka persoalan tersebut diakibatkan oleh munculnya cara pandang yang keliru dan berbeda segelintir pemeluk terhadap satu agama dengan agama yang lain.
Selain itu, muncul cara pandang yang kerap menganggap agama yang dianut paling benar, sehingga memunculkan prasangka negatif terhadap agama-agama lain. Hal inilah yang menimbulkan persoalan yang lebih besar lagi hingga berujung pada konflik berkepanjangan.
Di tengah kemajuan dunia yang kompleks dan plural, aneka persoalan tersebut tentu menjadi perhatian utama agar tetap tercipta suasana yang menjadikan sikap toleransi dan rasa damai sebagai keutamaan. Dalam konteks Indonesia, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama masih terus menjadi salah satu isu utama.
Kenyataan menunjukkan, persoalan prasangka dan bahkan masalah yang melibatkan agama masih terus terjadi. Sebagai negara kepulauan dengan aneka ragam budaya dan agama menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Berbagai usaha, seperti dialog lintas agama masih meninggalkan mimpi karena apa yang diharapkan masih jauh dari kenyataan.
Sikap tertutup menjadi salah satu faktor utama, sehingga membuat orang tidak mau membuka diri terhadap keberagaman dan menerima keberbedaan. Orang serta merta menghakimi bahkan meragukan kebenaran agama lain, dengan berbagai pandangan yang berpotensi memicu konflik.
Oleh karena itu, moderasi diharapkan dapat menjadi jalan tengah yang memungkinkan adanya sikap terbuka untuk menerima perbedaan tanpa harus mempersoalkan.
Keberagaman dan permasalahan
Pertanyaan yang kiranya menggugah para pemeluk agara terutama dalam menghadapi persoalan tentang perbedaan agama ialah apakah agama yang salah atau pemikiran yang keliru? Di tengah kehidupan masyarakat yang plural dan dengan berbagai kemajuan, persoalan perbedaan agama masih menjadi salah satu isu yang dominan.
Hal ini tidak dapat dipungkiri dengan munculnya aneka prasangka negatif terhadap pemeluk agama atau penganut kepercayaan lain. Fenomena ini menjadi bukti bahwa perbedaan agama masih menjadi faktor yang rentan menimbulkan persoalan yang berpotensi konflik.
Keberagaman yang idealnya menjadi salah satu aspek penting yang perlu dirawat demi kebaikan bersama, masih menjadi salah satu sumber konflik. Dalam konteks Indonesia dengan perbedaan budaya termasuk agama sebagai mozaik indah, perlu dijaga dan dirawat dalam semangat persaudaraan.
Kenyataannya, masih jauh dari asa sebuah kehidupan yang berlandaskan semangat persaudaraan dalam perbedaan. Persoalan-persoalan ini tentunya tidak terlepas dari sikap tertutup yang dapat menumbuhkan fanatisme, plus tidak mau membuka diri terhadap perbedaan.
Dosen Filsafat Universitas Parahyangan Gerald Philips dalam Integritas Terbuka (2022) menyebut, agama berbicara tentang perdamaian. Namun, ia (agama) sering menjadi sumber utama konflik di antara para pengikutnya. Ketika penganut agama tidak bersentuhan atau berinteraksi satu sama lain, maka cara berekspresi antara agama menjadi kurang begitu penting. Sebaliknya, ketika kontak di antara para penganut meningkat dalam lingkungan yang beragam, maka cara berekspresi dan penafsiran dipertentangkan.
Suatu realitas kadang berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan. Perlu proses interaksi antara umat beriman agar saling melengkapi serta mengurangi sikap prasangka negatif yang kerap muncul. Meski demikian, sikap keterbukaan yang alpa pengetahuan cukup terhadap kepercayaan agama lain atau pemahaman yang kurang mendalam akan tetap menimbulkan masalah.
Misalnya, dalam kehidupan konteks saat ini. Meskipun berbagai usaha telah dilakukan dalam rangka membangun suatu kehidupan yang harmonis dan damai melalui dialog terbuka, kenyataannya belum menyentuh harapan pemeluk agama, utopis.
Bertolak dari realitas itu, mesti diupayakan cara tertentu yang lebih efektif untuk dapat mengatasi persoalan yang masih menghantui keberagaman. Perbedaan agama masih dilihat sebagai sesuatu yang perlu dipertentangkan. Tak jarang menimbulkan konflik.
Peran agama sebagai sarana mengantar umat untuk lebih dekat pada yang Ilahi, kadang menjadi alat membenarkan suatu tindakan kurang produktif pemeluknya.
Philips menegaskan, tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian di antara agama-agama. Tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog di antara agama-agama, dan tidak ada dialog di antara agama-agama tanpa pengetahuan yang akurat tentang satu sama lain.
Rupanya dialog tidak sekadar jalan tunggal penyelesaian prasangka atas perbedaan agama. Namun, lebih dari itu diperlukan keterbukaan untuk bersedia belajar dan menerima kebenaran satu sama lain. Menerima kebenaran agama lain tidak berarti bahwa orang akan meninggalkan agamanya. Penerimaan kebenaran agama lain berarti mau mengakui keberadaan agama lain sebagai bagian dari perbedaan untuk saling melengkapi (mutualistik).
Hidup dalam dunia yang dan plural menjadi suatu keistimewaan sekaligus menghadirkan berbagai tantangan. Namun, bila tidak dikelola baik akan menimbulkan konflik. Tantangan-tantangan dalam dunia yang serba plural, kadang jadi soal buntut cara pandang yang tak mengindahkan perbedaan. Hal ini nyata terutama berkaitan dengan perbedaan agama.
Fungsi agama sebagai institusi pembawa kasih, masih jadi perdebatan yang kerap menimbulkan konflik. Konflik dipicu prasangka, cara pandang yang keliru tentang agama serta keyakinan orang lain. Di tengah situasi hidup keberagaman, perlu usaha mendukung berbagai kegiatan dialog antar agama, agar mampu tercipta suatu kehidupan yang berlandaskan kebersamaan dan harmoni.
Oleh karena itu, selain dialog diperlukan keterbukaan untuk mengetahui agama lain. Mempelajari agama lain, tidak berarti harus meninggalkan keyakinan, tetapi mampu menerima kebenaran agama lain tanpa harus merasa terganggu. Apalagi harus meninggalkan keyakinan sendiri.
Hidup dalam situasi yang kompleks, sikap terbuka menerima kebenaran agama lain sangat penting. Sikap inilah yang disebut sebagai moderasi beragama. Sikap moderasi mengedepankan keseimbangan, terutama dalam menghadapi kehidupan yang plural.
Dalam konteks ini seseorang atau bahkan kelompok tidak serta-merta mengklaim diri dan keyakinan agamanya paling benar. Sikap moderasi menempatkan keberagaman sebagai hal yang urgen dengan segala penerimaan atas keberagaman yang ada.
Dengan demikian, apa yang menjadi harapan, cita-cita bersama yakni suasana kehidupan saling menghargai keberagaman agama, dapat mewujud dalam praktik hidup penganutnya.
Hal ini tak lepas dari pengetahuan seseorang terhadap pemeluk agama lain. Pengetahuan seseorang terhadap orang lain, membantu orang tersebut menunjukkan sikap terbuka dan mau menerima sebagai bagian dan realitas keberagaman.