Oleh Ansel Deri
Penulis buku ‘Jejak dari Rantau’ dan bekas loper koran
TERM “literasi” terkesan booming tatkala teknologi informasi menemui ruangnya. Literasi seolah menjadi barang baru yang menyedot perhatian pemerintah, termasuk masyarakat. Pemerintah care dengan literasi kemudian publik didorong secara massif agar aktivitas literasi menjadi gerakan kolektif untuk mencerdaskan publik dengan sokongan semangat dan anggaran besar.
Masyarakat luas juga terjun dalam eforia lalu memompa tenaga, waktu bahkan uang guna menjadikan literasi sebagai gerakan baik perorangan maupun kolektif. Lalu, term “membaca dan menulis” yang sudah dikenal masyarakat, seolah tenggelam dalam eforia istilah baru: literasi. Padahal, sesungguhnya term “literasi”, “membaca dan menulis” memiliki content yang sama.
Secara etimologi (ilmu sejarah kata), literasi berasal kata bahasa Latin, literatus, yang memiliki arti orang yang belajar. Di dalam belajar itu terkandung “membaca dan menulis”, sesuatu yang sudah lama menyertai sejarah perjalanan peradaban umat manusia. Sedangkan merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) literasi didefinisikan sebagai kemampuan menulis dan membaca.
Istilah ini (literasi) juga diuraikan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) sebagai kemampuan mengidentifikasi, memahami, mengartikan, menciptakan, mengomunikasikan, menghitung, menggunakan materi tercetak dan tertulis yang berkaitan dengan berbagai konteks. Kesimpulannya, literasi erat kaitannya dengan aktvititas membaca dan menulis. Bahkan istilah literasi juga merambah bidang lain seperti keuangan dan lain sebagainya.
Tantangan bagi mahasiswa
Tahun 1990, istilah literasi diperkenalkan Presiden Soeharto. Istilah literasi lalu digaungkan dari kota hingga ke kampung-kampung di seluruh pelosok tanah Air. Membaca dan menulis menjadi sesuatu yang mendesak sekaligus gerakan bersama di tengah masyarakat, termasuk institusi pendidikan hingga perorangan dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Meski demikian, praktik literasi jauh sebelumnya juga sudah menyertai sejarah perjalanan manusia.
Pelajar dan mahasiswa yang merupakan calon pemimpin masa depan dan agen perubahan tak alpa menjadi kelompok sasar gerakan (meski semangat literasi sesungguhnya sudah tertanam dalam hati). Sumber baca dan aneka sumber lainnya menjadi buruan. Membaca menjadi kebutuhan karena dari sana akan mudah menemukan hal baru. Kemudian dituangkan kembali sebagai sebuah pandangan baru melalui bahasa tulis.
Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, tak ada pilihan lain bagi masyarakat, termasuk berbagai elemen seperti mahasiswa menjadikan kebiasaan, tradisi membaca dan menulis (literasi) sebagai kebutuhan. Tetapi muncul pertanyaan, mengapa di kalangan mahasiswa belum banyak mewujudkan kebiasaan menulis? Ini pertanyaan reflektif.
Jawaban atas pertanyaan di atas hemat saya dapat dijembatani dengan hal-hal kecil, biasa-biasa saja sebelum melangkah lebih jauh semisal riset untuk meraih gelar akademik. Hal-hal kecil itu bisa dimulai mahasiswa mahasiswa Papua dan mahasiswa umumnya.
Pertama, menumbuhkan dan membiasakan diri membaca berbagai sumber baca atau bahan bacaan yang saat ini sangat mudah diperoleh atau diakses. Para penulis hebat hingga penulis pemula tampil dengan karya-karya berkualitas menjadi ruang bagi siapa saja memperolehnya.
Kedua, setelah membaca, biasakan diri menulis pandangan atau pendapat pribadi atas sebuah karya penulis lain dengan bahasa sederhana berpedoman pada pedoman umum ejaan yang disempurnakan dan kaidah kebahasaan (linguistik). Dalam kerja jurnalistik, hal ini sangat penting karena dari sana kualitas sesesorang (penulis) perlahan terlihat dan terasah sekaligus mengasyikkan saat dikerjakan.
Ketiga, ketrampilan membaca dan menulis juga bisa dimulai dari diskusi-diskusi melalui komunitas-komunitas kecil untuk saling mengisi dan memperkaya satu sama lain. Dari komunitas kecil ini, literasi (menulis dan membaca) berpeluang menjadi gerakan bersama, saling mengisi atau berbagi informasi sebelum merambah ke komunitas yang lebih luas.
Mahasiswa Papua perlu gerakan literasi dan menyata di tingkat praksis. Mengapa perlu? Papua ibarat selembar kertas putih raksasa dengan aneka potensi yang dimiliki dan perlu diwartakan ke publik. Di sini, mahasiswa Papua ditantang.
Pertanyaan lanjutan, apakah aneka kekayaan sumber daya alam, budaya, dan lain-lain itu sekadar menjadi potensi bumi Cendrawasih dalam senyap atau perlu generasinya seperti mahasiswa mengabarkan ke dunia melalui menulis? Mari, rekan-rekan mahasiswa asal Papua, kita memulai menulis dari hal-hal kecil yang mencerahkan sebagai persembahan terindah bagi publik. Satu hal pasti —kata orang bijak— menulis adalah merawat peradaban umat manusia. Tuhan berkati. Wa wa wa…….
Materi ringkas pengantar diskusi bersama mahasiswa Ipmado Joglo di Yogyakarta