Oleh John Boli Jawang
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung
KEBAHAGIAAN merupakan suatu situasi yang menjadi dambaan setiap orang. Kebahagiaan dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang seimbang antara pikiran dan perasaan yang ditandai dengan kecukupan. Setiap aktivitas hidup dan kegiatan yang dilakukan dalam hidup, semua bermuara pada satu tujuan yakni kebahagiaan itu sendiri.
Semua orang berlomba-lomba untuk bisa mencapai kebahagiaan. Semua akan sepakat bila tujuan akhir dari apa yang didambakan adalah kebahagiaan itu sendiri. Namun, di sini dapat muncul sebuah pertanyaan kebahagiaan itu sendiri: kebahagiaan seperti apa yang didambakan?
Zaman semakin kompleks dengan berbagai perubahan, termasuk pemikiran bukan menjadi tidak mungkin bahwa makna kebahagiaan pun dapat dimaknai dengan cara dan bahkan dengan situasi yang berbeda. Setiap orang akan mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kebahagiaan sejati.
Ada yang berpendapat, kesenangan termasuk kebahagiaan. Ada yang lain berpendapat bahwa harta, kekayaan, termasuk uang menjadi tolok ukur untuk sebuah kebahagiaan. Namun apakah ini benar adanya bahwa harta, kekayaan, dan uang menjadi ukuran sebuah kebahagiaan?
Kenyataan menunjukkan, orang yang hidup berkecukupan bahkan yang berlimpah harta pun masih tidak merasakan kebahagiaan. Hal ini mau menunjukkan bahwa kebahagian sejati tidak sekadar diukur dari jumlah kekayaan. Namun, lebih dari itu. Kebahagiaan mempunyai makna yang lebih dari hanya sekadar tentang apa yang dimiliki.
Kebahagiaan adalah hal yang lumrah. Ia selalu dibicarakan dalam hidup manusia. Namun, kompleksitas telah membuat makna kebahagiaan menjadi kabur. Dengan begitu, kebahagiaan selalu dilihat dari seberapa banyak harta, kekayaan, dan uang.
Tak jarang bila pandangan demikian memunculkan ketidakpuasan dalam diri manusia. Hal ini berakibat pada sikap yang selalu berhasrat untuk mencari dan menemukan apa yang tidak dipunyai, bahkan akan munculnya suatu persaingan.
Makna kebahagiaan
Berbicara tentang kebahagiaan tentu menjadi suatu permenungan panjang dan kerap memunculkan pertanyaan baru. Bagaimana pun juga makna kebahagian hanya timbul dari refleksi setiap orang berhadapan dengan situasi yang membuatnya menjadi bahagia.
Di sini muncul pertentangan bahkan pergolakan ketika dihadapkan pada pertanyaan mengenai makna kebahagiaan. Di tengah kehidupan yang modern dengan berbagai kemajuan dan tuntutan, mungkin kebahagiaan hanya dilihat dari suatu kehidupan yang berkecukupan atau bahkan berkelimpahan dengan berbagai harta.
Meski demikian, situasi berkecukupan ini masih menjadi suatu tantangan yang kadang kurang disadari. Sehingga meskipun dalam situasi berkecukupan kadang kebahagiaan masih menjadi sebuah aspek yang dicari.
Penulis dan psikiater Amerika Richard Carlson (1961-2006) menegaskan, bahagia adalah hak setiap orang dengan berbagai macam strata dan status. Pendapa ini menarik untuk direnungkan bila berhadapan dengan situasi masa kini. Makna kebahagiaan akan dirasakan setiap orang, tergantung dari strata dan status yang ada padanya.
Hal ini tentu menimbulkan ambiguitas dalam memahami makna kebahagiaan, sehingga makna kebahagiaan dapat dimengerti dalam banyak situasi dan bukan merupakan pengertian tunggal. Setiap orang mempunyai refleksi dan memahami makna kebahagiaan secara pribadi tergantung dari situasi yang sedang dihadapi.
Terlepas dari apa yang dimiliki, tentunya setiap orang dengan caranya berbeda memahami makna kebahagiaan itu sendiri. Orang yang hidupnya sederhana, tentu mempunyai makna kebahagiaan tersendiri. Demikian juga bagi orang yang mungkin hidupnya berkecukupan.
Meskipun demikian, berbicara tentang kebahagian bukan sekadar terkait kecukupan atau juga kesederhanaan hidup. Makna kebahagiaan selalu terkait erat keseluruhan hidup.
Dengan demikian bukan menjadi tidak mungkin, makna kebahagiaan merupakan hal yang menjadi suatu permenungan yang tidak sekadar meliputi satu tetapi seluruh aspek kehidupan manusia.
Hal yang sama juga terjadi pada para pemikir bahkan para filsuf yang juga dengan berbeda-beda mendefinisikan makna kebahagiaan itu sendiri.
Filsuf legendaris, Plato, mengemukakan bahwa kebahagiaan terletak pada mengatur hasrat pada diri manusia. Ada juga filsuf lainnya, Aristoteles, yang memaknai kebahagian sebagai sesuatu yang sifatnya dirasionalkan dan melalui permenungan.
Tiga pendapat dari pemikiran yang berbeda ini, kiranya jelas memberikan suatu kejelasan bahwa makna kebahagian kadang tergantung dari situasi yang dialami dan juga dimaknai oleh setiap orang. Namun lebih dari itu, makna kebahagiaan kiranya tidak hanya dilihat sebagai sebatas sebuah pencapain atau bahkan kepemilikan yang cukup.
Kebahagiaan lebih menyangkut keseluruhan hidup yang mencakup segala aspek termasuk manusiawi agar autentisitas makna kebahagian dapat membawa suatu perubahan baru dalam kehidupan yang lebih baik dan membangun.
Tujuan tanpa akhir
Penyair Italia Giacomo Leopardi (1798-1837) dalam puisinya, Il sabato del villaggio mengungkapkan, kebahagiaan merupakan suatu keadaan yang selalu diusahakan terus-menerus.
Ungkapan ini mau menekankan bahwa, yang terpenting itu menemukan strategi untuk bagaimana mencapai kebahagiaan, bukan tentang mencapai kebahagiaan itu sendiri.
Dengan demikian, kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diusahakan secara kontinyu karena kebahagiaan sejati bukan terletak pada apa yang diperoleh tetapi pada proses itu sendiri.
Oleh karena itu, terlepas dari pencapaian atau kepemilikan bukalah menjadi jaminan dari makna kebahagiaan yang sejati. Makna sejati kebahagiaan adalah sebuah pencarian tanpa akhir dari sebuah kehidupan.
Hidup manusia adalah jalan untuk menemukan kebahagiaan itu sendiri. Demikian apa yang dikatakan Leopardi dapat dihubungkan dengan apa dikatakan Aristoteles tentang makna kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang sifatnya dirasionalkan dan melalui permenungan.
Artinya, merupakan sesuatu yang abstrak dan karena itu untuk mengatakannya diperlukan sebuah permenungan panjang. Tentu permenungan ini bukan berdasarkan pada pencapaian atau kepemilikan tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan yang akan membawa pada makan kebahagiaan yang lebih autentik.
Kebahagiaan yang sebenarnya mengindikasikan tidak adanya pencarian lagi. Oleh karena itu, bertolak dari dua pendapat yang berbeda yakin Giacomo dan Aristoteles, dapat dikatakan bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya adalah sebuah perjalan panjang dalam permenungan untuk bagaimana menemukan kebahagiaan itu.
Kebahagiaan sejati bukan tentang pencapaian ataupun kepemilikan, tetapi terletak pada pencarian itu sendiri. Karena pada dasarnya kebahagiaan sejati adalah sebuah perjalanan panjang dalam permenungan tentang keseluruhan hidup. Kebahagiaan sejati tidak terbatas pada hal-hal lahiriah karena makna kebahagiaan sejati adalah sebuah pencarian panjang yang selalu timbul dari kedalaman diri.
Berbicara tentang makna kebahagiaan hidup ini tentu merupakan sebuah permenungan panjangan tanpa akhir. Realitas menunjukkan, hal-hal lahiriah tidak mampu memberikan suatu kebahagiaan sejati.
Kenyataan juga menunjukkan, pencapaian atau kepemilikan tidak mampu menjamin dalam menemukan makna kebahagiaan sesungguhnya. Ada saat dimana ketika seseorang yang meskipun sudah hidup berkecukupan tetapi masih merasa kurang bahagia. Oleh karena itu makna kebahagiaan sejati tidak diukur dari apa yang ada, tetapi merupakan sebuah pencarian tanpa henti.