Oleh Paskalis Kossay
Politisi senior Papua Pegunungan
SEORANG penulis putra Baliem (Naiwerek) di Wamena, Jayawijaya pada Januari 2025 menulis sebuah artikel opini berjudul Tentang Pelanggaran Hukum dalam Penggabungan Suara Pasangan Calon Kepala Daerah di Kabupaten Jayawijaya. Opini tersebut menyebar di sejumlah jejaring media sosial seperti WhatsApp dan lain-lain.
Isu penggabungan suara tersebut langsung menuduh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Jayawijaya nomor urut 2 Athenius Murip dan Ronny Elopere. Tuduhan Nai Werek adalah dugaan penggabungan suara paslon Bupati dan Wakil Bupati Jayawijaya nomor urut 1 Antonius Wetipo dan Dekim Karoba serta dan paslon nomor urut 3 Esau Wetipo dan Kornelis Gombo ke paslon Murip dan Elopere. Tuduhan Naiwerek tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip demokrasi dan integritas pemilihan.
Sepintas, Naiwerek sebagai penulis tidak mampu menjelaskan secara gamblang tempat pemungutan suara (TPS) mana dan atau distrik mana dilakukan penggabungan suara. Naiwerek juga tidak mampu merinci total perolehan suara masing-masing paslon setelah dilakukan penggabungan suara.
Dengan demikian Naiwerek hanya berasumsi tanpa basis data dan fakta yang valid dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Dari sini bisa dipastikan bahwa Naiwerek selaku penulis sudah gagal paham, mengarang cerita memperkaya alibi yang kosong.
Naiwerek juga menyoroti masalah sistem noken berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 47-81/PHPU-A-VII/2009 yang menyatakan sistem noken sebagai mekanisme yang sah dalam Pemilu di Papua, tetapi pelaksanaannya harus tetap tunduk pada prinsip demokrasi dan dan aturan hukum yang berlaku.
Hemat saya, Naiwerek tidak paham mekanisme Pemilu melalui sistem noken. Pemilihan sistem noken adalah kesepakatan bersama pemilih dalam masyarakat adat sebagai bentuk kearifan lokal budaya masyarakat adat, bukan mengikuti aturan hukum yang berlaku seperti asumsi kosong Naiwerek.
Sistem noken adalah salah satu pengakuan negara atas hak-hak istimewa atau hak khusus bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu di suatu daerah yang dijamin oleh Pasal 18B UUD 1945. Oleh karena berbentuk hak istimewa, dalam prakteknya bisa saja dapat dilaksanakan di tingkat TPS, PPS maupun PPD, tergantung kesepakatan masyarakat hukum adat tertentu dalam konteks Papua. Putusan MK bersifat final dan mengikat, maka mekanisme pelaksanaan pemilihan sistem noken di tingkat manapun tetap sah sebagai sebuah produk Pemilu.
Di sisi lain Naiwerek panjang lebar mengulas tentang prinsip demokrasi dan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil merujuk Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Seolah-olah asumsi Naiwerek, Pilkada di Jayawijaya tidak demokratis dan luber serta jurdil.
Padahal, fakta bahwa Pilkada tahun 2024 ini lebih aman, terkendali memenuhi prinsip demokrasi dan asas luber serta jurdil, walaupun secara umum ada tekanan dan intimidasi secara terstruktur, sistematis dan masif dari kepala distrik dan kepala kampung kepada penyelenggara tingkat bawah, KPPS, PPS, dan PPD untuk mengalihkan suara kepada paslon nomor 4 John Richard Banua dan Marthin Yogobi alias John-Marthin (ada banyak kasus hampir merata 40 distrik).
Naiwerek juga mengklaim sepihak tanpa bukti yang valid dengan menyatakan bahwa penggabungan suara pleno tingkat distrik dan pleno kabupaten merupakan bentuk manipulasi hasil pemilihan, pelanggaran terhadap putusan MK Nomor 47-81/PHPU-A-VII/2009. Lagi-lagi dalam konteks ini, Naiwerek gagal paham landasan filosofis, sosiologis dan yuridis dari putusan MK tersebut di atas.
Naiwerek hanya berasumsi kosong secara yuridis dan politis kalau sistem noken adalah sekadar kepentingan politik tetapi tidak memahami substansi nilai dari aspek filosofis dan sosiologis yang menyatu dalam sistem hukum adat. Maka kesepakatan sistem noken kapan dan di tingkat mana saja bisa dilakukan tergantung sikon dan kebutuhan masyarakat hukum adat suatu wilayah.
Dengan demikian maka tidak diragukan apapun paslon nomor urut 2 dirugikan atau dikenakan sanksi ketika penggabungan suara seperti yang diasumsikan Naiwerek. Paslon nomor urut 2 sama sekali tidak tahu menahu dengan isu penggabungan suara yang digaungkan oleh paslon nomor urut 4 dan antek-anteknya setelah merasa kalah secara tidak terhormat, tidak sebanding dengan sumber daya yang digerakan hingga mencapai ratusan miliar rupiah.
Inilah pemilihan yang demokratis dan transparan. Hasilnya, paslon nomor urut 2 menang mutlak langsung dari suara lapangan. Namun sayangnya, digugat oleh paslon nomor urut 4 dengan dalil asumsi kosong: ada indikasi penggabungan suara dari paslon nomor urut 1 dan 3 mengalir ke paslon nomor urut 2.
Isu penggabungan suara sebenarnya sengaja digaungkan sebagai dalil pembenaran memperkuat gugatan ke MK. Boleh juga dikatakan, alasan dicari-cari sebagai isu panas yang bergengsi untuk menarik perhatian publik dan hakim di MK. Hal ini sangat mudah dibaca dari publikasi secara masif di berbagai media massa nasional seolah-olah masalah perselisihan hanya Jayawijaya.
Hal yang sama penulisan opini tentang penggabungan suara ini pun bagian sistemik publikasi isu penggabungan suara yang sebenarnya dalil kosong tanpa berbasis data dan fakta akurat serta valid, tidak dapat dipertanggung jawabkan secara hukum maupun politik.