Membasuh Jantung Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Membasuh Jantung Papua

Methodius Kossay. Sumber foto: berandanegeri.com

Loading

Oleh Methodius Kossay
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti

PAPUA adalah surga kecil yang jatuh ke bumi. Frasa itu merujuk syair lagu Aku Papua yang dipopulerkan Franky Sahilatua, legenda musik Indonesia. Keindahan dan kekayaan alam melimpah menjadi daya tarik bagi siapapun untuk datang dan menguasainya. Tak dipungkiri, daerah yang kaya akan sumber daya alam ini menjadi biang konflik berkepanjangan sampai dengan saat ini.

Di tanah Papua, PT Freeport Indonesia, perusahaan pertambangan yang berafiliasi dengan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, kurun waktu tahun 1936-1988 sudah melebarkan sayap usahanya di Bumi Cenderawasih. Bahkan sejak momentum penandatanganan Kontrak Karya Pertama (KK-I) pada 5 April 1957 oleh Menteri Pertambangan Republik Indonesia Slamet Bratamana yang berlaku untuk masa 30 tahun, Papua laksana gula yang dikerubuti semut.

Meski kaya sumber daya alam, kekerasan masih terjadi sporadis di beberapa distrik di sejumlah kabupaten. Resolusi konflik melalui berbagai kebijakan dari pemerintah belum memberikan dampak signifikan. Upaya penyelesaikan dengan berbagai model dan pendekatan seolah melewati jalan terjal berliku hingga buntu.

Papua saat ini adalah produk masa lalu. Tanah Papua juga segera menjadi produk masa depan. Kerinduan dan kerja keras seluruh warga negara terutama orang asli Papua menggapai Papua tanah damai, aman, adil, dan sejahtera utopis.

Kian rumit

Kini Papua seolah rumit. Ia kerap dilanda kekerasan yang jauh di luar pengetahuan publik. Kekerasan melalui aksi kontak senjata antara TNI berhadapan dengan kelompok-kelompok kekerasan masih terus terjadi. Isu pemekaran tanah Papua menjadi enam provinsi baru seolah menutup konflik kekerasan yang terjadi di tanah Papua.

Pemekaran akan menjadi problem baru di tanah Papua. Problem dimaksud sebagai berikut. Pertama, orang asli Papua semakin termarjinalisasi dalam pawai pembangunan. Kedua, keberadaan orang asli Papua terancam dan tersisih akibat penguasaan ruang dan lahan atau tanah ulayat masyarakat.

Ketiga, transmigrasi spontan dari luar daerah bakal tidak terbendung dan menguasai kantor-kantor pemerintah maupun swasta. Keempat, akan tercipta ketimpangan sosial yang masif di berbagai sektor di tanah Papua. Berbagai problem di atas memerlukan perangkat aturan atau regulasi untuk memberikan perlindungan, proteksi terhadap orang asli Papua dan hak-hak yang melekat.

Bila pertanyaan “bagaimana gambaran riil Papua saat ini” diarahkan kepada orang asli Papua, jawabannya dipastikan mirip. Papua dalam keadaan sakit. Sakit akibat didera aneka persoalan yang tak kunjung diobati. Persoalan dimaksud sebagai berikut. Pertama, tidak ada perlindungan, penghormatan, dan penghargaan atas harkat dan martabat manusia. Penyelesaian pelanggaran atas hak-hak asasi orang asli Papua jauh sebelumnya, belum pernah dituntaskan untuk memberikan kepastian hukum dan rasa adil bagi warga masyarakat tanah Papua.

Kedua, oknum elit politik Papua maupun luar Papua menjadi biang kerok pembangunan dalam meraup keuntungan diatas penderitaan rakyat Papua dengan berbagai motifnya. Ketiga, tidak ada spirit persatuan dan kesatuan antara orang asli Papua yang tinggal di daerah pegunungan dan daerah pantai sehingga rawan terjadi konflik.

Keempat, krisis figur pemimpin Papua yang bisa dipercaya dan mampu menyatukan Papua dalam pembangunan menuju Papua tanah damai, adil dan sejahtera. Kelima, degradasi moral dan karakter di antara orang Papua tidak terbendung di tengah era globalisasi yang kian pesat.

Keenam, mental ketergantungan dalam berbagai aspek di tanah Papua menjadi sifat kemanjaan yang tidak bisa dipungkiri. Ketujuh, banyak orang asli Papua meninggal dunia akibat minuman keras (miras). Dalam situasi genting dan sakit di tanah Papua, pembangunan terus digalakan, nampak sebagai pemaksaan kehendak dari pengambil kebijakan atau oknum elit politik.

Belum terobati

Kalau mau jujur, luka lama tanah Papua yang terjadi di masa lampau belum efektif mengobati luka batin masyarakat akibat kekerasan dan ketidakadilan yang dialami. Kini, muncul luka baru yang ikut menambah dan memperkeruh suasana konflik di tanah Papua. Luka baru dengan model pendekatan lama yang pernah dilakukan merupakan suatu keniscayaan.

Secara sistematis dan terstruktur adalah salah satu cara yang sama, dipakai oleh para elit politik yang berkepentingan di tanah Papua. Tindakannya nyata bahwa di balik kepentingannya adalah politik adu domba di atas penderitaan rakyat Papua oleh oknum elit.

Kekerasan menjadi hal yang lumrah ketika tidak ada solusi dan jalan buntu menjadi akhir dari kehidupan manusia di Tanah Papua. Sila kedua dalam Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menunjukkan bahwa nilai hidup yang dipegang oleh masyarakat Indonesia secara umum adalah kemanusiaan yang adil menurut hukum dan beradab sehingga seimbang dalam praktiknya.

Dalam konteks Papua, implementasi sila kedua Pancasila belum berkumandang seakan tidak terjadi apa-apa. Di mana kehadirannya adalah sebuah jawaban implementasi yang dinantikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila. Menjujung tinggi harkat dan martabat sebagai manusia adalah suatu keharusan yang mutlak.

Membasuh jantung Papua harus menyentuh akar persoalannya. Misalnya ketidakadilan, marginalisasi, pembunuhan, pemerkosaan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Selain itu tindakan perampasan kemerdekaan, kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar asas dan ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, penganiayaan, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.

Maka membasuh jantung Papua menjadi hal paling urgen saat ini. Pembangunan fisik penting namun jauh lebih penting ialah upaya memajukan sumber daya manusia sebagai subyek utama. Luka batin yang dialami oleh orang Papua di tanah Papua harus diobati dan dibasuh terlebih dahulu. Dengan berlandaskan nilai keutamaan hidup seperti cinta kasih, kebebasan, keadaban, keadilan dan kebenaran.

Indonesia sebagai negara hukum harus menempatkan hukum sebagai ultimum remidium, diimplementasikan untuk memberikan perlindungan, penegakan hukum, dan menemukan solusi terhadap konflik di tanah Papua. Saatnya kekerasan, militerisme, dan pelanggaran HAM yang telah berlangsung sejak integrasi Papua ke dalam NKRI harus dihentikan. Itu juga cara lain membasuh jantung Papua agar segar bugar dan sehat.

Tinggalkan Komentar Anda :