Oleh Methodius Kossay
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti
PENDIDIKAN merupakan salah satu indikator prioritas dalam pembangunan manusia selain kesehatan dan ekonomi di tanah Papua. Hal ini juga termaktub dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (selanjutnya UU Otsus Papua).
Pada Bab XVI Pasal 56 ayat 1 UU Otsus Papua terkait pendidikan dan kebudayaan mengamanatkan, Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Anggaran penyelenggaraan pendidikan di kabupaten/kota di Papua bersumber dari dana otonomi khusus yakni 30 persen untuk belanja pendidikan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 Ayat (3) huruf E (2) Butir (a) UU Otsus Papua.
Hemat penulis, penggunaan alokasi dana 30 persen untuk belanja pendidikan akan berpengaruh terhadap rencana pemerintah dalam pemekaran provinsi baru di Papua. Dari segi alokasi anggaran tentu akan berdampak dalam penyelenggaraan pendidikan di Papua. Maka diperlukan kajian empris dan ilmiah serta kebijakan yang kompherensif dan holistik dalam mengalokasikan anggaran pendidikan.
Alokasi dana
Dalam hal penggunaan alokasi dana tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua mendesak mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Provinsi Papua sebagai amanat dari UU Otsus Papua. Dana pendidikan yang berasal dari 30 persen dari dana otsus Papua yang diberikan kepada kebupaten/kota tersebut, dialokasikan untuk dukungan terhadap program pendidikan mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga dukungan untuk pendidikan tinggi (PT) dalam rangka pemerataan akses dan mutu pendidikan di seluruh kabupaten/kota di Provnsi Papua.
Selain itu, juga dalam rangka untuk menjamin terpenuhinya hak dasar orang asli Papua (OAP) serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berkiblat pada pembukaan UUD 1945. Walaupun dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU Otsus Papua dan turunannya. Sehingga perbaikan kualitas pelayanan pendidikan, baik sarana, prasarana maupun tenaga pendidik belum berjalan opimal.
IPM Papua
Indes Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua pada tahun 2021 mencapai 60,62. Jika dibandingkan dengan IPM pada tahun 2020 mencapai 60,44. Artinya mengalami peningkatan sebesar 0,3 persen pada tahun 2021. Meningkatnya pertumbuhan IPM Papua pada tahun 2021, dipengaruhi oleh naiknya beberapa komponen penyusun yang menjadi indikator pertumbuhan IPM di Provinsi Papua. Walaupun IPM pada tahun 2020 dipengaruhi oleh pendemi Covid-19 yang nyaris melemahkan berbagai sendi kehidupan bernegara.
Dalam bacaan penulis IPM di Provinsi Papua akan berdampak secara signifikan, ketika ada pemekaran provinsi baru di tanah Papua. Pertanyaanya selanjutnya adalah IPM Papua yang menjadi indikator pertumbuhan dan pembangunan selama ini berjalan mengalami penaikan atau sebaliknya? Pertanyaan ini menarik karena hal tersebut tentu tidak terlepas dari beberapa wilayah pemekaran provinsi baru di Papua yang masuk dalam daerah tertinggal.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal, Provinsi Papua menyumbang terbesar daerah tertinggal yakni 22 kabupaten/kota di Indonesia yang disebutkan di atas. Beberapa kabupaten di antaranya adalah kabupaten induk dan sudah ditetapkan sebagai ibu kota provinsi baru.
Pasal 2 ayat 1 Perpres Nomor 63 tahun 2020 menyebutkan, suatu daerah ditetapkan sebagai berdasarkan kriteria (i) perekonomian masyarakat, (ii) sumber daya manusia, (iii) sarana dan prasarana, (iv) kemampuan keuangan daerah, (v) aksesibilitas, dan (vi) karakteristik daerah.
Warna pendidikan
Degradasi pendidikan pasca pemekaran provinsi baru di Papua tidak bisa terhindarkan. Melihat dinamika pendidikan di tanah Papua sejak diberlakukannnya UU Otsus Papua, penyelenggaraan pendidikan yang berjalan selama ini di Papua dan Papua Barat bisa menjadi catatan dan evaluasi untuk bisa diterapkan pada provinsi pemekaran baru terutama dari segi regulasi dan teknisnya.
Dengan demikian, tidak terjadi tumpang tindih regulasi dan teknis penyelenggaraan pendidikan. Kompleksitas probem di tanah Papua mewarnai dinamika pendidikan di povinsi paling timur Indonesia itu. Penyelenggaraan pendidikan di provinsi baru di tanah Papua akan mengalami metamofosa (perubahan) dan menjadi tantangan serius di depan mata bagi seluruh pemangku kepentingan, stakeholders, terkhusus dunia pendidikan.
Dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat menjadi prototype dalam penyelenggaran pendidikan di tanah Papua. Terlepas dari berbagai isu dinamika pendidikan yang berkembang dan menghantui di pikiran masyarakat dan pemerintah, diperlukan sebuah desain besar (grand design) pendidikan yang mampu menjamin harkat dan martabat orang asli Papua berbasis pada kewilayahan adat.
Mengakomodir eksistensi hak-hak orang asli Papua dalam bidang pendidikan, diikuti aspek tranparansi, efisiensi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan dan penggunaan alokasi dana Otsus Papua yang tepat sasaran menjadi kerinduan kolektif semua stakeholders di tanah Papua. Tanpa itu, gerak langkah pendidikan akan melewati jalan terjal berliku dan melelahkan.