Oleh Theo Sitokdana
Anak koteka dari Papua Pegunungan
KOTEKA adalah busana tradisonal khusus bagi laki-laki dari suku-suku bangsa berdiam di sepanjang pegunungan, khususnya di wilayah adat Laapago dan Meepago, tanah Papua. Busana tradisional ini tergolong unik, bersumber dari sejenis kulit labu panjang berukuran berbeda.
Kata koteka berasal dari bahasa Mee, wilayah adat Meepago, khususnya penutur bahasa Mee di Kabupaten Paniai, Dogiyai, dan Deiyai, Provinsi Papua Tengah. Kata ini kemudian diadopsi secara publik. Sejauh ini tidak terdeteksi persis asal muasal cerita koteka dan proses pengadopsiannya. Mungkin saat pelaksanaan Operasi Koteka tahun 1970-an.
Akhirnya, kata koteka dipakai orang untuk mengekspresikan busana tradisional laki-laki pegunungan dari wilayah adat Meepago dan Lapago. Kedua wilayah adat ini menyebar dari Kabupaten Pegunungan Bintang di timur hingga Kabupaten Intan Jaya di bagian barat. Sebagian besar dua wilayah adat ini berada di daerah pegunungan.
Meski daerahnya bersuhu dingin, laki-laki pegunungan melakukan aktivitas sehari-harinya secara turun temurun dengan mengenakan koteka selama kurang lebih tujuh hingga sembilan generasi. Hal unik dan mengherankan adalah suku-suku ini bisa bertahan hidup di dalam suhu yang dingin, rata-rata 1000-2000 meter di atas permukaan laut (dpl).
Kaum pria hanya telanjang dada, mengenakan koteka pada alat kelaminnya bisa survive hingga saat ini. Dengan hanya mengenakan koteka, mereka dapat menaklukkan ganasnya alam pegunungan.
Budaya bangsa Papua
Jika kita cermati peta dunia, ada suku-suku daerah pegunungan yang mendiami lima benua. Pertanyaannya, apakah suku-suku di daerah pegunungan dari lima benua itu pernah memakai busana tradisional mirip koteka? Atau apakah busana seperti koteka juga ditemukan pada laki-laku dari suku-suku pegunungan di lima benua tersebut?
Jawabannya, mungkin saja ada. Tentu perlu referensi otentik untuk membuktikan dan memastikan suku-suku bangsa mana saja yang pernah memiliki busana tradisional mirip atau sama seperti yang dipakai laki-laki di dataran tinggi pegunungan Papua.
Jika memang koteka atau sejenis koteka tidak ditemukan di daerah pegunungan dari lima benua, maka koteka menjadi kekayaan budaya bangsa Papua. Koteka tidak pernah akan digantikan posisinya sebagai “penutup” alat kelamin laki-laki dalam konteks apapun.
Mengapa? Koteka sesuai eksistensinya bisa beradaptasi dengan “lingkungan” apapun jika yang mengenakannya memahami hakekat keberadaan dan makna filosofisnya. Bukan sembarang barang atau alat budaya yang dapat dikenakan siapa saja. Apalagi koteka tertentu yang sudah tergolong “sakral”, tidak bisa dikenakan sembarang orang. Kesakralan suatu koteka nampak pada berbagai acara atau ritual adat tertentu.
Koteka dan filsafat hidup
Orang yang belum memahami nilai filosofi dan spiritual koteka akan memandang koteka hanya dari sisi luar. Ini dapat dipahami karena belum mendalami dan menyelami aspek filosofis dan sisi spiritualnya.
Sebagai busana tradisional, laki-laki pegunungan berbudaya, koteka memiliki kejantanan yang memberikan kesuburan hidup bagi keturunannya. Alat kelamin laki-laki harus dilindungi atau diberi tempat yang layak dan tidak diperlihatkan kepada umum secara tidak beraturan. Karena itu, sejak kecil anak laki-laki diajarkan memakai koteka. Sosialisasi koteka terhadap anak-laki terus berlanjut hingga usia dewasa.
Tidak ada manusia di dunia ini yang datang dari langit atau luar angkasa. Siapapun manusia di dunia ini lahir dari kandungan seorang ibu yang berasal dari suatu suku bangsa tertentu di dunia ini. Karena itu, setiap suku bangsa memiliki ragam budayanya masing-masing. Budaya itu menjadi identitas, jati diri suku bangsanya. Demikian juga suku-suku di tanah Papua.
Koteka sebagai salah satu media yang mengantar orang untuk memahami eksistensi suku-suku di daerah pegunungan. Karena itu, kapanpun koteka tidak pernah akan hilang dalam bentuknya, cara memakai dan falsafat hidup orang yang mengenakan.
Orang akan memakai pakaian modern, namun tidak pernah akan lupa koteka. Melupakan koteka sama dengan melupakan manusia pegunungan berbudaya koteka. Generasi muda hari ini, khususnya anak-anak gunung berbudaya koteka ditantang oleh koteka.
Kemajuan teknologi maupun keberadaan koteka menantang keluasaan pengetahuan, wawasan, pandangan hidup, dan identitas diri sebagai manusia berbudaya koteka. Kita semua anak Papua, anak koteka ditantang memahami makna koteka, budaya, adat-istiadat hingga makna filosofis di balik koteka agar ia menjadi identitas kultur. Bukan barang mainan atau lelucon sembarang orang.