ADA yang ganjil tapi kian lazim dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia: hidup pas-pasan tapi gaya berlebihan. Ekonomi pasrah tapi pamer tak kenal lelah. Inilah fenomena “miskin tapi suka flexing” yang perlahan-lahan menjadi identitas kolektif generasi bangsa—menyedihkan sekaligus memalukan.
Di kampung-kampung dan kota-kota, pemandangan ini jadi biasa: rumah kontrakan sempit, tapi isi dalamnya iPhone terbaru. Belanja pakai paylater, makan lewat aplikasi, jalan-jalan demi konten, lalu utang tak kunjung lunas. Ada yang gajinya UMR, tapi tiap minggu upload OOTD branded. Ada yang tak punya tabungan darurat, tapi kredit motor dan baju terus berjalan. Semua demi citra. Semua demi pengakuan.
Media sosial jadi cermin paling jujur atas kebiasaan ini. Di TikTok dan Instagram, pamer kekayaan menjadi budaya harian. Padahal di balik layar, banyak dari mereka hidup dalam tekanan finansial akut. Utang menumpuk, cicilan membelit, dan mental tersesat dalam obsesi pencitraan. Tapi ironinya, yang menyaksikan dan menirunya pun bukan orang kaya. Justru mereka yang hidup seadanya yang paling tergoda mengikuti gaya hidup semu ini.
Mengapa bangsa yang mayoritasnya belum sejahtera, justru gemar menampilkan kemewahan? Jawabannya kompleks. Salah satunya: rasa rendah diri yang dipoles jadi ilusi tinggi diri. Kita tidak pernah sungguh-sungguh mendidik rakyat untuk mencintai hidup apa adanya. Sejak kecil diajarkan membandingkan, bukan bersyukur. Diajarkan meniru, bukan berpikir kritis. Sekolah mencetak gelar, bukan karakter. Maka saat dewasa, banyak yang rela miskin sungguhan asalkan kaya dalam tampilan.
Budaya malu pun bergeser. Dahulu orang malu jika tidak bisa menafkahi keluarga. Kini yang bikin malu adalah jika tidak bisa mengikuti tren. Dulu malu jika tak bekerja. Kini, yang penting terlihat sukses, tak peduli utangnya berlapis. Kita hidup dalam masyarakat yang lebih takut dianggap miskin daripada benar-benar miskin.
Fenomena ini harus digugat. Negara tidak boleh diam. Pemerintah harus menghentikan normalisasi gaya hidup konsumtif yang menyesatkan. Pendidikan publik harus mengangkat kembali nilai hidup sederhana, kerja keras, dan tanggung jawab. Media harus berhenti merayakan kemewahan tanpa konteks. Dan masyarakat, harus belajar kembali: bahwa nilai manusia tidak diukur dari apa yang dipakai, tapi dari apa yang diberi.
Indonesia bukan hanya sedang miskin secara ekonomi, tapi juga secara mentalitas. Jika tidak segera disadarkan, kita akan menjadi bangsa besar yang sibuk mencitrakan diri, tapi gagal menyejahterakan hidup. Maka saatnya berhenti flexing. Saatnya kembali ke realitas. (Editor)