SERANGAN Israel ke Iran pada 13 Juni 2025 menandai babak baru dalam eskalasi konflik di Timur Tengah yang semakin berbahaya. Lebih dari 100 target strategis Iran digempur, termasuk fasilitas nuklir di Natanz dan Esfahan. Serangan itu menewaskan sedikitnya 78 orang, termasuk jenderal tinggi dan ilmuwan nuklir, serta melukai lebih dari 300 lainnya. Tak lama berselang, Iran membalas dengan meluncurkan lebih dari 100 drone dan rudal ke wilayah Israel, memicu alarm serangan udara di Tel Aviv dan Yerusalem.
Dunia menahan napas. Apakah ini awal dari Perang Dunia Ketiga?
Ketegangan Iran-Israel memang bukan hal baru, namun skala dan intensitas serangan kali ini belum pernah terjadi sebelumnya. Serangan saling balas ini mengirimkan sinyal yang mengganggu tidak hanya ke kawasan, tetapi juga ke dunia. Harga minyak melonjak, rute penerbangan dialihkan, dan pasar keuangan global terguncang.
Pertanyaannya kini bukan hanya siapa menang dan siapa kalah, melainkan apakah dunia siap menghadapi akibat dari konflik yang dapat meluas. Ada tiga faktor yang membuat konflik ini berpotensi menjadi pemicu perang global.
Pertama, keterlibatan aktor besar. Amerika Serikat secara terbuka membantu Israel menangkis serangan Iran. Jika ada korban dari pihak AS atau fasilitas militer mereka diserang, tanggapan Washington bisa langsung dan keras. Sebaliknya, Rusia dan Cina, yang menjalin hubungan strategis dengan Iran, bisa terseret dalam pertarungan pengaruh global.
Kedua, efek domino dari kelompok proksi. Iran punya sekutu di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman, yang bisa membuka front tambahan terhadap Israel dan sekutunya. Israel pun memiliki kekuatan responsif di kawasan. Jika Hizbullah atau milisi Houthi ikut terlibat, skenario peperangan regional tak bisa dihindari.
Ketiga, risiko salah kalkulasi. Sejarah mengajarkan bahwa perang besar sering kali dimulai dari kesalahan kecil yang tidak terkendali. Dunia pernah menyaksikan bagaimana pembunuhan di Sarajevo memicu Perang Dunia I. Di era nuklir dan teknologi drone, kesalahan satu komandan atau interpretasi salah terhadap radar bisa menghancurkan stabilitas global dalam sekejap.
Namun masih ada harapan. Kekuatan dunia memiliki kepentingan besar untuk menahan eskalasi ini. Gencatan senjata, negosiasi jalur diplomatik, dan peran aktif PBB serta negara-negara penengah harus segera digerakkan. Dunia tidak boleh menyerahkan masa depannya pada bom dan rudal.
Editorial ini menyerukan agar Indonesia dan negara-negara ASEAN bersikap proaktif dalam diplomasi damai. Dunia tidak bisa hanya menjadi penonton saat api perang mulai menyala. Jika tidak dihentikan sekarang, konflik ini bukan tidak mungkin menjelma menjadi Perang Dunia Ketiga—bukan karena kekuatan besar ingin berperang, tetapi karena dunia gagal mencegahnya. (Editor)