Menjadikan Literasi Sebagai Kebutuhan - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Menjadikan Literasi Sebagai Kebutuhan

Yosef Amasuba, Kepala SMPN 2 Nubatukan, Lembata NTT

Loading

Oleh Yosef Amasuba

Kepala SMPN 2 Nubatukan, Lembata NTT

BADAN Dunia Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan  Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) menjelaskan term literasi sebagai berikut. Literasi adalah kemampuan menggunakan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung sesuai konteks, yang diperoleh dan dikembangkan melalui proses pembelajaran dan penerapan di sekolah, keluarga, masyarakat serta situasi lainnya yang relevan untuk remaja dan orang dewasa.

Istilah literasi sudah dicanangkan Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto tahun 1990–an dan sejak itu istilah literasi terus didengungkan hingga ke seluruh pelosok nusantara. Sudah jadi rahasia umum bila ada kesungguhan menumbuhkan minat dan budaya baca dalam komunitas masyarakat ada banyak syarat yang perlu dipenuhi. Paling kurang ada yang dapat dikemukakan. Pertama, mengembangkan kebiasaan membaca sejak usia kanak-kanak, dan menyediakan bahan bacaan yang cukup.

Kedua, memotivasi anak untuk membaca sambil diberikan teladan oleh orang tua dan guru. Selain itu mendampingi anak ketika membaca, membacakan mereka cerita atau mendengarkan ketika mereka membaca. Anak-anak juga dapat ditanyakan isi dari buku yang dibaca atau memberikan mereka tugas membaca untuk mengembangkan ketrampilannya.

Ketiga, anak-anak juga diberikan kesempatan membaca sumbers-sumber bacaan ringan, menasehati mereka menghargai orang yang sedang membaca. Dalam komunitas keluarga, orangtua perlu mengapresiasi anak-anak dengan membelikan buku sebagai hadia istimewa bagi mereka. Orangtua juga perlu membawa anggota keluarga jalan-jalan ke toko buku. Bila memungkinkan anak-anak didaftarkan sebagai anggota perpustakaan terdekat.

Minat membaca

Gerakan literasi yang tengah booming di Indonesia merupakan pertanda baik bagi masa depan kualitas anak negeri di berbagai pelosok tanah Air. Gerakan ini tak sekadar digaungkan lembaga pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Berbagai pihak juga saat ini tak henti-hentinya menggelorakan semangat literasi dengan menghadirkan komunitas-komunitas kecil literasi berupa perpustakaan atau taman baca hingga di kampung-kampung.

Tujuannya sangat mulia yaitu mendongkrak minat dan menumbuhkan budaya membaca. Pemerintah dengan berbagai perpustakaan daerah hingga perpustakaan keliling berupaya meningkatkan melek huruf masyarakat dan menyediakan sumber ilmu pengetahuan bagi masyarakat. Sejumlah pihak giat membuka taman baca guna mendongkrak budaya membaca di tengah masyarakat. Namun, pertanyaan retoris, mengapa membaca belum jadi budaya di sebagian masyarakat di tengah kemajuan dan kemudahan teknologi?

Warisan Soeharto

Salah satu warisan berharga yang tentu tak akan pernah abai dalam memori kolektif masyarakat Indonesia yakni pencanangan Bulan Buku Nasional oleh Soeharto bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 1995 di Pontianak, Kalimatan Barat. Pencanangan Bulan Buku Nasional merupakan momentum berharga bagi masyarakat dan para pihak (stakeholders) untuk bergerak menuju upaya menciptakan gemar membaca sebagai sebuah gerakan nasional.

Mengapa hal itu penting? Satu yang pasti ialah buku dan sumber bacaan lainnya semakin penting perannya dalam kehidupan masyarakat di mulai dari perkotaan hingga pedesaan sebagaimana juga dialami oleh masyarakat di negara-negara maju (Suara Karya, 2 /5 1995). Buku menjadi sumber informasi utama dan guru yang dapat hadir kapan saja bila diperlukan.

Namun, lebih dari itu juga menjadi pemahaman kolektif yakni usaha mencerdaskan kehidupan bangsa akan semakin tergantung pada prakarsa masyarakat sendiri untuk belajar membaca. Minat membaca ditumbuhkan jika masyarakat mempunyai ketrampilan membaca sebagai prasyarat awal. Itulah sebabnya kampanye minat membaca sama pentingnya dengan meletakkan ketrampilan dasar dalam membaca.

Karena itu, masing-masing daerah baik provinsi maupun kabupaten berlomba-lomba menjadikan literasi gerakan bersama seluruh elemen. Baik pemerintah, swasta, dan masyarakat sejalan dalam satu langkah bersama. Jika para pemimpin di setiap level menjadikan literasi sebagai gerakan kolektif maka mau tidak mau dilakukan secara masif, fokus, dan berkesinambungan. Lierasi itu tak sekadar wacana, omong-omong tetapi mewujud dalam praksis hidup bermasyarakat. Daerah tentu tak sudi tenggelam dalam wacana utopis tetap mewujud dalam tindakan praksis.

Profesor Emeritus Indiana University, Bloomington, Amerika Serikat Roger C Farr mengemukakan, jantung pendidikan adalah membaca.  Alpa membaca maka senjakala pendidikan segera tiba. Sebuah bangsa yang ingin berkembang perlu bahkan harus mewajibkan warganya menggelorakan spirit membaca sebagai kebiasaan atau habitus baru.

Gerakan litersi ini juga digelorakan dan diimplementasikan tak sebatas lingkup pendidikan namun juga menukik hingga jantung komunitas masyarakat dan keluarga. Tak berlebihan dalam konteksi Indonesia, sejak 2015 Kemendikbud Republik Indonesia mencanangkan gerakan literasi. Literasi (di)jadi)kan kebutuhan.

Minim akses

Secara faktual minat baca masyarakat khususnya pelajar dan mahasiswa di Indonesia Indonesia hingga saat ini masih berada pada urutan nomor buntut dibanding negara-negara lain. Membaca sebagai salah satu kemampuan literasi dasar belum banyak diminati dan dibutuhkan para pelajar dan mahasiswa. Aktivitas membaca belum menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk masyarakat di daerah dengan akses sumber baca masih menjadi ganjalan. Namun, menghadapi kondisi itu, diperlukan strategi para pemimpin daerah melalui dinas teknis yang menangani urusan membaca seperti pendidikan dan perpustakaan.

Hingga kini, tak sedikit orang tua memandang bahwa membaca sebaiknya diberikan ketika seorang anak mulai memasuki usia sekolah dasar. Anggapan tersebut mengandaikan mengajar membaca adalah tugas dan kewajiban guru semata. Anggapan itu mungkin muncul karena adanya sebuah teori kuno para ahli tentang bahaya mengajar membaca pada usia.

Secara teoritis, seorang anak baru mulai siap belajar ketika memasuki usia 6 hingga 6,5 tahun. Namun, dalam dekade selanjutnya, sebuah riset membuktikan bahwa teori kuno tersebut masih mengandung kelemahan. Konsep “siap belajar atau membaca” secara sempit menyebabkan tindakan-tindakan keliru dalam pendidikan anak.

Tahun 2016, hasil riset Unesco menunjukkan terhadap 61 negara di dunia dan Indonesia tergolong sangat rendah. Hasil riset yang tertuang dalam The World’s Most Literate Nations menunjukkan, Indonesia berada di peringkat ke-60, hanya satu tingkat di atas Botswana. Penyebab rendahnya minat dan kebiasaan membaca itu antara lain kurangnya akses, terutama daerah terpencil. Hal itu merupakan salah satu yang terungkap dari Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) Kemendikbud.

Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud, Lukman Solihin, mengatakan ada empat dimensi menjadi pokok bahasan dalam indeks tersebut, yaitu dimensi kecakapan, akses, alternatif dan budaya. Dari empat dimensi indeks literasi, kecakapan biasa dilihat dari indikatornya berupa bebas buta aksara dan rata-rata lama sekolah. Sedangkan dimensi akses, terdiri dari perpustakaan daerah, perpustakan umum, perpustakaan komunitas, dan perpustakaan sekolah.

Kemudian, untuk dimensi alternatif ini selain yang konvensional, yaitu penggunaan internet, membaca daring, dan media online. Adapun dimensi budaya dimaknai sebagai bagian dari kebiasaan membaca. Misalnya meminjam buku di perpustakaan, memanfaatkan taman bacaan, serta membaca koran dan buku.

Dari empat hasil survei diketahui dimensi akses adalah yang paling rendah, yaitu 23, 09 persen. Adapun dimensi kecakapan 75, 92 persen, dimensi alternatif 40, 49 persen, dan dimensi budaya 28, 50 persen. Artinya ada korelasi antara akses dengan kebiasaan. Jika tidak ada akses bagaimana mau membaca? Para penggiat literasi melihat bahwa minat baca cukup tinggi, tapi potensi yang belum terwujud adalah perilaku, kebiasaan, dan budaya.

Pada kondisi ini, gerakan literasi sesungguhnya hadir sebagai solusi. Ruang dan waktu anak sedikitnya diarahkan untuk mengenal buku, belajar dari buku, dan dapat mengikuti apa yang ia baca, pelajari, dan cerna dalam buku. Mari, budayakan membaca dan menulis, khususnya di kalangan guru dan lingkungan terdekat sehingga kebijakan apapun yang akan digulirkan tidak meruntuhkan semangat guru.  Salam Literasi!

Tinggalkan Komentar Anda :