Oleh Dionesia Anthonny Oktemka
Mahasiswi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga asal Kabupaten Pegunungan Bintang
MASA remaja merupakan masa menyenangkan. Kaum remaja bukan sakadar bersentuhan dengan lingkungan sosial guna memberdayakan potensinya. Bahkan lebih dari itu remaja lalu menyesuaikan diri, belajar satu sama lain dan menimba pengalaman dari teman-teman dalam kelompok terbatas hingga komunal.
Dalam banyak hal perjumpaan dengan orang lain, remaja juga mulai mengasah kemampuan logika yang dimiliki melalui interaksi sosial. Dari sini, kesadaran lanjutan sebagai agen perubahan, agent of change juga menjadi kesadaran intrinsik. Mengapa ihwal remaja penting didiskusikan?
Pertanyaan ini tentu hal biasa tatkala remaja menjadi bagian terpenting dalam pembicaraan terkait perubahan sebuah komunitas lebih luas semisal daerah atau negara. Bahkan saat pembicaraan menyangkut tanggung jawab sosial (social responsibilty) dalam konteks lebih luas.
Namun, di saat bersamaan remaja menjadi komunitas paling rentan terhadap pengaruh budaya. Gaya hidup hedonisme, yang cenderung berkiblat pada kesenangan diri dibanding kebutuhan real berpotensi menyeret remaja masuk dalam jebakan atau kubangan kurang produktif yang membelit atau menyandera dirinya. Bila tak segera disadari, senjakala masa depan yang gemilang berpotensi menghampirinya.
Dewasa ini, bukan sesuatu rahasia bila melihat kaum remaja kerap menyalahgunakan peluang mengasah kemampuan diri dan potensi lainnya melalui pendidikan formal dan non formal. Bahkan di kota-kota besar fenomena remaja memperlihatkan sesuatu yang nyata.
Ada yang tegoda bahkan terlibat meneguk minuman keras (miras), menggunakan narkotiba dan obat-0bat berbahaya (narkoba), terlibat perjudian lalu lupa pada cita-cita awal merampungkan sekolah atau kuliah. Kerap mereka cenderung bergaya glamour tanpa menyadari realitas latar belakang kehidupan orangtua sebagai tulang punggung suksesnya remaja melanjutkan sekolah atau pendidikan hingga meraih mimpi.
Padahal, masa remaja menjadi peluang mereka mendulang sukses sebagai calon pemimpin masa depan di manapun mereka berada. Mereka (kaum remaja) kerap terjerembab dalam perilaku menyimpang seperti mengkonsumsi miras atau narkoba, misalnya, hal tersebut bukan karena keinginan dari dalam namun pengaruh kuat lingkungan sosial.
Petuah hidup
Mengapa remaja kerap terjebak masuk dalam gaya hidup kurang produktif atau menyimpang dari kultur lokal bahkan komunal sebuah komunitas sosial? Pertanyaan lanjutan ini menarik. Jawabannya, remaja tentu memiliki pola dan cara hidup beragam sesuai latar belakang kehidupannya. Realitas sosial menyajikan remaja selalu menjadi kelompok yang selalu tampil gaul, up to date dalam banyak aspek.
Namun, di saat bersamaan mereka lupa petuah hidup warisan orangtua bahkan leluhur di mana mereka berasal. Nilai-nilai hidup seperti adat-istiadat, sopan santun, disiplin, etika moral menghilang dalam diri remaja akibat serbuan gaya hidup serba modern. Petuah orangtua bahkan nilai-nilai budaya lokal menguntungkan bergeser dalam cara pandang bahkan gaya hidup. Perkembangan teknologi informasi yang menyerbu ruang sosial (social space) adalah realitas lain yang dihadapi kaum remaja.
Jaman now, remaja akan sangat mudah mengakrabi perangkat teknologi komunikasi seperti handphone, smartphone, dan lain-lain yang menyediakan perangkat lunak (software) untuk berkomunikasi sesama rekannya melalui Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram, Messenger, dan lain-lain. Jejaring maya menjadi kawan setia sehingga bila mereka (remaja) tak bersentuhan dengan perangkat teknologi tersebut terasa, ndeso, kurang gaul.
Namun, bila fungsi software itu tidak dimanfaatkan dengan baik ia ibarat pisau bermata dua. Karena itu, kemajuan teknologi dengan software yang tersedia menjadi peluang efektif mendeteksi peluang mengoptimalkan potensinya demi memajukan diri sebagai agent of change. Mengapa hal itu penting hemat penulis dapat dilihat dan dipahami lebih jauh.
Pertama, kemajuan teknologi informasi dengan aneka perangkat lunak merupakan realitas sosial yang tak mungkin dihindari. Remaja tentu perlu menempatkan diri sebagai kelompok cerdas dan hebat lalu memahami bahwa kemajuan teknologi informasi perlu dimanfaatkan secara positif untuk menambah ilmu pengetahuan dan pengalamannya.
Kedua, perlu ada pemahaman dalam diri remaja bahwa tidak semua perangkat teknologi memiliki wajah tunggal membawa kabaikan. Ada juga sisi kelam menyergap bila teknologi tersebut tak digunakan sesuai fungsi dan peruntukannya. Artinya, tidak semua perangkat teknologi menyediakan efek negatif. Ia berpotensi membawa petaka bila tak dimanfaatkan dengan positif pula demi menambah pengetahuan dan pengalaman baru.
Ketiga, ketersediaan perangkat teknologi informasi berpotensi membawa dampak buruk bagi remaja jika abai menggunakan dengan tepat. Belum lagi gaya hidup remaja yang kebablasan dan alpa merawat nilai-nilai sosial budaya dari mana mereka datang.
Satu hal pasti bahwa budaya yang modern yang serba instan terus bergerak dan mengalami perkembangan pesat di setiap sisi dalam realitas kehidupan sosial kemasyarakatan. Namun, demikian kaum remaja diajak kembali menjaga dan merawat nilai-nilai budaya warisan leluhur di mana mereka berasal.
Dalam kehidupan masyarakat Pegunungan Bintang di mana penulis berasal, misalnya, masyarakat sangat taat pada budaya Okmekmin, warisan leluhur. Budaya ini sangat kuat dijaga masyarakat di tengah kemajuan informasi dan teknologi yang nyaris menyentuh semua aspek kehidupan.
Nilai-nilai budaya Okmekmin —dan tentu aneka kekayaan budaya khas masyarakat Indonesia lainnya— yang produktif juga menjadi peluang lain atau guru terbaik bagi remaja mengoptimalkan potensi diri di tengah masyarakat. Nilai-nilai budaya lokal yang positif tetap menjadi panduan bagi remaja menjemput masa depannya. Pendidikan adalah jalan suci yang mutlak diperlukan dan dilewati kaum remaja.