Budaya Literasi di Kalangan Pelajar Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Budaya Literasi di Kalangan Pelajar Papua

Eugene Mahendra Duan, guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Provinsi Papua Tengah. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Eugene Mahendra Duan

Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah

SEIRING kemajuan zaman dan perkembangan teknologi, budaya literasi di kalangan pelajar di tanah Papua mengalami penurunan yang mencemaskan. Hal ini menjadi perhatian serius bagi para pendidik dan pemerhati pendidikan. 

Sejumlah pengamat pendidikan menyebut, rendahnya minat baca dan kurangnya kemampuan literasi di kalangan pelajar Papua berkorelasi dengan beberapa faktor. Salah satunya, akses terhadap bahan bacaan yang berkualitas, terutama di daerah-daerah pedalaman yang sulit dijangkau. Kondisi geografis yang sulit juga menjadi hambatan tersendiri dalam menyediakan sarana pendukung literasi.

Badan dunia The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) tahun 2016 menyebutkan, Indonesia mempunyai skor indeks yang buruk soal literasi. Minat baca di Indonesia tercatat hanya 0,001 persen. 

Artinya dari 1000, hanya 1 orang saja yang rajin membaca. Presentasi literasi yang minim, rupanya berbanding lurus dengan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2019, yang menempatkan Indonesia di urutan papan bawah. 

Presentasi Unesco dan hasil PISA 2019 sungguh memprihatinkan, karena hal itu terjadi di tengah hiruk pikuk penggunaan handphone pintar yang semakin canggih. Banyak orang bisa berjam-jam di depan handphone untuk melihat aneka konten atau pesan singkat yang menarik, tetapi mereka tidak terdorong kuat untuk membaca e-book yang sangat mudah didapatkan.

Pembudayaan literasi di kalangan pelajar di tanah Papua perlu dihidupkan dan dikembangkan secara optimal. Dalam encyclopedia.com, literasi dipahami sebagai proses seseorang memperluas pengetahuan membaca dan menulis guna mengembangkan pemikiran dan pembelajaran untuk tujuan memahami diri sendiri dan dunia. 

Komponen penting

Proses literasi yang demikian secara kontekstual sangat mendasar untuk mencapai kompetensi dalam setiap mata pelajaran pendidikan. Dalam catatan penulis, ada enam komponen penting yang mesti diajarkan kepada anak berkaitan dengan perkembangan dunia saat ini dalam apa yang populer disebut sebagai literasi.

Pertama, baca-tulis. Semua orang sepakat bahwa literasi dalam bidang membaca dan menulis sangat penting bagi para pelajar. Dari sini para pelajar dilatih berpikir kritis. Kenyataan menunjukkan, masih banyak pelajar di tanah Papua yang mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis dengan baik. 

Meski demikian, membaca dan menulis saja tidak pernah cukup. Nalar anak hendaknya dilatih untuk mempertanyakan apa yang ia baca, memproblematisasi persoalan yang dikemukakan dalam buku dan dirangsang untuk bertanya. Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa hal penting yang perlu dipikirkan sebelum memberikan buku kepada anak untuk dibaca. 

Perhatikan apa yang menjadi hobi dan minat anak dan berikan buku yang sesuai. Perhatikan tingkat kesulitan buku tersebut agar kegiatan membaca tidak dianggap sebagai aktivitas yang tidak menyenangkan bahkan membuat anak frustrasi. Manfaatkan ketertarikan anak dalam percakapan dengan mengutip beberapa hal dari buku.

Kedua, numerasi. Poin ini berkaitan dengan bagaimana ketika berada di jenjang pendidikan lanjut, nalar anak terbiasa dengan data-data kuantitatif, grafik, tabel, dan bagan. Di situ anak akan mampu membuat prediksi dan mengambil keputusan tertentu berdasarkan hasil analisis terhadap makna yang tersembunyi di balik angka, bagan, dan grafik itu. Rendahnya literasi numerasi berdampak pada gagapnya siswa atau mahasiswa dalam bernalar secara logis. 

Hasil riset Research on Improvement of System Education (RISE) (2018) menunjukkan, kemampuan siswa memecahkan soal matematika sederhana tidak berbeda secara signifikan antara siswa baru masuk sekolah dasar dan yang sudah tamat SMU. 

Laporan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) Kemendikbud mengutip beritagar.id mencatat, tahun 2016 sebanyak 87,81 persen anak Maluku tergolong kurang dalam hal numerasi dan menjadi yang terburuk di seluruh Indonesia. 

Oleh karena itu, pada usia dini anak perlu diberi pemahaman tentang bentuk, ukuran, dan tempat sebagai landasan awal pengembangan kecerdasan berhitung. Melalui permainan spasial misalnya, anak dilatih untuk memahami ukuran, posisi, dan gerakan.

Ketiga, sains. Literasi sains yang rendah menjadi hambatan serius dalam mengembangkan pemahaman ilmiah di kalangan pelajar Papua. Kurangnya guru yang terlatih dalam mengajar berbagai mata pelajaran terutama sains dan matematika, menjadi hambatan utama dalam meningkatkan literasi akademik di kalangan pelajar Papua. Kurangnya fasilitas laboratorium dan sumber daya pendukung lainnya juga membatasi kemampuan siswa untuk belajar secara praktis dan eksperimen.

Literasi jenis ini didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (OECD, 2003; The PISA 2003). Dari situ, dapat dilihat perkembangan indikator siswa dalam menyimak, memprediksi, dan mengkomunikasikan gejala hingga membuat keputusan tertentu.

Keempat, digital. Meskipun kemajuan teknologi telah merambah ke berbagai belahan dunia, pendidikan di tanah Papua masih menghadapi tantangan besar dalam hal literasi digital. Penulis melihat bahwa rendahnya tingkat literasi digital menjadi hambatan utama bagi kemajuan pendidikan dan pembangunan di tanah Papua. Ditemukan bahwa pelajar di tanah Papua kurang memiliki pemahaman yang memadai tentang penggunaan teknologi digital. 

Sebagian besar dari mereka mengalami kesulitan dalam menggunakan komputer, mengakses internet, dan memanfaatkan berbagai aplikasi dan platform digital untuk keperluan pendidikan dan komunikasi. Kondisi ini memberi dampak yang signifikan pada kemajuan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat Papua. 

Dengan minimnya literasi digital, pelajar Papua kesulitan untuk mengakses sumber belajar yang lebih luas, terlibat dalam pembelajaran online, dan mempersiapkan diri untuk era digital yang semakin mendominasi. Menyadari pentingnya literasi digital dalam menghadapi tantangan masa depan, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat di tanah Papua telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan akses dan pemahaman akan teknologi digital. 

Program pelatihan, penyedia infrastruktur yang baik, dan kerjasama antar stakeholder menjadi beberapa strategi yang diusulkan untuk mengatasi masalah ini. Dengan upaya bersama yang terkoordinasi, diharapkan bahwa tingkat literasi digital di tanah Papua dapat meningkat, memberikan peluang yang lebih adil dan merata bagi generasi muda Papua untuk bersaing dan berkontribusi dalam era digital yang semakin maju.

Kelima, finansial. Kategori ini lazimnya dikenal dengan istilah literasi keuangan yang kemudian diterjemahkan secara ‘kurang ajar’ sebagai pengetahuan tentang e-commerce. Ketiadaan wawasan mengenai hal ini cenderung memicu pola hidup konsumerisme atau perilaku konsumtif. Di samping itu juga, kurangnya informasi mengenai literasi finansial digital, berpotensi menjerumuskan orang pada praktek berdagang atau jual beli illegal. 

Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi dan perkembangan finansial global, lembaran hitam putih yang berisi angka dan huruf tampaknya menjadi bahasa asing bagi sebagian besar siswa di tanah Papua. Lemahnya literasi finansial di kalangan siswa menjadi masalah yang memprihatinkan dan menuntut perhatian serius dari berbagai pihak terkait pendidikan. Hal ini tercermin dari minimnya pengetahuan mereka tentang manajemen uang, investasi, tabungan, dan perencanaan keuangan pribadi. 

Sejumlah faktor diidentifikasi sebagai penyebab utama lemahnya literasi finansial di tanah Papua. Salah satunya adalah kurangnya akses terhadap pendidikan finansial yang memadai di sekolah-sekolah, baik akibat kurangnya tenaga pengajar yang terlatih maupun kurikulum yang belum memadai.

Selain itu, budaya konsumtif yang masih kuat di beberapa daerah juga turut memperparah kondisi ini. Siswa cenderung kurang memiliki kesadaran untuk berpikir jangka panjang dalam mengelola keuangan mereka, sehingga lebih cenderung untuk menghabiskan uang mereka tanpa memikirkan kehidupan di masa yang akan datang.

Kondisi geografis dan ekonomi yang sulit di Papua juga menjadi faktor pendukung lemahnya literasi finansial. Terbatasnya akses terhadap lembaga keuangan dan sumber daya pendidikan finansial membuat siswa di daerah pedalaman memiliki keterbatasan dalam memperoleh pengetahuan tentang manajemen keuangan. Dampak dari lemahnya literasi finansial ini tidak hanya terbatas pada aspek keuangan pribadi siswa, tetapi juga berdampak pada stabilitas ekonomi keluarga dan pembangunan ekonomi di wilayah Papua secara keseluruhan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan upaya kolaboratif dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas. Penyediaan program pendidikan finansial yang terintegrasi dalam kurikulum sekolah, pelatihan untuk guru-guru, serta kampanye-kampanye untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi finansial di kalangan siswa menjadi langkah awal yang penting untuk mengubah paradigma keuangan di tanah Papua. Dengan demikian, diharapkan generasi muda Papua dapat memiliki pemahaman dan keterampilan finansial yang memadai untuk menghadapi tantangan masa depan.

Keenam, budaya dan kewargaan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana memperkenalkan kepada anak tentang apa dan bagaimana hidup dalam perbedaan termasuk sikap mereka terhadap perbedaan. Salah satu aplikasi digital yang dapat digunakan oleh anak-anak usia 8 tahun ke bawah yakni Aplikasi Marbel Belajar Budaya Nusantara. Aplikasi ini membantu anak untuk belajar mengenal pakaian adat di nusantara, berbagai bentuk rumah adat, alat musik khas, tarian daerah, dan makanan khas daerah di Indonesia pada umumnya. 

Semua pengetahuan itu, kelak setelah dewasa, memudahkan anak dalam mengelola perbedaan dari perspektif di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama dan diakui oleh konstitusi. Pengetahuan tersebut juga menjadi landasan pijak etis yang membuat anak merasa bangga menjadi warga negara Indonesia terutama ketika berhadapan dengan warga negara lain.

Budaya literasi

Literasi perlu dibudayakan dalam dimensi pendidikan anak-anak bangsa. Pengertian budaya terkait dengan rangkaian tradisi yang membentuk kebiasaan dan cara pandang tertentu dalam sistem kemasyarakatan, baik di tingkat lokal maupun nasional global. Budaya literasi sekolah terkait dengan tradisi membaca dan menulis menyenangkan di kalangan pelajar. 

Kemampuan pelajar dalam literasi terbentuk dari hasrat kuat dalam menyampaikan pesan, pertama-tama melalui ungkapan lisan, kemudian beralih pada tulisan, dan cara membaca rangkaian huruf, gambar, atau pun simbol-simbol lain yang dapat dipahami.

Warisan peradaban literasi diturunkan dalam aneka tulisan, mulai dari cerita mitos, mantra, aneka pesan, puisi, prosa, hingga tulisan yang berisikan kajian, dan analisis atas peristiwa-peristiwa yang dialami manusia. Dalam membudayakan literasi, Steckel (2022) mendorong agar para guru mengenal pribadi, minat, potensi, pengalaman sosial, dan budaya para murid. Sesungguhnya, para murid adalah pembaca potensial. 

Dukung dan rayakan setiap upaya pelajar untuk mengembangkan hasrat, dan meningkatkan stamina untuk membaca. Para guru perlu menunjukkan bahwa betapa berharga buku-buku yang dibaca, berbagi gagasan, dan bekerja sama dalam memaknakan suatu hal.

Dukungan atas pengembangan budaya literasi di kalangan pelajar, sebenarnya dapat dimulai sejak dini, yaitu dari rumah. Dalam keluarga, anak-anak sejak kecil sudah belajar berinteraksi, dan secara alamiah menggunakan literasi percakapan saat berjumpa dengan orang-orang terdekat di sekitarnya. 

Proses pembudayaan literasi akan berkembang baik jika, pihak keluarga ada kebiasaan bercerita, mendongeng, membacakan kisah-kisah yang menarik bagi anak-anak. Selain itu, relasi teman sebaya turut membentuk pola literasi komunikatif di antara mereka hingga masuk sekolah.

Para guru dapat menjadi fasilitator dalam literasi pelajar, melalui aktivitas membacakan puisi, menuliskan cerpen, atau membuat opini, esai, dan jurnal. Para guru (Tyson, 2022) bersama unsur pimpinan perlu mengupayakan perpustakaan ideal di masing-masing sekolah. Perpustakaan yang menyediakan buku yang dibutuhkan, potensial menarik para murid untuk membaca dan mengembangkan kemampuan literasi mereka. 

Koleksi buku perpustakaan, selain memuat aneka materi pelajaran, juga menyediakan literasi murid di bidang humaniora, pengetahuan umum, dan kisah-kisah historis suatu peradaban. Para guru perlu memberikan teladan membaca, menulis, dan menghidupi budaya literasi guna memperkuat pengaruh yang dapat menggerakkan para murid melakukan hal yang sama, bahkan bisa jadi lebih dari ekspektasi yang dibayangkan.

Budaya literasi, akan semakin dipermudah dengan adanya majalah sekolah, newsletters, mading (majalah dinding), aneka lomba menggambar, puisi, esai, menyanyi, drama, deklamasi, pidato, debat, dan sidang akademik.

Literasi dalam dunia pendidikan merupakan jembatan yang menghubungkan peserta didik dan pendidik dengan pengetahuan, dan pengertian yang mau dicapai. Budaya literasi perlu dijadikan adat kebiasaan dalam komunitas formatif di manapun mereka berada.

Kebiasaan berliterasi memperkuat pemahaman para murid dan guru dalam mengimajinasikan berbagai gagasan tersembunyi untuk diungkapkan dalam bentuk simbol, tulisan, dan percakapan intelektual.

Sebagai catatan akhir, dapat disimpulkan, menghidupkan budaya literasi sangat penting dan mendesak. Para pendidik perlu memberikan motivasi, dan teladan baik kepada para peserta didik, supaya mereka pun bersemangat dalam mengembangkan budaya literasi. 

Peranan para guru sangat sentral dalam menganimasikan keadaan, dan mendorong para pelajar mengaktualisasikan kemampuan literasi mereka dalam wadah formatif yang tersedia. Semoga berkat peran aktif para guru, budaya literasi di kalangan pelajar di tanah Papua semakin meningkat.

Tinggalkan Komentar Anda :