Oleh Andreas Chandra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta
HAK hukum masyarakat adat Papua, meskipun telah diakui secara formal dalam berbagai regulasi nasional, masih sering terpinggirkan dalam praktiknya. Sejak zaman kolonial hingga era pasca-kemerdekaan, masyarakat adat di Papua menghadapi berbagai tantangan dalam memperjuangkan hak-hak mereka, baik itu hak atas tanah, budaya, maupun hak untuk mengatur diri mereka sendiri.
Dalam konteks ini, perlindungan hukum terhadap masyarakat adat Papua sering kali terkesan sebagai formalitas belaka tanpa adanya implementasi yang nyata dan menyentuh kehidupan mereka secara langsung.
Secara teoritis, Indonesia telah mengakui eksistensi masyarakat adat dan hak-hak mereka dalam berbagai undang-undang. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang mengakui pentingnya peran masyarakat adat dalam pengambilan keputusan di daerah mereka.
Bahkan, Pasal 18B Ayat 2 UUD 1945 mengakui keberagaman sosial budaya masyarakat adat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Namun, meskipun di atas kertas perlindungan terhadap hak masyarakat adat sudah diatur, realitas di lapangan jauh dari harapan.
Salah satu isu utama adalah hak atas tanah dan sumber daya alam. Banyak wilayah adat di Papua yang telah digusur untuk kepentingan perusahaan-perusahaan besar, terutama di sektor pertambangan, perkebunan, dan kehutanan, tanpa persetujuan yang jelas dari masyarakat adat setempat.
Proses alih fungsi lahan sering kali dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan. Alih-alih mendapatkan keuntungan atau pemberdayaan, masyarakat adat justru menjadi korban perampasan tanah dan perusakan lingkungan hidup yang telah mereka jaga selama ratusan tahun.
Tak berpihak
Dalam konteks ini, hukum yang ada sering kali tidak berpihak pada mereka. Proses hukum yang berbelit-belit, ketidakmampuan masyarakat adat dalam mengakses keadilan, dan kurangnya pemahaman hukum yang memadai menjadi hambatan besar dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Bahkan, banyak komunitas adat yang tidak memiliki dokumen hukum yang sah atas tanah mereka, sehingga tanah yang mereka miliki sering diperlakukan sebagai tanah negara yang bisa dengan mudah dialihkan.
Masalah lain yang perlu diangkat adalah pengakuan terhadap sistem hukum adat itu sendiri. Hukum negara seringkali tidak mengakui dan menghormati norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat adat. Sebagai contoh, hukum adat Papua memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan konflik atau mengatur tata kelola sumber daya alam mereka.
Namun, sering kali hukum negara dianggap lebih superior daripada hukum adat, padahal hukum adat adalah bagian integral dari kehidupan masyarakat tersebut. Penerapan hukum negara yang bersifat top down justru sering menciptakan ketegangan antara masyarakat adat dan negara.
Selain itu, otonomi khusus Papua yang diatur dalam UU Otsus juga mengalami kendala dalam implementasinya. Meski memberikan keleluasaan bagi Papua untuk mengatur urusan lokal, otonomi khusus ini justru kerap terjebak dalam politik praktis yang tidak selalu menguntungkan masyarakat adat.
Banyaknya alokasi dana yang tidak tepat sasaran dan tidak transparan dalam pengelolaannya memperburuk kondisi ekonomi masyarakat adat yang masih terpinggirkan.
Dalam menghadapi masalah ini, perlu ada reformasi yang mendalam dalam pendekatan hukum terhadap masyarakat adat Papua. Negara harus lebih serius dalam mengimplementasikan hak-hak masyarakat adat, bukan hanya dalam bentuk regulasi, tetapi juga dalam praktik sehari-hari.
Masyarakat adat harus diberikan ruang untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa hak atas tanah dan sumber daya alam mereka diakui dan dilindungi dengan tegas, serta menguatkan pengakuan terhadap sistem hukum adat sebagai bagian dari sistem hukum nasional.
Dengan demikian, hak hukum masyarakat adat Papua bukan hanya sekadar masalah hukum, tetapi juga masalah keadilan sosial. Pemerintah harus memastikan bahwa hak-hak ini dihormati dan dilindungi agar masyarakat adat Papua bisa hidup dengan martabat, bebas dari penindasan, dan memiliki hak untuk mengelola kehidupan mereka sesuai dengan kearifan lokal yang sudah lama ada.