Oleh Thomas Ch Syufi
Advokat dan Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights
MINGGU siang, 17 November 2024, penulis mampir di salah satu kedai kopi di pinggiran Kota Jayapura, Papua, untuk membeli satu kemasan air mineral bermerek aqua. Saat melangkah memasuki kedai, penulis mengarahkan mata ke wall sudut kanan kedai. Nampak, banyak mural yang melukiskan pesona alam Papua. Pun sajian atraksi budaya-budayanya mempesona.
Salah satunya, lukisan seorang pria bertubuh tambun mengenakan koteka khas orang Dani (salah satu suku di daerah Pegunungan Tengah Papua). Ketika mengarahkan bola mata ke sudut kiri kedai yang terletak di bibir pantai nan eksotik itu, tampak selembar foto berpigura berlatar bangunan bergaya Eropa zaman klasik.
Foto itu seorang wanita glamour, bertubuh sintal, dan berperawakan seperti orang mestizo-hispanik di Amerika Latin terpajang di sana. Kedua bola mata enggan berpaling. Penasaran, penulis mengayun langkah, mendekat dan melihat sepenuh jiwa. Foto itu seorang tokoh politik dan pejuang feminisme terkenal dari Amerika Selatan yang pernah menjadi Ibu Negara Argentina berpengaruh dekade 1940-an.
Si wanita dalam foto itu tak lain Maria Eva Duarte de Peron atau lebih dikenal dengan sapaan Evita Peron, istri Jual Domingo Peron, Presiden Argentina periode 1946-1955 dan 1973-1974. Juan Peron pertama mengambil alih tampuk kepemimpinan Argentina dari Edelmiro Julian Farrell yang menjabat presiden de facto Argentina mulai tahun 1944 sampai 1946, menggantikan Pedro Pablo Ramirez yang takluk menyusul kudeta militer 1943.
Juan Peron yang saat itu berpangkat Kolonel Angkatan Darat dan Menteri Tenaga Kerja menikah dengan Evita Peron yang kala itu dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia (HAM) dan salah satu pendiri Persatuan Radio Argentina pada 22 Januari 1944. Juan dan Evita melangkah ke pelaminan setelah pertama kali berkenalan dalam acara amal untuk korban gempa bumi di Stadion Luna Park, San Juan, Argentina.
Pesona Argentina
Menarik membahas Argentina yang bergelimang seribu satu cerita dan sejarah panjang dengan sederat bintang besar dalam sejarah Argentina bahkan dunia dalam berbagai aspek kehidupan. Sekadar menyebut beberapa nama seperti Che Guevara, pemilik gol tangan Tuhan Diego Armando Maradona atau Gabriel Omar Batistuta dan Lionel Andres Messi hingga Jorge Mario Bergoglio (nama asli Paus Fransiskus dan paus pertama dari Amerika Latin dalam sejarah Gereja Katolik).
Begitu pula Christina Fernandez de Kirchner, Maria Estela Martinez Castas de Peron atau Isabel Peron, istri ketiga Juan Peron yang pernah menjadi presiden Argentina ke 41 dari tahun 1974-1976, sekaligus sebagai presiden perempuan pertama di dunia, termasuk Evita Peron, aktivis HAM dan tokoh politik yang kandas jejak politiknya menggantikan sang suami menjadi Presiden Argentina tahun 1955.
Evita Peron (1919-1952) adalah istri kedua Presiden Argentina Juan Domingo Peron (1895-1974) yang menjadi Ibu Negara sejak 1946 hingga berpulang pada 1952. Kisah hidup Evita bertabur sisi gemerlap, dramatis sekaligus patriotisme paripurna.
Evita yang ditelantarkan oleh sang ayah dalam balutan kemiskinan di daerah pedesaan, Los Toldos, mampu mengubah hidupnya menjadi artis terkenal sebelum akhirnya menjadi First Lady Argentina setelah ia memutuskan hijrah ke Buenos Aires, ibu kota Argentina pada 1934 di usia yang menyentuh angka 15 tahun.
Evita terlempar ke panggung politik Argentina usai suaminya, Juan Peron menjadi presiden negara itu tahun 1946. Evita tidak pernah secara resmi terpilih menjadi tokoh politik, namun ia memiliki lebih banyak kekuasaan dan pengaruh dalam pemerintahan daripada siapa pun, kecuali suaminya, Juan Peron.
Evita tidak hanya membantu suaminya dalam mengurus negara secara formal. Evita, perempuan dari Lereng Gunung Andes yang terkenal dengan julukan Mawar Merah dari Argentina memiliki jasa besar pada kerja-kerja sosial dan kemanusiaan. Ia, misalnya, mendirikan panti asuhan dan membangun sekolah-sekolah untuk anak-anak miskin di Argentina.
Selain memperjuangkan hak-hak pekerja, sebagai Ibu Negara, Evita juga berjuang keras untuk hak pilih dalam bidang politik. Perjuangan kala itu menyentuh juga pada bagaimana partisipasi dan representasi perempuan di lembaga legislatif maupun eksekutif agar lebih maksimal. Ia menjadi tempat pijakan, tiang penyangga sekaligus sponsor utama bagi suaminya dalam menjalankan roda pemerintahan serta mengatur aliran politik dalam dan luar negeri Argentina.
Ia sukses mendukung berbagai kebijakan spektakuler yang dilakukan oleh Juan Peron, misalnya, mengenalkan reformasi sosial besar yang menguntungkan kelas pekerja Argentina. Presiden Peron menjadikan pendidikan gratis dan tersedia, menasionalisasi layanan kesehatan dan jaminan sosial serta memastikan cuti hamil dan liburan berbayar bagi pekerja, berupaya meningkatkan kemandirian ekonomi (study.com, 21/11/2023).
Namun, Peron yang digulingkan melalui kudeta militer tahun 1955 dan kembali menjabat Presiden Argentina pada 1973 hingga ajal menjemputnya tahun 1974, secara brutal menekan oposisi dan memberangus rival-rival politiknya yang berhaluan liberal, termasuk mengontrol pers yang melakukan kritik, koreksi, atau menentang kekuasaannya.
Proyek pembangunan yang marak digenjot Peron, ternyata tidak jalan berbarengan dengan potret kemajuan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia. Peron represif melancarkan serangan terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan dirinya, ia mengekang rakyat dan kalangan oposisi di tubuh pemerintahannya.
Rezim otoriter
Di masa kekuasaan Peron, rakyat Argentina benar-benar tenggelam dalam lumpur budaya bisu, terhimpit oleh tangga kekuasaan yang arogan dan bengis. Peron membawa Argentina terperosok dalam cengkraman rezim otoritarianisme yang dalam dan mengenaskan. Namun, di tengah jepitan dua sisi politik bersamaan seorang Peron,
Evita sebagai Ibu Negara dan permaisuri Presiden Argentina yang memiliki popularitas dan daya tarik masyarakat yang begitu besar menjadi komplementer. Evita tampil menambal sisi kelam dan terang Juan Peron, melalui aneka karya dan perjuangannya yang konsisten dan signifikan untuk rakyat Argentina. Semisal memperjuangkan kesejahteraan kelas pekerja, orang miskin, dan afirmasi terhadap keterpilihan perempuan di jabatan publik.
Kembali pada foto Evita Peron di kedai kopi tadi, tidak hanya memukau, tetapi sekaligus menyiratkan kesan implisit, yang mengantarkan kita akan sebuah glorifikasi dan kejayaan masa lalu Evita, bekas Ibu Negara Argentina.
Pada 1947, Evita Peron melakukan Tur Pelangi keliling Eropa atau dikenal dengan The Rainbow Tour. Dalam tur bersejarah dan impresif itu, Evita bertemu dengan sejumlah pemimpin dunia, termasuk Francisco Franco Bahamonde (pemimpin Spanyol) dan Paus Pius XII. Rangkaian perjalanan Evita ke benua biru tersebut berkenaan dengan undangan dari Francisco Franco yang mengundang Presiden Juan Peron.
Namun, alasan politis kental dan dominan, Juan Peron memutuskan sang istri, Evita Peron menggantikan dirinya memenuhi undangan tersebut, sekaligus melawat ke beberapa negara Eropa dan bertemu para pemimpinnya. Selama mengunjungi Spanyol, Evita melakukan amal dengan membagikan 100 peso (kisaran Rp 27.072,35) kepada anak-anak miskin yang ditemuinya sepanjang perjalanan.
Di Spanyol, Evita dianugerahi penghargaan tertinggi oleh Pemerintah Spanyol yaitu Orden de Isabel la Catolica (Ordo Isabella Orang Katolik) atas pelayanannya yang bermanfaat bagi Argentina. Di momentum tersebut, Evita menyempatkan diri berziarah ke makan pasangan monarki absolut pertama Spanyol pada abad ke-15, yaitu Ratu Isabella I dari Castile dan Raja Ferdinand II dari Aragon.
Namun, ketika berkunjung ke Roma, ia tidak begitu disambut dengan ramah seperti di Spanyol. Paus Pius XII (kala itu) tidak memberinya dekorasi kepausan seperti lazimnya diperlakukan untuk tamu negara asing, namun Evita diberikan sebuah Rosario.
Mungkin Takhta Suci Vatikan tidak menjamu Evita sedemikian rupa, sebagai bentuk ketidaksetujuan negara mungil dan terindah di kota Roma itu atas kepemimpinan Juan Peron yang getol membangun rakyat Argentina dari berbagai sektor kehidupan.
Termasuk memberikan pendidikan gratis, menasionalisasi layanan kesehatan dan jaminan kesehatan, serta meningkatkan kemandirian ekonomi, itu tidak sejalan dengan pertumbuhan demokrasi dan penghormatan terhadapan martabat HAM di Argentina, negerinya (bagian pertama).