Membaca Enam Suku Pesisir dan Kepulauan Mencari Identitas Adat di Nabire - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Membaca Enam Suku Pesisir dan Kepulauan Mencari Identitas Adat di Nabire

Emanuel You, wartawan senior di Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Emanuel You
Wartawan Senior di Papua

KABUPATEN Nabire terletak di Teluk Cenderawasih, Papua. Kota Distrik Nabire yang merupakan kota Kabupaten Nabire sekaligus pusat pemerintahan, menjadi satu dari tujuh kota sentral di tanah Papua. Distrik Nabire merupakan akses utama keluar-masuk dari dan ke kabupaten-kabupaten lain di wilayah Papua Tengah seperti Dogiyai, Deiyai, Paniai, dan Intan Jaya.

Selain itu Nabire menjadi gerbang utama kedatangan penduduk non Papua mengingat kemudahan ketersediaan akses baik jalur udara, darat maupun laut. Tak berlebihan kalau Nabire disebut pintu bersama sekaligus miniatur Indonesia di wilayah Papua Tengah.

Kabupaten Nabire bukanlah tanah kosong yang tidak ada penduduknya setelah Kabupaten Daerah Tingkat Dua (Dati II) Paniai beribu kota Enarotali, dipindahkan ke Bumiovi Navandu dan selanjutnya disebut Dati II Paniai beribu kota Nabire. Secara etimologis, Nabire berasal dari dua akar kata suku asli Yerisyam, Wate, dan Hegure.

Sejarah tutur suku Wate menyebut, term Nabire berasal dari akar kata Nawi, di mana pada zaman dahulu Nawi dikaitkan dengan kondisi alam kala itu yang masih bertabur jangkrit sepanjang bantaran kali Nabire. Lama kelamaan, Nawi mengalami perubahan penyebutan, speeling menjadi Nawire lalu akhirnya bertahan dalam komunikasi verbal: Nabire.

Versi suku Yerisyam menjelaskan, Nabire berasal dari kata Navirei yang berarti daerah ketinggalan, yang ditinggalkan. Penyebutan Navirei muncul sebagai nama suatu tempat pada saat digelar pesta pendamaian ganti daerah antara suku Hegure dan Yerisyam. Speeling, penyebutan Navirei kemudian bergeser menjadi Nabire yang secara resmi melabeli nama kabupaten oleh Bupati Nabire pertama, AKBP Drs Surojotanojo, SH (Alm).

Versi lain suku ini mengungkapkan, Nabire berasal dari Na Wyere yang berarti daerah kehilangan. Pengertian ini muncul terkait munculnya wabah penyakit yang menyerang penduduk setempat. Kala itu banyak orang meninggalkan Nabire lalu kembali ke kampungnya. Nabire menjadi sepi dan lama kelamaan disebut dengan Na Wyere, yang belakangan istilah Na Wyere adalah Nabire.

Sedangkan komunitas masyarakat suku Hegure menyebutkan, akar kata Nabire berasal dari Inambre. Inambre berarti pesisir pantai yang ditumbuhi aneka tanaman seperti palem, enau hutan, pohon nibun, dan jenis pohon palem lainnya. Akibat adanya hubungan atau komunikasi dengan suku-suku pendatang, lama-kelamaan penyebutan Inambre berubah menjadi Nabire (nabirekab.go.id).

Suku asli

Sejam jaman dahulu, Nabire dihuni sembilan suku asli. Enam suku asli berasal dari Nabire pesisir dan kepulauan seperti suku Wate, Yerisyam, Hugure, Umari, Goa, dan Mora. Sedangkan tiga suku dari Nabire gunung ialah suku Mee, Auye, dan Moi. Jika menelusuri kebih dalam dari aspek wilayah adat, tentu berbeda.

Enam suku dari Saireri dan tiga suku dari Meepago berdasarkan pemetaan tujuh wilayah adat yang dibagi pemerintah pasca hadirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua.

Sejalan dengan tuntutan aspirasi enam suku dari pesisir dan kepulauan yang ingin keluar dari wilayah adat Meepago dan bergabung dengan wilayah adat Saireri adalah merupakan alasan yang sangat rasional dari aspek kesamaan kultur. Dalam kontek ini enam suku dari pesisir dan kepulauan tidak mengklaim Kabupaten Nabire masuk dalam wilayah adat Saireri.

Namun enam suku ini hanya ingin meluruskan sekaligus memperjuangkan identitas diri mereka sebagai anak adat Saireri, bukan Meepago. Enam suku tersebut mengakui ada tiga suku dari gunung. Karena itu, dalam setiap orasi menyuarakan aspirasinya, mereka menyebut diri pesisir dan kepulauan Nabire, Kabupaten Nabire.

Dalam konteks ini, hemat penulis, tidak salah karena menyangkut identitas turun-temurun warisan nenek moyongnya. Harga diri dan identitas kultur harus dijunjung dan hargai sebagai manusia yang berbudaya dan beradat. Kita semua anak adat tentu hidup dalam tradisi warisan leluhurnya.

Tidak ada salah ketika enam suku bersama sejumlah rumpun dari pesisir menyatakan sikap mereka sebagai anak adat wilayah Saireri. Begitu juga yang lain di sekitarnya. Saat ini diperlukan hati dan pikiran bening, butuh kebesaran jiwa besar menarik benang merah saling mengakui identitas adat masing-masing.

Namun, setelah enam suku ini diakui sebagai anak adat Saireri lalu Kabupaten Nabire otomatis masuk dalam wilayah adat Saireri bersama Yapen, Waropen, Biak, Supiori adalah opini yang tidak benar. Mengapa? Secara legal formal, wilayah administrasi pemerintahan tidak mengantur soal pembagian wilayah adat.

Wilayah adat tidak mewajibkan kesamaan suku, agama, ras, dan golongan untuk satu pemerintahan atau bergabung dengan wilayah administrasi pemerintah atas dasar kesamaan suku, agama, ras dan golongan. Singkatnya secara administrasi pemerintahan, sembilan suku ini adalah penduduk asli Kabupaten Nabire.

Ketika Provinsi Papua Tengah tersebut resmi dimekarkan, maka dalam wilayah administrasi pemerintahan terdapat tiga wilayah adat. Pertama, Meepago mencakup Kabupaten Mimika, Deiyai, Dogiyai, Paniai, Intan Jaya, dan Nabire berkedudukan di Nabire, termasuk Nabire gunung mencakup Piyaiye.

Kedua, Saireri mencakup kabupaten-kabupaten di wilayah adat maka ibu kota Provinsi Papua Tengah berkedudukan di Nabire Pesisir. Ketiga, Lapago mencakup Kabupaten Puncak dan Puncak Jaya. Tiga wilayah ada inilah yang dahulu menyatu dalam wilayah admintrasi pemerintahan Dati II Paniai beribukota di Nabire, kecuali Mimika.

Bila ada niat Nabire dijadikan sebagai ibu kota Provinsi Papua Tengah, sah-sah saja. Niat tersebut sesunguhnya berasal dari komunitas masyarakat enam suku pesisir dan Saireri, termasuk dukungan empat sesepuh wilayah adat Saireri di Nabire. Hanya saja mereka berharap sebelum identitas mereka sebagai anak adat Saireri diakui, sepanjang itu enam suku tidak merelakan Papua Tengah beribu kota di Nabire. Karena itulah, semua pihak saling tunduk, angkat topi, dan tidak menyebarluaskan informasi yang dangkal dan tidak ada ujung pangkalnya.

Jalan tengah

Untuk mengakhiri debat panjang dan aspirasi enam suku di pesisir dan kepulauan Nabire yang ingin bergabung dengan wilayah adat Saireri, maka ada sejumlah tawaran solusi kepada semua pihak terutama warga suku Mee, Auye dan Moi dari Degei Dimi hingga Ororodo, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nabire dan kepada para bupati kabupaten-kabupaten yang tidak terpisahkan dari sejarah pemerintahan Dati II Paniai.

Pertama, oleh karena ada rencana Nabire menjadi ibu kota provisi Papua Tengah, maka persoalan tuntutan enam suku pesisir dan kepulauan Nabire harus menjadi perhatian bersama. Mereka perlu diajak untuk duduk satu meja guna mencari jalan keluar. Dengan demikian, kehadiran ibu kota Provinsi Papua Tengah menjadi kemauan dan harapan bersama masyarakat pemilik hak datuk.

Kedua, terkait mematok tapal batas Nabire gunung dan Nabire pesisir, kepaulaun serta batas adat antara suku asli Kabupaten Nabire adalah kewajiban dan tanggung jawab Pemkab Nabire sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tinggalkan Komentar Anda :