Di Balik Segel Malam
DI balik segel malam yang terpatri sunyi
Kubur itu diam, namun menggema abadi
Batu terguling bukan oleh tangan manusia
melainkan oleh kasih yang tak tunduk pada nisan
Jerit bumi telah reda sejak Jumat berdarah
tapi langit menahan naFasnya di Sabtu murung
Antara maut dan hidup
Ia berdiam
menjelajah lembah neraka dengan luka di tangan-Nya
Para murid menyulam duka dalam ruang terkunci
menganyam harapan di antara benang-benang takut
Maria menangis bukan hanya untuk kehilangan
tapi untuk janji yang menggantung di langit remang
Tak ada nyala lilin, hanya gelap mengaji waktu
sementara malaikat berjaga di luar jangkauan mata
Tuhan yang hidup kini terbaring dalam kematian
tapi bahkan maut pun gentar oleh keteduhan-Nya
Ia turun, bukan sebagai tawanan
melainkan Raja yang menyapa duka manusia
Kubur menjadi altar
tanah menjadi bait
dan keheningan berubah menjadi bahasa surgawi
Di dalam daging-Nya yang remuk, dunia terbungkus
dan oleh darah-Nya yang membisu, langit dicium
Sabtu ini bukan sekadar tunggu
tetapi rahim bagi fajar yang belum lahir
Tiada guntur, tiada gempa
hanya sunyi yang disulam dengan emas kekal
Sabtu Kudus: hari di mana Tuhan mendekap kematian
agar kita kelak tak gentar menutup mata
Dan ketika fajar mencium sisi batu yang terbuka
segala ratap menjadi mazmur
segala duka menjadi pujian
Karena dari segel malam, bangkit Sang Terang.
Saat Langit Menahan Nafas
LANGIT berhenti bernafas di tengah waktu yang beku
Sabtu menggantung seperti dupa tanpa nyala
Salib telah runtuh dalam gema kesakitan
namun kubur masih bisu, membungkus rahasia surgawi
Bumi mengulum duka dalam diamnya yang dalam
seakan menanti bisikan dari perut kekekalan
Tak ada doa, hanya detak jantung alam
yang pelan-pelan merapal kesedihan para malaikat
Ibu-ibu menabur rempah di tubuh sunyi
mata mereka sembahyang dalam air mata
Murid-murid bersembunyi di balik tirai takut
sementara Tuhan tidur di pelukan tanah
Di dalam batu yang tersegel, kasih sedang bertarung
bukan dengan paku
bukan dengan duri
tapi dengan keabadian yang mendekap kematian
seperti ibu yang menidurkan bayinya dalam tangis
Tak satu pun tahu bahwa hening ini mengandung cahaya
bahwa luka-Nya adalah gerbang pagi
Dalam gelap, janji tumbuh seperti benih yang retak
menanti ledakan terang dari rahim kekosongan
Langit pun menahan nafasnya
takut membangunkan harapan yang baru saja terjaga
Dalam senyap yang agung ini
Allah sedang menulis ulang hidup dengan darah-Nya sendiri
Dari Luka, Terbit Cahaya
PADA tubuh-Nya yang robek, fajar menyala
seperti matahari pertama yang mencium debu Eden
Duri tak lagi menjadi mahkota hina
melainkan takhta kasih yang mengoyak langit
Kebangkitan bukan dentang meriah
melainkan bisikan sunyi yang menggetarkan batu
Kubur bukan akhir
melainkan pintu rahasia
tempat cahaya lahir dari gelap paling dalam
Ia bangkit, bukan dengan gemuruh pasukan
melainkan dengan napas yang memulihkan dunia
Tangan yang tertembus kini terbuka
menyentuh luka manusia seperti embun menyapa luka bumi
Tak ada darah yang sia-sia di salib itu
setiap tetesnya adalah puisi keselamatan
Ia tidak kembali untuk membalas
tapi untuk membungkus dosa dengan pelukan abadi
Para perempuan datang dengan rempah dan tangis
tapi kembali dengan nyanyian yang belum pernah didengar
Malaikat tak berkhotbah hanya menunjuk sunyi:
“Dia tidak di sini, Dia telah bangkit.”
Dari luka, terbit cahaya—
bukan cahaya yang membakar
melainkan yang menyembuhkan mata yang pernah buta
dan mengajar hati cara baru mencintai:
dengan hidup yang bangkit setiap hari
Nabire, 19 April 2025
Eugene Mahendra Bala Duan lahir 18 Juni 1985 di Lewoleba, Lembata. Saat ini mengabdi sebagai guru di SMP YPPK Santo Antonius, Nabire, kota Provinsi Papua Tengah. Menulis opini di sejumlah media massa dan penikmat sastra.