KARUBAGA, ODIYAIWUU.com — Pemakaian busana dan asesori khas saat berlangsung Papua Street Carnival dalam rangkaian Festival Danau Sentani 2023 dinilai melecehkan adat dan budaya masyarakat asli, khususnya masyarakat Suku Lani dan Mee di tanah Papua.
“Selaku generasi penerus adat dan budaya suku Lani di Tolikara dan Inai di Papua Pegunungan, penampilan peserta Papua Street Carnival pada Jumat, 7 Juli lalu sangat buruk dan melecehkan budaya asli Papua,” ujar tokoh muda Suku Lani Kabupaten Tolikara Perius Kogoya kepada Odiyaiwuu.com dari Karubaga, kota Kabupaten Tolikara, Papua Pegunungan, Minggu (9/7).
Kogoya yang juga penerus budaya suku Inai menambahkan, pihaknya sangat menyayangkan dan mengutuk penyelenggara Festival Danau Sentani 2023 melalui event organizer yang melecehkan budaya khas Papua melalui para peserta karnaval yang tampil dengan busana dan penampilan memuakkan saat berlangsung Papua Street Carnival.
Menurut Kogoya, parade yang merupakan momentum promosi karya kreativitas anak muda Papua dalam Papua Street Carnival yang dilaksanakan di pinggir Pantai Dok II kantor Gubernur Papua, dinilai telah melecehkan budaya asli suku Lani dan Mee di tanah Papua. Parade mengenakan busana dan asesori khas Papua yang melampaui atau di luar adat-istiadat, budaya serta aspek estetika dinilai sebagai tindakan pemerkosaan atas budaya warisan leluhur di seluruh Papua.
“Parade busana khas Papua dan asesori berkolaborasi dengan Papua Youth Creative Hub untuk menampilkan karya kreasi budaya setempat malah melecehkan budaya khas kami orang asli Papua, khususnya dari suku Lani dan Mee. Kami berharap panitia segera meminta maaf dan perlu diadili secara hukum adat di Papua,” ujar Kogoya.
Tokoh masyarakat Papua Pegunungan Paskalis Kosay mengatakan, pada 7 Juli 2023 Badan Inteljen Negara (BIN) bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenpakraf) menyelenggarakan event promosi karya kreativitas anak muda Papua yang dikemas dalam Papua Street Carnival di pelataran bibir Pantai Dok II Kantor Gubernur Papua.
Event ini ditampilkan karya-karya kreasi baru anak muda Papua dalam berbagai bentuk dan kemasan. Antara lain, desain pakaian masyarakat adat dari tujuh wilayah adat di tanah Papua, busana kolaboratif kemasan hasil produk lokal kopi Wamena, ikan species khusus Danau Sentani, daun pembungkus papeda, kreasi tifa ukuran besar, dan lain-lain.
“Semua materi promosi berjalan baik, disambut hangat oleh Presiden dan para menteri serta penonton lainnya. Namun giliran promosi busana adat masyarakat adat Laapago dan Meepago, suasana berubah menjadi bahan tertawaan. Hal ini terlihat dari mimik Presiden Jokowi berubah melepaskan senyum khasnya, termasuk para menteri,” ujar Paskalis Kosay kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Minggu (9/7).
Mengapa suasana berubah menjadi bahan tertawaan, ujar Kosay, di situlah titik poin krusialnya perdebatan yang perlu diklarifikasi oleh penyelenggara. Penampilan busana koteka yang dipakai peragawan tidak sesuai dengan tradisi masyarakat adat Laapago dan Meepago. Mereka ini seluruh tubuhnya dipoles dengan arang hitam pekat, kemudian memakai koteka ditancapkan dalam celana, dan berjalan lenggang lenggok di depan Presiden Jokowi sambil kedua tangannya memegang sebuah batang koteka yang dipakainya.
“Peristiwa ini tentu saja membuat bahan tertawaan bagi semua yang menghadiri dalam event ini termasuk Presiden Jokowi. Kejadian itu merupakan suatu pelecehan terhadap nilai budaya yang dimiliki masyarakat adat Laapago dan Meepago. Sebab dari jaman moyang sampai dengan hari ini masyarakat adat Laapago dan Meepago tidak pernah memakai busana adat (koteka) seperti yang diperagakan peserta,” kata Kosay.
Menurutnya, sebagai tokoh Papua, ia melihat pemandangan itu membuat orang Laapago dan Meepago kecewa berat dengan promosi cara pemakaian koteka yang diluar konteks nilai budaya yang dipahami kedua masyarakat adat itu. Cara pemakaian busana adat secara tidak tepat sama dengan sengaja menghianati nilai budaya masyarakat adat.
“Kami minta ada yang bertanggung jawab mengklarifikasi perbuatan pelecahan ini. Sebab perbuatan ini tidak memberikan nilai edukasi yang tepat kepada publik. Sebaliknya sengaja merusak nilai-nilai kesakralan tradisi dan adat istiadat suatu suku dan bangsa,” katanya. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)